Absrtak
Gerakan-gerakan feminisme adalah gerakan yang mengutamakan kebebasan perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki di ruang publik. Dahulu, ketika kaum permpuan sudah tidak lagi mampu untuk menahan dera dan amarah karena dipaksa dalam agenda domistifikasi, dimana perempuan diisolasi di ruang privat dan ruang publik hanyalah milik laki-laki; pada saat itulah angin perlawanan berhembus. Kaum perempuan mulai menyadari bahwa ada yang ganjil dalam sistem sosial dan sistem kepercayaan yang dianut turun temurun. Perlahan-lahan, paradigma perempuan mulai terbuka dan begitu juga laki-laki. Bahwa hingga hari ini, masih umat manusia masih begitu sangat dihegemoni budaya patriarki. Era Neo-Globalisasi bergulir bak bola salju yang dengan liarnya bergelinding menanduk siapapun yang berada di depannya. Era ini menandakan satu hal, bahwa keran-keran informasi telah terbuka dan arus lalu lintas perputaran gagasan begitu pesat. Beberapa pemikir menyebut fenomena ini sebagai transgresi. Melanggengnya budaya patriarki dalam ruang publik dalam artian secara realita maupun hyper-realita, telah menuntun kita ke pertanyaan: bukankah gerakan-gerakan feminisme sudah cukup alot dan gencar untuk meluluhlantakkan semua dominasi maskulinitas? Hingga hari ini, terlampau banyak aliran-aliran feminisme yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Dari opsi-opsi yang ditawarkan oleh kelompok feminisme tersebut, rupanya seringkali terjadi gap dengan kondisi lokalitas sosio-historis dan sosio-kultural masyarakat. Sehingga, diperlukan basis nilai yang bersifat Universal, yang bisa diresapi oleh semua corak individu-masyarakat. Gerakan Tauhid Feminisme adalah alternatif – dan kalau boleh dikatakan – terakhir.


BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Sejarah umat manusia telah membentangkan semacam tali merah yang menandai bangkit dan runtuhnya peradaban. Jejak-jejak tersebut bisa kita lacak bersama dalam kacamata waktu, baik secara naratif, literal, maupun arkeologis. Pelajaran yang telah tertuang dalam pengalaman kita sebagai umat manusia terlepas dari diferensiasi ras, suku, bahasa, pulau, negara secara teritorial, budaya, dan keturunan, telah mengajari kita bagaimana bumi yang hari ini kita tinggali, mulai kekenyangan dengan berbagai problematika sosial hingga moral.
Manusia bukanlah sekedar mahkluk yang hidup demi makan, barangkali begitulah sabda Sokrates. Logika telah mengajarkan bahwa kita secara esensial dibedakan (differentia) dengan mahkluk lain sejenis hewan dan tumbuh-tumbuhan. Akal yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, telah mendorong manusia untuk memiliki kehendak bebasnya (free will / free act ) sendiri. Tidak dibatasi oleh sekedar dorongan hewani. Dibanding anjing yang mencari mangsanya dibawah kuasa nafsu atau misalnya kucing yang sedang bersetubuh di tempat umum. Manusia memiliki kesadaran (consciuosness) sehingga dengan penuh kuasa atas kehendaknya, manusia dapat merepresi dorongan tersebut.
Kemampuan dasariah itulah yang memposisikan manusia sebagai subjek peradaban. Lihatlah burung yang bertengger di pepohonan. Sejak zaman dahulu hingga sekarang, hanya meninggali sarang dari susunan jerami atau ranting-ranting kecil. Tetapi manusia berbeda, manusia berkreasi; menciptakan teknologi. Kita bisa menggali literatur lewat keberhasilan ilmu sejarah ilmiah dan arkeologi, bahwa manusia dahulunya tinggal di dalam goa. Perlahan-lahan, manusia mulai belajar bagaimana caranya bertahan hidup dengan mengembangkan rumah sebagai tempat tinggal. Kemudian muncullah rumah yang terbuat dari kayu, besi, logam, hingga hari ini kita tercengang telah berdirinya gedung-gedung pencakar langit. Yang sekali lagi tidak mungkin bukan tanpa potensi akal atau rasio.
Potensi tersebut senantiasa berkembang dari zaman ke zaman. Herakleitus (dari zaman pra-sokrates) berujar, kita tidak bisa datang ke sumur yang sama dua kali dengan kondisi yang sama. Secara garis besar, dapat kita tarik bahwa Herakleitus mengatakan satu-satunya yang kekal adalah perubahan. Barangkali karena hal demikianlah, beliau dijadikan referensi paling kuno bagi penganut dinamisme. Namun manusia menolak berlaku pasif atas perubahan. Manusia meraih posisi sebagai pelaku aktif yang mendominasi gerak sejarah peradaban.
Sebagai pelaku aktif dari perubahan, manusia senantiasa menciptakan sesuatu dari yang bersifat fisik maupun yang non-fisik (semacam sistem, aturan, norma). Dalam perspektif Eksistensialisme, manusia lahir dari sebuah momen keterlemparan. Sejak saat itu, mereka menciptakan sistem nilai sebagai upaya interpretasi atas realitas. Meskipun menyepakati Hugo de Groot, bahwa disamping nilai yang diciptakan manusia, terdapat juga nilai-nilai yang sudah ada secara natural (paham naturalisme) yakni hukum Tuhan atas realita (keharusan universal). Manusia kemudian membentuk sistem norma yang mengatur hubungan antar manusia (habluminanass) dari kelompok paling kecil yakni keluarga hingga kelompok paling besar yakni masyarakat global (global village); sistem sosial.
Norma tersebut mengikat tiap manusia dan memendam semacam konfigurasi berkenaan dengan apa yang harus dan tidak harus dilakukan dalam ruang publik hingga ruang privat. Perilaku manusia dalam laku bermasyarakat terkontrol dan diproses oleh sistem sosial yang merasuk ke alam bawah sadar tiap individu. Sistem tersebut menjadi titik acu atas pola interaksi antar individu (mikro-sosial) maupun antar kelompok sosial (makro-sosial). Sebagai suatu tatanan norma yang hidup dan melekat secara turun temurun, lewat dialektika dan diskursus maupun pengawasan dari para pemegang otoritas tertentu, norma tersebut disepakati, atau bila kita (berani) berasumsi: dipaksa untuk terberlakukan.
Kualitas manusia selaku mahkluk yang berpikir, senantiasa hadir dan memenuhi episode-episode sejarah dalam rangka merepreduksi wacana di ruang publik. Bukan hanya bangunan, infrastruktur, aspek-aspek fisik dan arsitektur saja yang dihasilkan oleh perbuatan kreatif kita. Gagasan-gagasan yang bahkan bersifat metafisik (logos), telah memancing ketertarikan kita. Argumen demi argumen silih berganti, mewarnai pluralitas wacana yang beberapa sudah usang dan lainnya masih begitu hangat menembus dialektika dan ruang diskursus.
Salah satu wacana yang begitu hangat dan masih menjadi pekerjaan rumah yang begitu dahsyat hingga hari ini, adalah tentang bagaimana kita meletakan posisi perempuan di ruang publik. Wacana ini telah mengaras dan senantiasa memperoleh posisi dalam tiap episode peradaban. Berbagai respon menghujani ruang-ruang diskursus maupun dialektika dalam menanggapi perkembangannya. Banyak yang menempatkan diri mereka di kubu pendukung maupun penolak secara radikal.
Wacana ini dibahas dalam berbagai macam bingkai persepsi. Bila kita menggunakan analisis ala Jacques Derrida, setiap wacana pasti memendam semacam oposisi biner yang bisa diolah dalam upaya penelanjangan alam bawah sadar para penafsir. Misalnya kenapa kemudian konsep tentang wanita senantiasa dijadikan objek, dan lelaki merupakan subjek. Antara sistem patriarkal dan matriarkal. Siapakah yang berlaku pasif dan aktif. Pelaku dan korban. Para penjaga tradisi dan para pejuang modernisasi. Semuanya memiliki benturan-benturan mereka sendiri. Namun demikian, tidak kemudian menjadikan seorang semua pejuang feminisme adalah wanita dan tidak memutlakan bahwa pengkritiknya selalu kaum lelaki. Paradoksikalitas serta kontradiksi (dalam penggunaan Giddens) selalu berputar mengelilingi solusi sebagai poros perdebatan wacana ini.

