Dahulu
ketika kecil, aku sempat mengutuk selera publik masyarakat kita mengenai layar
kaca. Betapa otak kita dipersempit oleh virus sinetron, penuh dengan drama
klise, yang mesti bertanggungjawab telah mereduksi makna “cinta” – sesuatu yang
agung dan luhur itu, kini telah menjadi suku kata yang murah, peyoratif dan
begitu gampang. Filosofi Kopi, adalah gebrakan revolusioner bagi industry film
Indonesia. Drama kemudian tidak lagi menjadi skenario yang simple dan mudah
ditebak laiknya reality show termehek-mehek.
Filosofi Kopi tidak sekedar menyajikan pertunjukan cinta lewat pergulatan
batin antara satu laki-laki dan perempuan segalibnya film Korea kebanyakan atau
legenda Cinta Fitri, lebih dari itu menghadirkan konflik antara realitas dan
ekspektasi; rasio dan intuisi; Chicho Jericho dan Rio Dewanto; Idealisme dan
kenyataan pasar.
Film
ini dibuka dengan aksi Jericho yang berperan sebagai Ben, tengah beratraksi
selaku Barista, meracik formula kopi yang siap diantarkan pada pengunjung
Filosofi Kopi. Barista bukanlah sekedar profesi mudah ditekuni. Seperti
Einstein dan Darwin, Ben butuh laboratoriumnya sendiri, sebab meracik kopi juga
membutuhkan rumus, formulasi, intuisi serta penalaran ilmiah. Kopi telah
menjadi obsesi Ben sejak kecil. Kopi telah menjadi sebuah tarekat, Halokhvah,weltanchaung,
sebuah jalan hidup baginya.
Lewat
sentuhan perasaan dan pengalaman, kopi menjelma menjadi metafora. Kopi adalah
puisi, memendam sengkarut makna dan cerminan atas pengalaman-pengalaman hidup
anak manusia. Setiap jenis kopi memiliki kepribadian dan personalitas
masing-masing. Tiap kali secangkir kopi itu siap disajikan, senantiasa disertai
filosofi daripada kopi yang dipesan. Kopi tubruk bermakna kesederhanaan dan
tidak mempedulikan penampilan, sedangkan Cappucino bermakna kasih sayang dan
kelembutan, ungkap Ben.
Namun
seandainya Ben, aka Chico Jericho berprofesi Barista di Restoran Oliver, maka
apakah filosofi kopi yang dia hidangkan? Apabila pada ketika itu dia tengah
menjamu seseorang yang bernama Mirna, yang sedang membuat janji untuk bertemu
dengan seorang gadis bernama Jessica Wongso. Apakah filosofi dari es kopi
Vietnam, bila itu dicampur racun Sianida dengan kadar tinggi yang menamatkan
nyawa Wayan Mirna Salihin.
Tidak
berapa lama sejak diteguk cangkir itu, dia kejang-kejang, matanya terbelalak,
dan keluar busa dari mulutnya. Syahdan, setelah perpisahan lama, pertemuan
ulang mereka harus ditandai oleh meregangnya nyawa. Sontak kabar itu tersiar
heboh dan meledak bagai petasan di langit tahun baru. Fenomena popular ini
merebak, bahkan menenggelamkan pengeboman Sarinah, MoU Freeport, ISIS, Gafatar,
Kereta cepat Bandung-Jakarta, dan sebagainya.
Pesona
kasus kopi Sianida, menjalar dari satu mulut ke mulut lainnya, ke dalam ruang
lingkup yang lebih luas dan besar. Carl Gustav Jung, memiliki padanan kata yang
persis sesuai: Collective
Unconsciousness. Alam bawah sadar kolektif kita, yang pada awalnya memang
lebih tertarik dengan sinetron dan drama-drama mengharukan serta mengiris hati,
telah secara tidak langsung memaksa kita melirik dan menghabiskan waktu terpaku
pada drama kopi Sianida-nya Mirna.