Posisi Perempuan dari Zaman ke Zaman

Dengan menilik realitas hari ini, maka akan merupakan suatu keharusan bagi kita untuk menengok kembali apa yang telah terjadi di belakang setelah diringkus oleh sang waktu. Meningat perkataan Hegel, bahwa dunia hari ini merupakan gema dari zaman yang telah terhadulu.[1]
Sejak zaman dahulu, status ontologis wanita senantiasa diperdebatkan. Para filsuf di era Yunani klasik yang sedang pada puncaknya merupakan pelaku bagi ide-ide tentang diskriminasi pada perempuan. Plato menulis: “saya bersyukur kepada dewa-dewa atas delapan berkat”, salah satu berkat itu adalah tidak terlahir sebagai wanita. Bila kita membaca seksama literatur-literatur Plato, akan kita maklumi sifatnya yang begitu maskulin lewat ide-ide dan gagasan tentang otoriterianisme yang tercermin dari republik. Pun, sama halnya dengan pemikiran Aristoteles, murid Plato. Dia mengutarakan, perempuan sebagai lelaki yang terlahir tidak sempurna. Lahir sebagai perempuan, akan memberikan citra yang jelek terhadap keluarga. Sebagai pesohor dan pemikir terkemuka di zaman mereka[2], semua argumentasi tentang segala sesuatu memiliki kekuatan yang menyihir para pendukungnya untuk menerimanya selaku doktrin.
Bukan hanya di Yunani hal serupa terjadi. Di Cina kuno misalnya, seorang lelaki dapat serta merta dan tanpa larangan dari siapapun untuk memaksa perempuan yang dia inginkan menjadi istri atau dengan istilah yang lebih mudah diidentifikasi – melihat perilaku mereka secara langsung – sebagai selir di rumah. Ketika seorang perempuan telah mengikatkan dirinya sebagai isteri bagi lelaki, maka kebebasannya dipegang total oleh sang suami. Kebiasaan lainnya yang berlaku saat itu, lelaki dapat dengan mudah menjual istrinya tanpa ada sanksi sedikitpun.
Lain pula yang terjadi di Afrika. Bagi bangsa Ashanttes, Raja memiliki kekuasaan prerogatif istimewa atas banyak hal. Raja mewarisi seluruh kekayaan warganegaranya yang meninggal dunia. Wanita yang tidak kawin ataupun sudah ditinggalkan oleh suaminya, dapat dengan leluasa diangkat oleh Raja sebagai miliknya secara pribadi. Dan lelaki yang ingin menikah dengan perempuan tersebut, harus meminta izin Raja agar dapat dijadikan istri. Perempuan kemudian – meminjam istilah El Shadaawi – berada pada titik nol.
Di India, perempuan adalah bayangan pria. Mereka yang menikahi seorang pria, ketika suaminya meninggal maka dia diwajibkan untuk bunuh diri. Orang-orang pada masa gelap tersebut memiliki sistem kepercayaan bahwa istri yang menjanda harus mati untuk mengikuti arwah suaminya dan melayani suaminya di dunia yang lain, dunia metafisik. Wanita yang melanggar adat tradisional ini akan dikucilkan, dan meninggal dalam kesepian. Orang Inggris yang menyaksikan fenomena ini, membujuk suami orang yang akan melakukan bunuh diri yang berdiri disampingnya namun sama sekali tidak acuh, karena dia memiliki banyak isteri di rumah. Seringkali duapuluh wanita terlihat menceburkan diri mereka bersama-sama ke dalam sungai Gangga, dan di pegunungan Himalaya seorang Inggris mengadakan perjalanan menemukan tiga wanita mencari mata air sungai Gangga, dalam rangka mengakhiri hidupnya di sungai suci ini.[3]
Pada era dimana masyarakat Arab masih terjebak dalam arus periode Jahiliyah (Zaman Kebodohan), perempuan merupakan kelas yang sangat rendah dan tidak luput dari diskriminasi yang tidak kurang keji halnya dengan negara-negara yang sudah dibicarakan. Tiap kali bayi perempuan lahir, maka sang orangtua bisa dengan bebas untuk membunuh dan atau mengubur bayinya hidup-hidup. Sama halnya dengan paparan Aristoteles, bahka perempuan merupakan citra buruk bagi keluarga. Di Arab saat itu, perempuan adalah sumber dari rasa malu dan kelemahan keluarganya. Agaknya dilatarbelakangi oleh profesi perempuan yang banyak berprofesi dalam dunia prostitusi. Meskipun tidak berlaku mutlak. Kita mengetahui bahwa Khadijah adalah seorang pedagang yang sukses dan dihormati di sukunya pada saat krisis moral tersebut. Tampaknya juga inilah yang melatarbelakangi poligami sebagai budaya massa (mass culture) bahkan setelah Muhammad saw muncul.[4]
Bila seorang anak perempuan terlahir di keluarga di Mesir, dan tidak digendong oleh ayahnya, maka anak tersebut bebas untuk dibuang di jalanan atau di tempat-tempat dimana ritual diadakan. Setiap orang bebas untuk memunggut bayi yang baru lahir tersebut, dan akan menjadikannya sebagai budak untuk selama-lamanya. Diskriminasi dan pembatasan atas hak-hak perempuan di Mesir masih bertahan bahkan hingga abad ke 14 Masehi. Tepatnya setelah terpicunya amarah kelompok yang berkuasa, pemimpin Mesir lalu membatasi agar perempuan tidak boleh keluar rumah bahkan apabila itu ke pasar sekalipun. Tidak sedikit penampakan perempuan dicambuk di tempat umum karena melanggar aturan itu.
Lalu skarang di era modernisme dan menjelang abad posmodernisasi / paska modernisme, diskriminasi-diskrimanisi tersebut berlanjut dengan wajah dan rupa yang berbeda. Bila sebelumnya eksploitasi terhadap harga diri dan martabat wanita terjadi secara fisik dengan konfigurasi yang represif, maka hari ini citra wanita dieksploitasi dengan cara yang halus dan manipulatif. Setelah upaya perlawanan wanita mengemuka di Mesir dan peristiwa Revolusi Industri di Perancis, para pelaku kekerasan simbolik mulai memutar otak untuk mencari gaya hegemoni baru yakni lewat kuasa kapitalistik atas kemajuan informasi dan rekayasa paradigma dalam dunia virtual – sebagai konsekuensi arus globalisasi yang begitu lebat. Jean Baudrilliiard menggambarkannya secara jelas dalam simulacra.

Melacak Problematika Secara Holistik; Meretas Alternatif

Fakta-fakta historis telah bicara, akhirnya kita mahfum bersama, terdapat problematika yang musykil dihadapi di depan. Pendiaman atas wacana ini, hanya akan memelihara konflik tersebut untuk tumbuh besar dan menggurita. Pada akhirnya, secara tidak langsung kitalah para penangguh masalah dan diskriminasi turun temurun. Dengan memilih untuk berdiam diri, kita akan keasyikan menonton bola liar konflik ini berdiaspora. Selain itu bagi mereka yang memilih untuk berjuang dalam misi suci pembebasan atas segenap diskriminasi dan perjuangan demi memecahkan jalan keluar, harus selalu memikirkan langkah-langkah cerdas dan konkrit tanpa meninggalkan pertimbangan intelektual-moral. Harus selalu diadakan kontekstualisasi dan reformulasi mengingat satu masalah tidak akan pernah dapat diselesaikan dengan cara-cara yang selalu sama. Telaah kritis baik secara teoritis maupun metodologis mesti senantiasa menjadi pisau analisa atas hal-hal yang mengkhawatirkan tersebut.
Kenapa harus selalu ada upaya reaktualisasi dan kontekstualisasi? Satu masalah, senantiasa memiliki dimensi yang beragam. Dalam hukum misalnya, seorang penegak hukum tidak bisa sekedar menggunakan persepsi hukum yang pure positif (aliran hukum murni Hans Kelsen). Penyelidikan serta analisa terhadap hukum senantiasa bersinggungan dengan disiplin ilmu lain. Hukum membutuhkan disiplin ilmu psikologi dalam hal penyelidikan. Di sisi lain, disiplin antropologi berguna untuk mengungkapkan karakter budaya suatu masyarakat dan menentukan watak hukum adat yang berlaku di dalamnya (living law). Pada buku Thomas Kuhn, secara gamblang dipaparkan bahwa revolusi sains, bahkan telah berkembang secara menyeluruh dan berlaku integratif serta interkonektiv terhadap jaringan ilmu pengetahuan (consilience). Paradigma Newtonian-Kantian telah merebah, menjamah lapak hukum dan sosiologi (dalam bidang positivisme). Kita juga belajar bersama, bagaimana bapak biologi sebelum Edward Talson, Charles Darwin telah memperkenalkan konsep evolusi yang begitu dikagumi seorang Karl Marx telah menjadi basis teoritis bagi kelahiran komunisme. Paradigma Sains sebagai ilmu pasti (exact) telah memberikan kontribusi besar atas kelahiran-kelahiran ilmu sosial sebagai ruangan yang diliputi keserba relatifan dan dinamisme.
Hal ini mengingat apa yang dikatakan Karlina Supeli, bahwa manusia senantiasa terikat pada cakrawala pengetahuan seberepapun jauhnya kita mendorong cakrawala itu.[5] Ketahanan pangan, misalnya, adalah masalah yang tidak mungkin diselesaikan hanya oleh ilmu tentang pangan, sekaligus menuntut keketatan metodologis ketika pengetahuan tentang kualitas tanah, perubahan iklim, akses ke air dan kualitas air, polusi, distribusi kekayaan global, sosiologi, hukum dsb, memberikan kontribusi trans-disiplin bagi masalah pangan dunia. Demikianlah masalah perempuan di ruang publik yang harus kita urai secara teliti dan mendalam mengenai strukutr wacananya. Yang apabila kita lihat dari atas (helicopter view) memiliki sistem jejaring yang saling berkaitan, bertubrukan, berhimpitan, berdempetan dan mempengaruhi satu sama lain.
Gerakan-gerakan pembebasan tentunya berawal dari suatu pandangan umum atas dunia entah itu Ilahiah ataupun materialistis. Pada kelompok pertama kita mengenal para pejuang Logos, metafisika, supra-empirik yang sangat sering dijumpai pada benak-benak sufi, mistikus, altruis, Buddhism[6], dan HMI salah satunya juga. Kelompok kedua adalah para serdadu yang berada di garda depan (avant garden) pembebasan sosial, yakni Marxian, Syariatisme, Sosialisme, Giddenisme, dan lain sebagainya. Bahkan Adam Smith sebagai bapak kapitalisme, juga memimpikan tentang surga kebebasan. Bedanya adalah, kebebasan yang ditawarkan olehnya adalah kebebasan individual sehingga terbatasi pada ruang privat.
Pada intinya, pandangan dunia (world view/weltanchaung) akan bermuara pada ideologi yang meringkus kesadaran atas realitas. Selanjutnya, mempengaruhi kita untuk menentukan pikiran serta tindakan berkenaan dengan apa yang harus atau tidak harus, sesuai titah ideologi dan hati nuraninya membawa. Alur itulah yang mengantarkan kita pada sikap yang paling konkrit demi membahas sesuatu.
Paradigma yang demikian, tidak boleh bersifat tertutup. Dia harus terbuka dan adaptif. Gagasan itu harus bersifat universal dan diterima pada setiap waktu maupun tempat. Senantiasa memiliki ruang dalam harapan-harapan individu. Bukan yang orang kaya, Mike Tyson, presiden yang mampu berhasil; yang adaptiflah yang akan berhasil. Gagasan itulah yang barangkali telah menuntun Francis Fukuyama bernubuat perihal kemenangan kapitalisme di ufuk sejarah. Tetapi – apabila kita baca dengan cermat – dalam buku yang dia maktubkan, terdapat semacam isyarat, bahwa gagasan universal tersebut tidak hanya dipendam oleh ideologi kapitalisme. Diam-diam, ada gemuruh, ada kekuatan besar yang sedang asyik menjadi bayangan peradaban. Gagasan tentang “keadilan sosial” adalah mimpi umat manusia, itulah yang terus menerus didengungkan oleh dunia Islam.

Islam Sebagai Alternatif

Tatkala itu, dunia sedang dihempas oleh kekeringan ide, gagasan, pemikiran, kreatifitas serta lusuhnya spiritualitas. Pada masa-masa yang kelam tersebutlah, teks sejarah menandai itu sebagai abad kegelapannya Eropa (Dark Ages). Paska ditumpaskannya Yunani, berdiri tegaklah Peradaban Romawi yang pada awalnya meminjam potongan-potongan budaya Yunani sebagai identitasnya. Ironis, harus berujung pada watak asli bangsa mereka; bangsa yang bar-bar, tribalisme akut, primitif, yang hasrat kekuasaannya dan kekuatannya sudah cukup untuk membinasakan diri mereka sendiri.[7] Pada masa itu, Eropa tidak lebih daripada gurun tandus – metafora dari keringnya gagasan – yang apabila kita ingin membayangkan seuatu yang lebih menawarkan harapan daripada itu, maka tengoklah ke sebelah Timur dunia. Rupanya, di jazirah Arab sedang terjadi golakan, tentang sebuah harapan baru umat manusia yang dapat kita pahami hanya ketika mengingat bahwa itu adalah tahun gajah; hari dimana Muhammad SAW dilahirkan dari rahim Aminah binti Wahab bin Abdul Manaf dan benih ‘Abdullah bin ‘Abdul Muttalib bin Hasyim.
Abad ke-7 Masehi merupakan jembatan besar yang mengantarkan umat manusia kepada zaman pencerahan (Renaisains). Abad-abad itu begitu banyak inovasi yang berhasil dicetuskan sang nabi demi dunia. Gagasan-gagasan lama yang sudah usang, dengan begitu cepat diganti baru. Watak bangsa Arab yang dulunya bar-bar, tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat menjadi berbudaya, tidak ayal lagi; beradab. Piagam Madinah (Madinnah Carter’s) diakui sebagai konstitusi dalam arti modern jauh sebelum konstitusi Amerika lahir abad 16; Hukum Humaniter Islam yang bahkan sangat ramah lingkungan dibanding Hukum Humaniter Internasional versi PBB; konsep tentang memanusiakan manusia terutama ketika sang Nabi memberikan Bilal (seorang budak) sebuah kehormatan sebagai pendengung adzan untuk pertama kali atau bisa kita saksikan manakala Muhammad mengangkat Zaid bin Harits sebagai anak angkat meninggalkan predikat budaknya[8], dan (terutama); wanita diberikan posisi yang terhormat, memanusiakan perempuan dan mengeluarkan mereka dari liang kehinaan. Pun, tidak kemudian menjadikan Rasulullah Muhammad yang notabene adalah dari kaum lelaki untuk disifati sebagai inferior, karena tokoh dari kehormatan wanita itu sendiri bukanlah baginda nabi tetapi akan lebih pantas kita sandingkan pada Siti Khadijah dan atau Siti Aisyah.
Sistem serta corak berpikir dalam Filsafat Islam merupakan air segar bagi oase pemikiran dalam kaitannya dengan perjuangan keadilan gender telah menjadi tantangan serta peluang baru untuk memberengus dan mengimbangi wacana keperempuanan yang secara global didominasi oleh pemikiran-pemikiran Barat. Dari hari ke hari, perjuangan kebebasan perempuan di ruang publik memendam tendensi untuk luruh ke gerakan radikalisme dan anarkis karena corak liberalisme Amerika – sebagai  lokus dari sistem demokrasi dan kebebasan global yang begitu bebas bahkan dari nilai-nilai dan moralitas yang begitu kontradiktif dari budaya Timur yang sejatinya beradab dan menjunjung adat kesopanan. Dunia Islam sebagai salah satu domain kekuatan peradaban-peradaban Timur, harus memberikan sumbangsih berupa alternatif terhadap wacana feminisme dengan gaya serta pola yang mampu diterima. Karena tiap benua dan samudera tumbuh dari alam sadar masyarakat dan kesadaran kultural yang berbeda, maka produk pemikiran suatu peradaban belum tentu akan cocok dengan peradaban lain. Apabila misalnya model feminisme Barat diaplikasikan ke peradaban Asia Selatan misalnya, fenomena yang muncul dan terjadi adalah pemaksaan diterimanya budaya (Westernisasi) dan merenggus identitas-identitas pribumi sebagai kekayaan atau kearifan lokal. Padahal Cak Nur (sapaan akrab mendiang Nurcholis Madjid) telah mengisyaratkan bahwa modernisasi itu bukan semangat westernisasi, akan tetapi rasionalisasi.[9] Lebih parah lagi, adanya tendensi bahwa globalisasi dalam imperialisme nudaya tidak lain adalah Amerikanisasi sebab sejak berakhirnya perang dunia ke II, distribusi kekuatan global terpusat di Amerika Serikat.[10]
Harus disepakati bersama, bahwa Cak Nur merupakan pionir penting dalam gerakan modernisasi dan purifikasi Islam telah membimbing bangsa kita Indonesia dan menginspirasi pemikiran-pemikiran Islam nasional dan internasional dalam beberapa hal. Tak sulit untuk menyepakati bahwa Cak Nur adalah seorang pemikir Muslim modernis, lebih tepat Neomodernis – meminjam peristilahan yang sering ia sendiri lontarkan. Maka melanjutkan para perambah modernisme klasik di masa-masa lampau, Nurcholis Madjid bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan kontemporer kekinian. Meski berbeda dengan para pendahulunya, semuanya itu tetap harus didasarkan pada khazanah pemikiran Islam yang telah mapan. Di segi lain, sebagai penganjur neomodernisme, ia cenderung meletakan dasar-dasar keislaman dalam konteks kearifan lokal – yakni keindonesiaan.
Meskipun makalah ini sedikit banyak berangkat dari keterpesonaan penulis terhadap misi luhur mendiang Cak Nur, tidak menutup ruang untuk mengelaborasi wacana yang ditawarkan dengan gagasan-gagasan tokoh lainnya sebagai bahan elaborasi dan tidak jarang akan dibenturkan demi memeras ide-ide baru bahkan radikal – bukan dalam konotasi yang negatif tentunya. Bahkan bila itu harus meminjam doktrin serta ide para filsuf Barat dan diluar Islam tentunya sebagai bahan evaluasi dan poin untuk menguji tesis yang dipersembahkan. Maka dengan latar belakang pemikiran yang demikian, dengan rendah hati tanpa dijejali rasa angkuh sedikitpun, dengan tegas ingin diutarakan bahwa masih ada harapan dan masih ada celah bagi Islam untuk ikut bergabung dalam arena wacana posisi perempuan tanpa meninggalkan nilai-nilai Tauhid. Sehingga Tauhid feminisme, diharapkan bisa menjadi basis pemikiran yang inovatif dan segar setelah berhasi dibongkarnya kekerasan simbolik terhadap perempuan di ruang publik.