Bagi
yang sudah familiar dengan serial komik Detective Conan, mungkin juga tidak
asing lagi dengan metode ini. Cara-cara pembunuhan yang cerdas dan penuh
perangkap ditampilkan dengan cermat dan apik lewat bagan-bagan cerita di buku
komik. Di komik ke 25, Kohei jatuh tergelepar dengan mulut keluar busa. Racun
kalium sianida telah dibekukan jadi es dan ditaruh dalam minumannya.
Tidak
ayal lagi, masyarakat kita lebih cinta pada fantasi daripada realitas.
Masyarakat kita lebih menggemari skenario cinta yang murah, motif yang mudah
ditebak, serta drama berkepanjangan, agar kita sedikit rebah dari penat
sehari-hari, karena terlalu sering disibukkan rutinitas dan mengidamkan sebuah
utopia. Pelak, kisah Mirna dan Jessica terjual laris manis oleh media massa.
Namun,
dalam realitas kebangsaan kita, pernahkah kita bertanya kecil sekedar protes
pada diri sendiri? Betapa banyak satu orang mati dalam satu hari di tanah air
ini? Berapa banyak anak-anak terlantar di pinggir jalan, kolong jembatan, atau
di depan warung-warung berpetak lumayan untuk ditiduri. Berapa jumlah yang
meninggal karena ditelantarkan rumah sakit akibat kemiskinannya, seberapa
sering mereka kelaparan hingga tidak tidur semalaman, kerapkali mereka terpaksa
harus menghinakan diri mencuri atau membunuh demi sesuap nasi agar mampu
bertahan hidup satu hari saja. Dalam peradaban modern dimana esensi humanitas
mulai terkikis, bahkan melacurkan diripun adalah pilihan rasional.
Sang
nabi komunis berkata, “Sejarah hanyalah tentang perjuangan kelas”. Sebuah
survivalitas atas praktek penghisapan kekayaan dari kaum kapitalisme dan
borjuisme terhadap kelompok proletar yang malang. Karl Marx tidak main-main
tatkala menyerukan kematian kapitalisme. Tatkala ia berpidato, bahwa
hantu-hantu Kapitalisme tengah berpenampakan di sekujur kota Jerman, cemas akan
saat-saat akhir keruntuhan mereka. Sayangnya Marx tidak lebih menyajikan sebuah
utopia, sesuatu yang dikenal dalam budaya popular sebagai dystopian. Alih-alih meledak di kota kesayangannya, Jerman, Rusia
malah merupakan Negara pertama yang mempraktekan wejangan Marx.
Berbicara
tentang Rusia dan kemiskinan, saya kemudian teringat tentang sebuah elegi. Kita
berbicara tentang sebuah magnum opus, karya
kesusteraan yang sempat mempengaruhi budaya sastra Rusia. Fyodor Doestoevsky,
tidak pernah mengira jika novel yang dia retas, mampu membuat dia diakui
dimana-mana sebagai sang Gogol baru. Buku
itu berjudul Bednye Lyudi, yang
diterjemahkan “Orang-orang Malang”. Berkisah tentang dua orang yang saling
surat menyurat – Makar Devushkin dan Varenka Dobroselova. Doestoevsky pantas
memberi sanjungan atas kedua tokoh fiksi yang dia reka itu, yang telah
memberinya kemahsyuran dan dikenang sejarah.
Pernahkah
kau mendengar sebuah adagium? “Ketika rakyat bungkam atas preampasan,
penindasan dan ketidakadilan, maka penyair dan sastrawan bertugas menjadi
corong, semacam penyambung lidah rakyat”. Novel Doestovsky lahir pada abad-abad
dimana gerakan Romantisme tengah bergerak di Eropa. Sebuah masa kelam, yang
ditandai dengan pergolakan kelompok-kelompok marginal atas malapetaka
kemiskinan yang bagaimanapun juga adalah akibat keserakahan elit penguasa,
Negara dan egoisme pasar. Makar Devushkin dan Varenka Dobroselova, tidak hanya
tengah beradu kata-kata gombal yang murah. Mereka juga berbicara tentang betapa
mengenaskan hidup sebagai seorang miskin dan menderita kecanduan alcohol akut.