B.     IDENTIFIKASI MASALAH

Dengan prawacana tadi, akhirnya pokok permasalahan telah mengerucut dari masalah umum (general) ke sekup masalah yang lebih khusus. Sehingga nantinya dengan analisa serta deduksi, telah terjabarkan pokok-pokok permasalahan yang sekiranya krusial serta mendesak untuk dibedah dalam beberapa poin, yakni:
1.      Mengurai kekerasan simbolik terhadap perempuan ruang publik
2.      Membongkar hegemoni patriarki dalam sistem sosio-kultural
3.      Reinterpretasi Tafsir Teologis tentang keperempuanan
4.      Dari dekontruksi ke rekontruksi ; Tauhid sebagai basis nilai
BAB II
PEMBAHASAN

A.    MEMBONGKAR KEKERASAN SIMBOLIK TERHADAP PEREMPUAN DI RUANG PUBLIK

Menjelang era posmodernisme ini, wacana-wacana filsafat ssedang diuji. Sebagaimana doktrin evolusi, hanya yang kuatlah yang mampu bertahan dan yang kuat tersebut adalah yang paling adaptif menyesuaikan dan fleksibel terhadap tantangan zaman (zeitgeist). Rupanya kelahiran modernisme yang telah mengantarkan Eropa pada pencerahan (renaisaince), sedang mengalami krisis dan berpretensi digilas zaman agar nantinya wafat sebagaimana pendahulu mereka. Setelah para pemikir besar yang tercerahkan (aufklarung/rausyanfikr) menyumbangkan gagasan serta ide-ide besar tentang perubahan dan dunia sebagaimana harusnya (das sollen), muncullah para penantang yang menguji pemikiran tersebut untuk tidak eksis sebagai basis pemikiran lagi.
Hal tersebut sangat maklum apabila kita mengingat teori loncatan paradigma (revolusi) Thomas Kuhn. Bahwa semua paradigma yang lahir di belakang waktu, akan diterima oleh tatanan masyarakat ilmiah untuk selanjutnya diuji. Pada akhirnya, muncullah situasi dimana paradigma lama mengalami titik kritis dan membuka peluang bagi munculnya paradigma baru sebagai anti-thesis – meminjam terminologi pemuja materialisme dialektika historis. Pada rentang jarak antara ilmu kritis dan paradigma baru inilah revolusi terjadi.[11] Dan bukan hanya teori metodologis Kuhn saja yang bisa dipaparkan untuk menjelaskan fakta pergantian paradigma, kita juga bisa melihat itu dari perspektif Karl Propper.[12] Dalam falsifikasionisme Properrian, dijelaskan bahwa suatu ilmu atau proposisi analitik akan difalsifikasi secara terus menerus secara empiris dan rasionalistis. Apabila tesis tersebut bertahan dari bencana kritik, maka akan diterima oleh tatanan masyarakat ilmiah. Tetapi apabila ditolak, maka pencarian masyarakat atas tesis yang lebih dapat diterima akan berlanjut untuk kemudian diuji secara terus menerus.
Benih-benih posmodernisme sebenarnya sudah menyeruak ketika sang filsuf pembunuh Tuhan – Nietzche memproklamirkan kelahiran Nihilisme sebagai filsafat yang membiaskan kebenaran dan sistem nilai. Beliau bersabda bahwa “tidak ada yang namanya fakta, yang ada hanyalah interpretasi”. Meskipun akhirnya proposisi demikian menyimpan paradoksikalitasnya sendiri, lantas apakah yang diutarakan oleh Nietzche tersebut? Bukankah proposisi tersebut juga berangkat dari fakta? Meskipun tidak sedikit sanggahan dan tanggapan kritis berupa penolakan terhadap karya-karyanya, harus diberikan aplause kepada beliau yang berhasil membuka keran-keran pemikiran lama bertransisi menuju pemikiran baru yang lebih kritis. Sebagai filsuf, pemikirannya terbukti mendahului zaman. Barangkali hal tersebutlah yang membuat seorang Ali Harb mengagumi sosok beliau. Di era yang lebih muda, yakni beberapa puluh tahun silam, muncul seorang pujangga dari Perancis. Jacques Derrida sebagai pemikir yang kontroversial di kalangan masyarakat ilmiah Perancis, mengutarakan dengan berani bahwa logos sebagai sistem metafisik telah mati.
Berbagai kritik dan telaah ulang terhadap realitas secara ontologis telah mengenyahkan batas-batas antara realita dan ide. Konsep-konsep tentang matinya penulis (the dead of author), relevansi teks dan realitas, hermeneutika kritis, teori interpretasi Ricouer, posstrukturalisme dan dekontruksinya Derrida, berakhirnya sejarah dan lain sebagainya. Telah merambah batas-batas dunia, batas-batas teritorial antar negara. Realitas secara ontologis mulai dipertanyakan. Kaum-kaum empiris mulai gelisah di hadapan para filsuf pembunuh realitas. Bagai efek domino, konsekuensi dari industrialisasi dan perkembangan IPTEK telah menggelindingkan bola panas yang disebut globalisasi. Penyebaran informasi yang tidak terkendali menjelma sebagai perahu dan dayung yang membawa virus-virus posmodernisme dan nihilisme melintasi kota dimana mereka lahir menuju ke kota tetangga dan begitupula seterusnya hingga merambah ke seluruh umat manusia. Memperkuat gagasan serta kerangka berpikir haruslah menjadi sebuah prioritas untuk tetap menjaga kewarasan agar kita tidak tenggelam di dunia hyperrealitas atau realitas semu.
Fenomena globalisasi diawali dengan dua hal secara fundamental yakni penyempitan ruang dan menyingkatnya waktu. Apa yang terjadi di London akan sangat mungkin memberikan dampak yang cepat secara tidak langsung pada Indonesia. Kita lihat bagaimana keruwetan Yunani menghadapi krisis ekonomi dan kebangkitan Amerika di pasar modal telah mempengaurhi bargaining mata uang Rupiah milik Indonesia yang hari ini mencapai empat belas ribu per dolar. Apa yang terjadi di bagian Barat (negara-negara Amerika Serikat) dan Utara (negara-negara Eropa dan Amerika Latin) akan sangat mungkin mempengaruhi kelangsungan warga yang berada di Timur (negara-negara Asia) dan Selatan (negara-negara Afrika) dan begitu juga sebaliknya. Dalam contoh yang lebih sederhana, kita bisa melihat bagaimana media sosial seperti facebook, twitter, instagram, path, dan lain sebagainya yang mempertemukan kita rakyat Indonesia dengan orang-orang dari benua lain. Kita bisa dengan mudah chatting dengan seorang pelajar di asrama Harvard dalam sekejap, meskipun dihalau oleh bentang jarak ribuan kilometer, hanya lewat layar laptop atau smartphone. Tidak ayal lagi, kita telah tinggal dalam kondisi yang sebagaiamana diilustrasikan Yasraf Amir Piliang; Dunia yang dilipat.
Akan sangat penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu lapangan penyelidikan, yakni pemahaman akan realitas[13] dalam pusaran globalisasi ini. Apabila ditelaah secara historis, paling tidak realitas dapat dilihat dari beberapa sudut pandang sebagai berikut: Pertama, dimana realitas adalah sesuatu yang hanya dapat ditangkap lewat kapasitas akal budi (ide, gagasan, esensi). Pemikiran ini menguasai betul mereka yang berada di bawah payung pemikiran idealisme, misalnya Plato, pada masa Yunani Kuno dan idealisme lebih modern seperti Hegel. Kedua, yaitu bahwa realitas berkaitan dengan sesuatu yang bersifat aktual, nyata, ada dan objektif, yang hanya dapat dikenali dan dipahami lewat mekanisme intuisi dan indra. Pandangan yang berada di bawah payung pemikiran empirisme seperti Bacon, atau seorang sosiolog positivistik seperti Durkheim.