Atau tentang hidup Varenka, sang gadis yatim berusia akhir belasan tahun yang
entah bagaimana caranya kehormatannya telah dilukai oleh seorang tuan tanah
bernama Bykov. Mereka adalah representasi tentang situasi kemiskinan kaum
miskin kota, yang terlunta-lunta; yang tidak jelas akan mudah atau sulit untuk
menghadapi besok hari dan seterusnya.
Devushkin
adalah pria uzur yang kesepian, dalam kehidupannya yang sudah seusia senja,
siapa yang mengira bahwa kemewahan baginya hanyalah ketika berkesempatan untuk
membagi perasaan cinta. Surat demi surat dikirimkan pada tetangga yang dia
kenal berparas cantik, sebatang kara dan diketahuinya sebagai seorang yang
fakir didera kemiskinan berat. Dengan membangun rantai psikologis antara satu
tokoh dan tokoh lainnya, ketertautan nasib serta gaya penuturan yang satiris
terhadap keangkuhan orang-orang bernas atas kelompok marginal yang menjamur;
“Orang-orang Malang”, berhasil menembus hingga ke inti hati nurani kita untuk
berani bertanya bahwa apalagikah yang penting bagi mereka yang hidup melarat
dan banting tulang sekuat tenaga demi sihir modern bernama uang? Doestovsky
mengajarkan kita satu hal yang luhur dan krusial: kesejahteraan dan kemapanan
materil, kekayaan harta benda dan kemewahan gaya hidup tidak mampu membeli satu
hal agung yakni kehormatan, sebuah nilai yang melebihi nilai-nilai
materialistik. Orang-orang Malang yang berjibaku dengan kemiskinan dalam
keseharian mereka, tidak pernah memohon apalagi mengemis, mereka hanya butuh
dibalasnya cinta, kehormatan pribadi dan keteduhan jiwa; sesuatu yang sudah
cukup dianggap mewah agar menerima keberanian dalam menghadapi kehidupan.
Kisah
hidup Makar Devuskin yang terlunta-lunta itu, merupakan hantaman keras di
kepala dan nurani kita. Entah bagaima cara kalian, tapi aku menggunakan
kisahnya sebagai cermin bagi realitas bangsa kita. Rasa hormat telah menjadi
barang yang mahal dan tidak pernah menampakan diri di pinggiran jalan atau di
wadah-wadah penampung uang yang digunakan kaum fakir demi menyambung hidup. Di
perkotaan apalagi, kerumunan orang lalu lalang dan berpura-pura buta terhadap
anak kecil tak bersepatu tak berumah di sekitar mereka, pemuda-pemuda bergitar
di rumah makan dan angkot, orang-orang tua dengan kulit terbakar oleh sengatan
matahari. Kita cenderung abai, dan takut membayangkan bagaimana cara mereka menjalani
degup demi degup jantung yang nyaris copot oleh kerasnya realita. Meski
beberapa ada yang mempraktekan welas asihnya dengan pundi-pundi rupiah atau
koin-koin perak, tapi lebih dari itu, adakah yang menyumbangkan rasa cinta,
empati, hormat, dan penghargaan atas kemanusiaan. Nilai-nilai yang pada
dasarnya lebih fundamental bagi manusia. Uang, akan membuat kita kekenyangan
hari ini dan lapar besok hari. Tetapi cinta dan martabat, sanggup membuat kita
bahagia dan menikmati syukur atas berkah kehidupan selamanya. Lebih dari itu,
cintalah yang menangguhkan “kemanusiaan” manusia sebagai nilai kekal pun indah
di atas bumi.
Tidak
terbayang berapa jelasnya kehidupan jalanan memaparkan kesemrawutan moral dan
dekandensi kemanusiaan dengan telanjang. Hidup sebagai bangsa Indonesia adalah
menjalani paradoksikalitas. Di Negara kita, orang miskin dilarang sakit karena
kesehatan begitu mahal. Penjara yang seharusnya tempat pemulihan sosial menjadi
arena pelanggaran HAM. Maling-maling kecil dihakimi sedang maling-maling besar
dilindungi. Pendidikan, adalah suatu kemewahan terakhir yang asing bagi tak
berpunya, suatu ironi bila dibandingkan dengan pasal 34 konstitusi kita, UUD
45. Secara statistik maupun kualitatif, akan lebih mudah menemukan kejahatan,
kebodohan dan kemiskinan sebagai yang merajarela di atas Bumi Pertiwi. Syahdan,
sistem sosial-budaya dan ekonomi-politik yang mestinya jadi instrument
penghapusan tiga hal yang merajarela tadi, ternyata adalah pelaku utama atas
tiga problematika bangsa kita. Sistem, alih-alih digunakan untuk menghapus itu,
malah bertugas memelihara hal-hal demikian. Maka dengan apa lagi, selain
mengakui sebuah pernyataan: “kita tengah terjebak dalam sebuah lingkaran setan
dekadensi, viscnious circle.”
Inilah
yang aku khawatirkan, yang membatin hingga mencemaskan kami selaku pewaris
tradisi. Apakah harus kita salahkan media yang lebih mengangkat persoalan kopi
Sianida Mirna di permukaan dibandingkan memberitakan problematika sosial tadi,
yang sehari-hari terjadi tapi sangat kurang intens diberitakan secara
berulang-ulang? Kasus kematian satu orang, Mirna Salihin, laris manis dalam
pasar informasi, sedangkan berjuta-juta kematian dan musibah kemanusiaan yang
terjadi sehari-hari di dekat kita, begitu murah dan tidak menawan untuk
diterima. Tidak, bagiku bukan media yang perlu kita salahkan. Media sudah
menjalankan tugasnya sebagai agen pemberi kebenaran pada publik, mereka
menyajikan apa yang menarik di mata masyarakat luas. Mungkinkah yang salah
adalah selera publik kita yang dikontaminasi oleh ideologi sinetronisme?
Fenomena
hari ini telak, menghantam kesadaran kita, bahwa agar kemiskinan, tragedi
kemanusiaan, kematian sia-sia, permasalahan kesehatan, dan sengkarut problem
lainnya, ternyata sudah tidak menarik hati nurani kita, kita bosan dan jenuh
dengan masalah yang sama dengan metode kurang menarik. Mungkinkah orang-orang
miskin yang menderita secara moral maupun fisik harus meniru cara-cara
pembunuhan dalam Detective Conan biar menarik dan diperhatikan kemudian
memperoleh belas kasih public? Tidak pelak lagi, untuk memperoleh simpati kita
perlu melakukan pembunuhan ruang tertutup, konspirasi oleh organisasi berbaju
hitam, penindasan yang penuh dengan melankolia, penculikan tukang bubur batal
naik haji, atau pencurian bank mewah oleh Kaito Kid.
Drama
Kopi Sianida yang diperankan oleh Jessica Wongso, adalah sebuah cerita pahit
nan sedih, sebuah elegi! Bila kita bertanya pada Ben “Perfecto” sang pemeran
Filosofi Kopi tentang makna Kopi Vietnam bersianida, maka mungkin dia hendak
berkata: “kopi sianida bukan tentang Mirna dan Jessica, tapi tentang carut
marut patologi sosial yang berada di belakang fenomena ini, yang tertutup rapi
dan terlupakan mata; kopi sianida adalah kopi mematikan, mematikan nalar dan
hati nurani atas kematian “kemanusiaan” manusia sehari-hari yang kian
membosankan; kopi sianida adalah bukti, bahwa penderitaan individual dan
kolektif butuh sensasi untuk menangkap hati nurani yang kian letih menahan
sakit hati bangsa, sakit hati ibu Pertiwi”.
1 Komentar
Z
BalasHapus