Apakah hanya itu?[14] Tidak, karena masih ada realitas lain, yaitu sebuah realitas yang muncul ketika sains dan teknologi dengan kecangguhannya mampu menciptakan sebuah dunia artificial[15], karena realitas ketiga itu bersifat melampaui batas-batas realitas yang ada, kemudian oleh Baudrillard dan Umberto Eco disebut sebagai dunia Hiperrealitas, atau dunia yang melampaui realitas (hyper-reality).[16] Sebagaimana dijelaskan Baudrillard: “semua yang mengelilingi Los Angeles dan Amerika tidak ada lagi yang nyata, tetapi suatu tatanan Hipperealitas dan tatanan simulasi”. Baudrillard kadang-kadang menggunakan tema simulasi dan Hiperrealitas secara bergantian: “hiipperrealitas seratus persen terdapat dalam simulasi”[17], “hiperrealitas... tidak diproduksi, tetapi ia siap selalu direproduksi”. Tegasnya sebagaimana, ia adalah sebuah simulasi yang nyata dari yang nyata, lebih cantik dari yang cantik, lebih elok dari yang elok.[18]
Kesadaran atas adanya hyper-realitas, membuat kita mesti menelaah kembali tentang batas-batas ruang publik (public sphere) dan ruang privat (private sphere). Apakah itu ruang publik? Meskipun pertama kali diangkat ke permukaan oleh seorang sosiolog dan ekonom Jerman yakni Marxilian Carl Emil Weber, akan tetapi Jurgen Habermaslah[19] yang patut untuk dijadikan referensi utama mengenai teori ruang publik ini. Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai ruang demokratis atau wahana dimana warga negara dapat berbagi opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan secara diskursif. Interaksi tersebut dapat terjadi degnan berbagai macam model entah itu secara horizontal (interaksi rakyat kecil dan rakyat kecil) ataupun vertikal (interaksi rakyat kecil dan pejabat elit). Warung kopi, pusat perbelanjaan (meskipun tidak mutlak sebagaimana kritik Jurgen Habbermas), taman perkotaan, situs-situs sejarah, ikon pariwisata dan lain sebagainya adalah contoh konkrit daripada ruang publik ini.[20]
Namun di era posmodernisme ini, mengingat kembali bola liar bernama globalisasi tengah mengelinding sehingga menyebabkan polarisasi informasi dan pada akhirnya muncul realitas ketiga; hiper-realitas. Kemudian pertanyaannya, dimanakah posisi ruang publik dalam hiper-realitas ini? Dengan pengayaan-pengayaan ini, maka perlu disadari bahwa teori kritis tentang ruang publik akan beradaptasi dengan kehadiran realitas baru ini. Apabila dalam realitas empiris-inderawi, mekanisme ruang publik bekerja secara interaktif, langsung dan bersifat fisik. Misalnya saya bersama-sama dengan anda yang saat ini tengah membaca teks ini sedang bercakap-cakap berhadap-hadapan di dalam ruangan warung kopi di Ternate, itulah yang disebut dengan kehadiran secara fisik yang memungkinkan interaksi satu sama lain. Dalam konteks hiper-realitas, ruang publik tidak lagi dipahami sebagai ruang dimana interaksi fisik dapat berlangsung secara nyata, akan tetapi membutuhkan bantuan sensorik lewat kecanggihan teknologi. Dalam demonstrasi pada beberapa paragraf terakhir, telah jelaslah bahwa komunikasi dan interaksi dapat terjadi antara dua orang yang berada di ruang yang berbeda dalam waktu yang sama lewat chatting di media sosial ataupun webcam lewat Skypea. Dunia virtual atau dunia maya inilah yang dinamakan sebagai Cyberspace oleh Mark Slouka yang ditempati oleh netizen[21]. Secara tidak langsung, dunia virtual ini telah menjadi ruang publik baru – atau mengikuti frasa “semu” dalam hiper-realitas, merupakan ruang publik yang semu juga. Lewat internet dan jaringan informasi yang dipantulkan satelit, kita dapat melakukan kontak dengan berbagai orang di berbagai wilayah dalam waktu yang singkat. Batas-batas teritorial lantas memudar.
Sekarang dalam kaitannya dengan wacana keperempuanan di ruang publik, perlu kita pahami bersama terlebih dahulu bahwa sebuah wacana terlahir dari telaah serta penggiringan opini-opini publik yang kemudian diterima secara sukarela oleh masyarakat lewat tahap-tahap pengujian tertentu. Sebuah wacana lahir dari proses diskursif tertentu yang diproses lewat diskusi atau perdebatan kritis, radikal serta objektif di ruang publik. Wacana tentang keperempuanan senantiasa dibahas secara diskursif dan mereproduksi dirinya sendiri dari hari ke hari. Lewat basis pemikiran atas lahirnya tesis ini, sudah diuraikan panjang lebar mengenai sejarah perempuan, tidak lebih dari sejarah diskriminasi dan hegemoni patrarki atas perempuan yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi, zaman ke zaman, peradaban ke peradaban.
Bergulirnya fakta mengenai diskriminasi gender ini dari waktu ke waktu senantiasa berganti wajah dan rupa. Bila pada dulunya, tatkala realitas dipahami sebagai sesuatu yang nyata, empirik, dapat disentuk oleh persepsi inderawi dan bersifat fisik, maka diskriminasi saat itu dipegang kendali oleh diskriminasi fisik dan psikologis. Lihatlah kemalangan perempuan Mesir yang dicambuki di pasar, dua puluh istri seorang pria India yang tidak punya pilihan lain selain bunuh diri di sungai Gangga, atau perempuan yang disetubuhi secara ramai-ramai oleh bangsa Arab Jahiliyah tanpa ada sanksi sosial sedikitpun, atau bisa juga kita perhatikan pada Cina terdahulu yang menjadikan perempuan sebagai bayangan lelaki semata. Diskriminasi fisik dan psikologis tersebut ternyata selaras dengan pemahaman umat manusia tentang gagasan dan ide mengenai realitas yang juga bersifat fisik.
Maka tentunya, pada era ruang publik semu atau hiper-realitas, sejarah diskriminasi tersebut tetap berlanjut dan menyesuaikan diri dengan gaya yang lebih modern dan sangat manipulatif serta persuasif. Apabila gaya lama mempraktekkan legitimasi otoritas yang berkuasa untuk berlaku secara represif, maka dalam hyper-realitas, diskriminasi bekerja bak invisible hand yang merambah dan membongkar struktur kesadaran sosial secara dan membentuk sistem-sistem simbolik yang mendiskreditkan citra perempuan di ruang publik. Citra perempuan diberhalakan lewat propaganda-propaganda media. Kecantikan serta keelokan fisik sengaja direkayasa oleh para bos-bos media agar bisa menyihir wanita untuk lebih mengikuti fantasi pasar informasi. Citra perempuan dalam ruang publik yang semu ini, merupakan objek diskriminasi atau kekerasan simbolik yang terjadi perlahan, persuasif, bagai pembunuh berdarah dingin yang memangsa tawanannya dalam kesenyapan malam.
Apa yang dimaksud dengan citra perempuan yang direproduksi tersebut, merupakan sifat universal yang melekat pada perempuan. Bahwa kita tidak melihat “perempuan”, secara individual-partikular tetapi dalam artian yang abstrak-universal. Kartini adalah seorang yang memiliki sifat keperempuanan, akan tetapi, Perempuan bukanlah predikat yang dimiliki oleh Kartini seorang. Perempuan adalah sifat universal yang dapat kita identifikasi dan kenali dari sosok-sosok selain Kartini misalnya ibunda anda, Cut Nyak Dien, Bunda Theresa, Fatimah Az-Zahra, Siti Maryam dan lain sebagainya. Artinya citra perempuan adalah sifat umum yang telah menjadi simbol atas bagaimana kita menjelaskan identitas objek tersebut. Perempuan merupaan citra yang kita kenal dengan feminim, penyayang, lembut, perasa (melankolis), emosional, anggun, dan lain sebagainya. Ketika kita membicarakan tentang hal-hal yang bersifat feminim misalnya, maka lokus atau pusat dari kata itu akan secara tidak langsung kita tujukan pada citra perempuan. Begitu pula bila kita membicarakan aspek lain yakni penyayang, emosional, perasa lembut dan lain sebagainya.
Dalam konteks ruang publik yang semu, hiper-realitas telah menjadi lahan yang menyembunyikan kedok baru dalam agenda keji yakni uapaya kekerasan simbolik terhadap wanita. Citra wanita terus diperas dari feminim yang masih bersifat kodrati menjadi citra yang lebih rendah bahkan pada titik yang paling ekstrem, citra perempuan telah menjelma tiada bedanya dengan komoditas-omoditas yang diperjual belikan seperti uang atau harta benda. Media, informasi, dan gerakan dalam ruang publik semu atau dunia virtual bergerak dan mereproduksi fantasi-fantasi tentang citra perempuan yang lebih ideal. Citra perempuan yang awalnya bersifat metafisik dan lebih kaya dengan kecantikan batin direduksi dan mengalami degradasi menjadi daya tarik visual dan fisik yang bersifat inderawi. Dunia hyper-realitas menjadi arena yang tepat dan kondusif untuk menciptakan ilusi-ilusi kecantikan yang dipaksakan harus menjadi dambaan tiap perempuan.
Dalam teori Simulasi dari Jean Baudillard, beliau mengatakan simulasi adalah penciptaan kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan mitos yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini kemudian menjadi faktor yang menentukan pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia – seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga, kecantikan, elitisme, eksklusifisme, popularitas, dan lainnya – ditayangkan oleh berbagai media dengan model-model yang ideal, disinilah batas antara simulasi atau ilusi dengan kenyataan bercampur baur sehingga menciptakan hyper-realitas dimana batas-batas antara kenyataan dan ilusi semakin memudar dan membias. Perempuan merupakan salah satu komoditas atau sasaran yang paling empuk dalam agenda setting rekayasa mindset publik ini.
Akselarasi serta kemajuan teknologi yang mengantarkan umat manusia ke era industrialisasi akut hari ini hanya membuktikan satu hal yang krusial dan urgent untuk disadari: kebudayaan industrialisasi telah menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan enterteiment (hiburan publik), antara entertaiment dan ekses-ekses politik bahkan. Masyarakat kerap kali tidak sadar akan kuasa serta pengaruh simulasi dan tanda (sign/simulacra) hal ini membuat mereka acapkali dan ingin – mencoba hal baru yang ditawarkan oleh simulasi – membeli, memilih, bekerja dan macam sebagainya.
Hyper-realitas menciptakan suatu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur dengan masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran. Kategori-kategori kebenaran, kepalusan, kenyataan, issue, realitas seakan-akan tidak berlaku dalam dunia seperti itu. Sehingga kenyataan dan kenyataan yang dikabarkan, seakan-akan identik dan bahkan serupa dengan demikian kenyataan yang diabarkan diangap telah menjadi kenyataan itu sendiri. Dalam salah satu teori agitasi-propaganda, semakin sering suatu kebohongan itu diutarakan kepada publik lama-lama akan membuat kebohongan tersebut diyakini sebagai suatu kebenaran. Misalnya saya mengatakan bahwa di Bandung adalah kota yang aman, secara terus menerus, hingga tertanam di alam bawah sadar orang-orang kecenderungannya orang-orang Ternate yang mendengar omongan saya akan meyakini bahwa Bandung memanglah kota yang aman. Padahal kenyataannya, yang seringkali luput dari media adalah Bandung sangat marak dengan premanisme, pencurian, maling, perampokan, gank motor, dan lain sebagainya. Contoh konkritnya adalah dalam film dokumenter the war on democracy (perang dalam demokrasi), yang mengungkapkan fakta bahwa pemberontakan massa pendukung Hugo Chaves di Venezuela melawan Amerika yang mencoba menggulingkan rezim Chaves dengan mempengaruhi opini publik lewat rekayasa intelejen dan manipulasi media massa. Media massa malah memotong kepingan-kepingan fakta, sehingga akhirnya kebenaran tersebut buyar dan yang tersebar tinggallah kebohongan-kebohongan yang ironisnya itulah yang dipercayai oleh publik. Kepercayaan publik atas fakta palsu tersebut digunakan oleh pemerintah Amerika sebagai legitimasi atas intervensi mereka di Venezuela dalam konspirasi menggusur kekuasaan Chaves yang notabene menghambat kepentingan-kepentingan Amerika Serikat.
Kembali lagi ke topik, yakni membongkar selubung mekanisme simulasi dalam ruang publik di hiper-realitas. Baudrillard sangat menerima konsekuensi radikal tentang yang dilihatnya sebagai sangat merasuknya kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi dan ilmu-ilmu lainnya dimana ia memberikan kesempatan berlangsungnya reproduksi sempurna dari suatu objek atau situasi; inilah sebabnya kode bisa mem-bypass sesuatu yang real membuka kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut Baudrillard sebagai hyper-realitas.[22]
Keadaan dari hiper-realitas ini membuat masyarakat modern menjadi berlebihan dalam hal mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Simulasi dan hiper-realitas telah menjadikan gaya hidup, trend, popularitas, dan kecantikan sebagai Tuhan digital yang diberhalakan oleh umat manusia. Kebanyakan masyarakat mengkonsumsi sesuatu bukan karena kebutuhan hidupnya, tetapi karena untuk memnuhi hasrat keinginannya agar selaras dengan selera publik atau citra palsu yang sengaja diciptakan media massa lewat mekanisme simulasi. Mereka lebih concern dengan gaya hidupnya. Kehebatan dari realitas palsu ini adalah bahwa seseorang bisa saja menempatkan kekayaan, popularitas, dan kecantikan yang ditawarkan oleh simulasi sebagai kebutuhan primer baginya tidak lagi kebutuhan tertier (mewah).
Industri mendominasi banyak aspek kehidupan, industri tersebut menghasilkan banyak sekali produk-produk mulai dari kebutuhan primer, sekunder sampai tersier. Ditemani oleh kekutan semiotika dan simulasi membuat distribusi periklanan produk menjadi lebih gencar dan massif tambah lagi teknologi informasi yang telah mapan yang memungkinkan para pelaku modal (kapital) untuk mendapatkan informasi seperti apakah kebutuhan serta fantasi masyarakat yang dihadapi, dan konsumen lebih banyak menerima informasi tentang produk yang tidak masuk kategori dibutuhkan tetapi diinginkan dengan penuh hasrat. Asumsi-asumsi yang terbentuk dalam pemikiran manusia dan keinginan ini membuat manusia tidak bisa lepas dari keadaan hiper-realitas ini.[23]
Perempuan sebagai sasaran empuk simulasi, telah membuktikan bahwa perempuan merupakan mahkluk yang mendambakan keindahan dan dipuja oleh bukan hanya lelaki saja, tetapi agar perempuan lainpun bisa iri padanya. Para aktor-aktor simulasi, yang tidak lain tidak bukan adalah para pelaku kapitalistik menyadari hal tersebut. Bahwa dalam diri tiap manusia, terdapat suatu ego yang besar. Dalam terminologi Plato, sesuai dengan apa yang saya kutip di buku Francis Fukuyama bahwa manusia terdiri dari tiga hal. Yakni hasrat , akal dan thymos. Thymos merupakan hasrat untuk menjadi bermartabat, hasrat untuk meraih kehormatan, penghargaan, menuai pujian dan kebanggan, kekuasaan, atau pada diri wanita secara spesifik adalah menuntut untuk meraih kecantikan.[24] Thymos perempuan merupakan kecantikan sebagai lokus dan pusat kehidupan mereka. Pengetahuan atas itu telah merangsang otak-otak para kapitalis untuk membuat suatu upaya kreatif, bagaimana caranya mengorek pundi-pundi dollar atau rupiah dengan memainkan fantasi perempuan akan kecantikan yang mereka damba-dambakan.
Para pelaku kapital kemudian memainkan sebuah permainan dalam ruang publik semu yakni dunia informasi sebagai kampung global modern, dengan mereproduksi produk-produk kosmetik, lotion pemutih badan, tas-tas cewek yang kekinian, sepatu high-heels[25], program peninggi badan, program diet yang sarat dengan kimiawi, propaganda bahwa rambut adalah mahkota wanita, mempertebal alis, membuat bulu mata lentik, lipstik, bedak pemutih wajah, parfum, perhiasan, bikini, g-string, pakaian-pakaian yang mengekspos tubuh wanita secara terbuka, tubuh langsing dan ramping[26], balutan pakaian yang minim yang menampakkan paha serta lekuk-lekuk tubuh wanita tertentu (fetishisme), dan lain semacamnya. Kapitalisme sengaja mereproduksi simbol-simbol tersebut sebagai seakan-akan adalah apa yang didambakan dan dipuja oleh perempuan-perempuan dengan hasrat ingin diakui kecantikannya di mata dunia. Seakan-akan harga diri perempuan itu adalah kecantikannya sendiri. Atau jangan-jangan saking akutnya hasrat akan kecantikan ini, ada wanita yang rela mati bila dia menyadari kenyataan bahwa sepanjang sisa hidupnya dia akan selalu tampil tidak cantik dan bahkan sangat kontradiktif dengan kecantikan yang ideal di mata perempuan kebanyakan.
Salah satu contoh yang paling konkrit dari simulasi ini adalah diciptakannya panggung-panggung serta arena pertunjukan dan kompetisi kecantikan untuk membentuk paradigma wanita bahwa wanita yang ideal pada zamannya, yang dapat menaklukan dunia, yang superior di atas segala-galanya adalah tipikal wanita yang demikian. Kompetisi kecantikan seperti katakanlah pemilihan putri kecantikan, pemilihan putri dunia (miss universe), putri waria, putri sejagad dan lain sebagainya. Hanyalah alat bagi kapitalis untuk menciptakan mindset bahwa kemulusan tubuh, tubuh yang sintal seperti gitar Spanyol, pakaian, kharisma, panjang rambut, putih, eksostisme harus dia miliki sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita yang mengikuti kontes-kontes semacam itu. Meskipun harga yang harus dibayar oleh perempuan adalah pengorbanan berupa penyiksaan atas diri sendiri (masokisme) tidak masalah, yang penting penderitaan dan kesengsaraan tersebut akant terbayar lunas oleh kecantikan yang dia peroleh. Tidak jarang perempuan harus menyiksa diri mereka sendiri untuk tidak makan seharian, diet yang ekstrem ini dengan sukarela dipraktekkan demi memuaskan nafsu perempuan dalam mengejar kecantikan sempurna. Tidak jarang wanita harus melatih kaki mereka sakit kram karena menahan dera sakit di tumit akibat siksaan high-heels. Tidak sedikit wanita yang harus menyiksa diri ketika melingkarkan sliming swuit yang super ketat di perut mereka hanya demi terlihat langsing dan cantik. Tak jarang wanita mengorbankan wajah serta kulitnya untuk dieksploitasi oleh bahan-bahan kimiawi yang berbahaya didalam produk-produk kosmetik, padahal efeknya untuk beberapa puluh tahun yang akan datang sangat bersifat destruktif bagi tubuh. Diketahui bahwa bibir wanita yang terlampau sering diolesi lipstik ketika muda, maka akan terlihat pucat dan sangat tidak sehat ketika tua.
Produk-produk kecantikan instant yang digemborkan oleh para kapitalis di ruang publik hanya menjelaskan satu hal, bahwa mereka rela perempuan itu menyiksa diri mereka sendiri karena telah terbius denga angan-angan kecantikan sempurna yang disuguhkan kapitalis. Dan perlu disadari bersama, ketika perempuan sedang menahan dera dan sakit karena mempercantik diri, diam-diam dompet mereka terkuras, saldo di rekening mereka akan semakin menipis dari hari kehari, akumulasi modal kemudian mengalami akselarasi dan menumpuk pada mereka yang berlaku sebagi aktor simulasi; kapitalisme.
Itulah yang disebut dengan kekerasan simbolik, yakni tindakan kekerasan yang dilakukan dalam ruang publik di realitas artifisial / hyper-realitas, lewat perantara simbol dan manipulasi pardigma massa dan penciptaan kondisi pasar. Kapitalisme selaku desainer atau tokoh intelektual (intellectual dadder) yang merancang masterplan ini, harusnya dikategorikan sebagai penjahat kerah putih atau pelaku the perfect crime (kejahatan sempurna) meskipun bukan dalam artian yang seharfiah itu. Tetapi harus diakui strategi dan pola yang mereka lakukan telah membawa dampak buruk dan negatif yang bisa kita kaji dan bedah bahkan lewat analisis ekonomi, moral, sosial, budaya, politik, pendidikan dan lain-lain. Kapitalisme berakting bak pesulap yang menipu para penonton sebagai penikmat produk sulap yang dia pamerkan, dan ketika kapitalisme berucap abrakadabra, saat itu produk yang dia tawarkan telah menjelma seorang wanita yang jelek menjadi rupawan, menawan dan anggun. Para penonton memang bertepuk sesudah itu tercengang-cengan serta kagum melihat aksi kapitalisme, tetapi dibalik semua itu, mereka tidak tau betapa besarnya penderitaan serta dampak psikologis yang begitu traumatik yang harus dijalani terlebih dahulu oleh sang wanita, agar dapat dibayar dengan applause itu. Sementara itu, setelah pertunjukan usai, penonton yang telah berhasil ditipu ini, keluar berdesak-desakan ke jalanan sambil memuji-muji takjub pada kemahiran kapitalis yang menciptakan ilusi sempurna itu, akan sang pesulap yang tertinggal sendirian dalam ruang pertunjukan sedang menertawai mereka sambil mengomel-ngomel dalam hati rasain lu kena tipu!! Terimakasih telah membayar kebodohan kalian dengan kekayaanku.
Lewat uraian tadi semoga kesadaran dan keinsyafan tumbuh dalam benak kita, bahwa selama kita memanjakan fatasi tentang kecantikan yang sengaja diciptakan oleh hanya akan membuat benih-benih kapitalisme tumbuh subur dan semakin tidak lekang oleh kekuasaan dan kekayaan sedangkan masyarakat-masyarakat harus menonton euforia kapitalisme dalam mengorek pundi-pundi kekayaan, ironisnya masyarakat tersebut menonton dalam keadaan perut yang keroncongan, daya tahan tubuh lemah karena rawan penyakitan di lingkungan mereka yang kumuh dan dekil dan tidak punya uang membeli obat di apotek yang kian hari kian mahal. Lewat penalaran deduktif yang sederhana saja kita dapat menyimpulkan bahwa setiap lahir satu orang kaya raya, maka disisi lain dunia hanya akan menciptakan satu orang yang luar biasa melarat diluar sana, entah siapa orang malang tersebut. Selaras dengan pernyataan Ali bin Abi Thalib: “tidak ada orang yang berfoya-foya kecuali ada hak orang lain yang dirampas.”
Percepatan kemajuan teknologi dan industrialisasi telah melahirkan poros setan besar yang secara terselubung bersembunyi di tengah reriuhan umat manusia, tengah berdiri tegak sesosok iblis yang bernama “pabrik kecantikan”. Polusi yang ditebarkan adalah polusi fisik yang bergerayangan secara halus dan hampir tembus pandang, pada alurnya yang tertentu akan sangat mungkin menyebabkan peta masalah yang terstruktur dan masif yakni permasalahan sosial dan berujung pada problematika moral. Maka apa lagi yang perlu kita pikirkan tatkala sadar akan ini, selain perlunya gerakan perlawanan atas kekerasan simbolik terhadap perempuan di ruang publik ini. Dalam latar belakang penulisan teks ini, telah diketahui bahwa penulis ingin meyampaikan gagasan Tauhid sebagai solusi atas permasalahan yang berkecamuk atas. Akan tetapi ada beberapa variabel yang penting untuk diurusi dulu, yakni, tentang siapakah yang berkewajiban dan pantas untuk menerima kehormatan untuk melakukan perlawanan atas kekerasan ini?
Bila kita telusuri secara general, teks ini mungkin adalah sebentuk dekontruksi terhadap realitas sosial yang terjadi, yang secara tidak langsung adalah menawarkan uluran tangan kepada kaum perempuan yang dieksploitasi di era hiper-realitas ini. Perempuan merupakan korban dalam akumulasi modal pribadi. Bisa saya katakan juga, bahwa dalam konteks ini perempuan adalah kaum-kaum musthad’afin (kaum yang tertindas). Lalu apakah kemudian secara gamblang kita mengasumsikan bahwa perjuangan pembebasan dan spirit feminisme ini hanyalah terbatas pada kaum-kaum perempuan saja? Dan apakah benar juga bila kita secara tidak langsung harus berasumsi bahwa kaum laki-laki tidak berhak dan tidak perlu untuk ikut berjuang melawan dalam kubu perempuan ini? Tentu saja tidak. Bukankah rasulullah Muhammad SAW mengatakan perempuan adalah pendamping yang paling baik untuk lelaki, dan begitu juga sebaliknya bahwa lelaki adalah pendamping paling baik untuk perempuan. Maka lelaki juga berkewajiban untuk memperjuangan apa yang diperjuangkan oleh pendampingnya (baca: perempuan). Wacana feminisme, meskipun isu sentral yang diangkat adalah tentang pembebasan perempuan dari jerat-jerat kapitalisme, bukan berarti bahwa kewajiban perjuangan ini secara ekslusif diemban oleh kaum perempuan saja. Buktinya Muhammad SAW merupakan seorang feminisme sejati, karena telah membebaskan wanita-wanita di zaman Jahiliyah dari kebodohan dan kehinaan. Lelaki juga mampu dan berkewajiban untuk membela kaum perempuan dalam konteks ini, karena perjuangan ini bukanlah perjuangan ekslusif tetapi haruslah menjadi gerakan kolektif.
Dalam bukunya, Mohammad Guntur Romli menyebut laki-laki yang mengambil peran di perjuangan feminisme ini sebagai male feminist. Meskipun tidak sedikit gagasan ini diterjang dan dihempas oleh badai kritik sebab konsekuensi dari suatu gagasan yang kuat adalah dia harus bertahan hidup goncang-gancing kritik publik. Guntur Romli memaparkan pada akhir bukunya bahwa: “kontribusi para laki-laki dalam wacana perempuan sangat tepat ditempatkan pada ranah male feminist... lalu datanglah hujatan. Gelar-gelar yang kontra-produktif misalnya sebutan ‘pembela pempuan’, ‘pelopor pembebasan perempuan’ atau ‘bapak feminisme’. Sebutan-sebutan ini secara tak sadar telah mengungkapkan adanya kesenjangan jender: derajat laki-laki dianggap lebih tinggi dari perempuan...”[27] Secara tidak langsung, terdapat satu gagasan yang tumbuh subur dalam alam bawah sadar masyarakat yang didominasi oleh kebudayaan patriarkhi ini. Sejak zaman dahulu sampai sekarang, lelaki selalu memegang peran seakan-akan posisinya lebih tingg dari permpuan. Hal itu yang kemudian menghambat pembebasn perempuan dalam kekerasan ruang publik ini. Fenomena ini saya sebut sebagai ego gender, hanya menimbulkan kesenjangan sosial dan berpotensi memendam problematika moral apabila tidak diatasi. Sehingga dalam proyek besar liberalisasi dan emansipatif ini, sebelumnya perlu bagi kita untuk membongkar terlebih dahulu mitos-mitos yang menjerat citra perempuan sebagai mahkluk kelas dua. Akan kita bongkar issue ini dari dua dimensi yakni dimensi teologis-transedent dan antropologis-imanent. Akan tetapi karena yang dibahas dalam konsep dimensi teologis-transedental adala aspek mengenai tafsir terhadap posisi perempuan, sedangkan dalam teori tafsir/hermeneutika, bahwa hasil interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh kondisi historis dan kultural dimana sang penafsir berkecimpung, maka akan lebih sistematis apabila kita membongkar terlebih dahulu dimensi antropologis-imanen untuk meruntuhkan mitos-mitos superioritas patriarki atas kaum perempuan.

B.     PERSPEKTIF ANTROPOLOGI BUDAYA[28]; SEBUAH PROYEK DEKONSTRUKSI

Dalam perspektif antropologi budaya, manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa simbol sama sekali sehingga sering dikatakan bahwa manusia adalah binatang yang membutuhkan simbol (anymal symbolicum) oleh E. Cassirer atau yang akrab di telinga yang menggeluti hermeneutika dan semiotika adalah makhluk penafsir (interpreter being). Manusia adalah makhluk yang senantias menggunakan perantara simbol untuk saling berinteraksi dengan alam sekitarnya. Sistem tanda dan simbol berfungsi untuk menjadi media komunikasi agar bisa saling memahami makna. Professor Van Peursen melukiskan hal ini secara komprehensif dalam strategi budaya beliau, bahwa umat manusia barangkali telah melewati tiga fase kebudayaan yang besar. Yakni primitif – ontologis, dan – fungsionalis.[29] Perubahan tersebu merupakan hasil dari interpretasi umat manusia terhadap kuasa alam di sekitarnya.
Kata “kebudayaan” sendiri berasl dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan ebagai hal-hal berkaitan dengan akal. Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dan budi. Karena itu mereka membedakan budaya dan kebudayaan. Demikianlah budaya adalah daya dan budi berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Lebih tepatnya, menurut Koentjaningrat kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.[30] Diskriminasi dan alienasi terhadap perempuan dalam ruang publik sejatinya memendam landasan pemikiran serta tindakan yang bersenyawa dalam perjalanan budaya umat manusia. Sehingga sangat perlu bagi kita pertama-tama untuk melacak akar ada hal ikhwal diskriminasi ini.
Hanya saja memang dalam upaya itu, akan mengalami kesulitan referensial dalam perjalanannya. Yang terlampau sering dijadian referensi tunggal, malah adalah doktrin dari Friedrich Engels tentang asal-usul keluarga. Namun dengan segala keterbatasan itu, upaya pemaparan data serta asumsi harus terus digalakan. Telaah dan diskursus mengenai konteks ini begitu minim dan sukar referensinya dalam bidang antropologi. Agaknya dilatarbelakangi oleh ciri-ciri bahwa masih begitu sedikit tokoh-tokoh perempuan yang menjadi pelaku penyelidikan antropologi budaya. Sehingga bahkan, untuk mencari asal muasal dikotomi budaya patraiarkal dan matriarki masih begitu kesulitan.
Pada masa sebelum munculnya kepemilikan pribadi dan kelas-kelas, kedudukan sosial perempuan dan lelaki adalah setara. Pada masa yang disebut sebagai masa Komunal Primitif, dengan corak masyarakat yang disebut masyarakat pemburu dan pengumpul (hunter-gatherer societies), produksi sosial ditata secara komunal dan hasilnya dibagi rata. Inilah masa bentuk pertanian belum ditemukan. Memang ada pembagian tugas yang berdasarkan umur atau jenis kelamin, tetapi semua orang melebur dalam satu kelompok sosial. Tiada basis material untuk adanya hubungan sosial yang eksploitatif.
Keadaan mulai berubah, ketika cara pertanian mulai ditemukan. Kaum perempuan lah yang sebenarnya mulai menemukan cikal bakal pertanian: mereka yang bertugas mengumpulkan buah-buahan dan biji-bijian melihat bahwa benih dari tanaman yang mati dapat menumbuhkan tanaman lain yang hidup. Cara atau proses ini bisa dilakukan secara sengaja. Ditemukannya teknik pertanian -yang diikuti dengan penemuan cara peternakan- segera mengubah sistem sosial dalam masyarakat. Mulailah muncul keinginan untuk memperoleh dan menyimpan hasil yang sebesar-besarnya. Keinginan itu pada mulanya baru berwujud dalam bentuk kelompok sehingga terbentuklah suku-suku, klan atau marga; tetapi lama kelamaan keinginan tersebut mewujud dalam bentuk individualistik.
Pada masa munculnya suku-suku, manusia menemukan cara untuk memperbesar hasil produksi pangan dengan cara ekstensifikasi, yakni memperbesar jumlah orang yang bekerja di bidang pertanian. Semakin banyak orang yang bekerja, maka akan semakin banyaklah lahan yang bisa dikerjakan, otomatis, semakin besarlah pula hasil yang didapat. Cara apa yang bisa dilakukan untuk memperoleh tenaga kerja yang sebanyak-banyaknya? Caranya ialah, perempuan sebagai kunci reproduksi, digeser perannya sebagai "pemroduksi" anak. Inilah masa sistem sosial yang memaksa perempuan harus tinggal di rumah untuk membesarkan anak.
Lama-kelamaan, sejalan dengan semakin besar hasil yang diproduksi, pola kepemilikan secara suku bergeser menjadi kepemilikan pribadi. Peran perempuan semakin tergeser, ia sekarang menjadi "properti" milik suami dan dijerembabkan ke dalam sistem yang bernama keluarga. Sistem keluarga inilah yang semakin meminggirkan peran perempuan, di mana peran perempuan hanya sebagai penghasil keturunan, pemelihara anak dan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga). Mulailah suatu periode di mana ketertindasan perempuan dilembagakan dalam sistem keluarga. Bahkan kata family (keluarga) asal mulanya dari bahasa Latin yakni famulus yang berarti budak dan familia, yang berarti jumlah keseluruhan budak yang dimiliki oleh seorang lelaki.[31]
Meskipun begitu, sebagaimana menurut Engels, penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan tidak selalu muncul dalam sejarah.[32] Benar bahwa bahkan di awal sejarah manusia di suatu periode yang disebut “komunisme primitif”, dimana kondisi-kondisi keterbelakangan berarti suku-suku harus bekerjasama demi memenuhi kebutuhan dasar, dan juga tidak ada nilai lebih untuk menghasilkan laba-kerja laki-laki dan perempuan dibagi berdasarkan jenis kelamin. Untuk alasan-alasan biologis perempuan perlu merawat anak-anak dan dengan demikian peran mereka dalam produksi pangan berdasarkan pengumpulan dekat tempat tinggal sementara laki-laki berburu. Bagaimana pun juga terlepas dari pembagian kerja, kaum perempuan tidak dipandang sebagai kaum yang inferior atau lebih lemah dibandingkan kaum laki-laki dan status mereka terbantu dengan fakta bahwa keluarga dilacak melalui garis ibu, karena tanpa pernikahan dan ketaatan sebagai norma sosial mustahil memastikan siapa bapak dari seorang anak.
Revolusi Neolithic memunculkan alat-alat dan domestifikasi binatang yang muncul pertama kali dalam sejarah manusia, sehingga tidak hanya memungkinkan pemenuhan kebutuhan dasar namun juga penciptaan nilai lebih. Penciptaan nilai lebih menandai awal masyarakat kelas yang baru karena kini mustahil bagi beberapa orang untuk menjual nilai lebih untuk laba, maka mulai memunculkan perbedaan antara yang kaya dan miskin. Sedangkan sebagian mulai menimbun kekayaan mereka juga mulai membeli budak dan membayar orang lain untuk menggarap tanah; sehingga disini kita menyaksikan contoh awal dari penggarap dan tuan tanah.
Proses ini mengakibatkan kaum perempuan dinilai sebagai kaum inferior atau lebih lemah dibandingkan laki-laki di masyarakat, karena melalui kerja laki-laki, lah, laba dihasilkan. Penciptaan nilai lebih juga memunculkan hak waris. Semakin tinggi status seseorang berarti bahwa keluarga tersebut dilacak melalui garis keturunan laki-laki, yang kemudian mengharuskan pemaksaan kepatuhan perempuan. Disinilah kita menyaksikan asal-usul pernikahan. Dan disinipula kita memahami hal ikhwal dominasi patriarkal dan superioritas maskulinisme yang mewabah dan menjerat kehidupan kaum perempuan.
Perlakuan serta kebiasaan yang dipraktekkan sejak saat itu, telah membelukar dan menyebabkan sejarah panjang atas diskrimiasi wanita sebagi mahkluk kelas dua. Apabila dianalisis maka laki-laki adalah prioritas sedangkan perempuan belakangan; laki-laki adalah yang pertama sedangkan perempuan terakhir; laki-laki adalah subjek seksual sedangkan perempuan adalah objek seksual; laki-laki kuat secara fisik sedangkan perempuan sangat lemah; laki-laki sangat identik dengan kekuasaan sedangan perempuan sangat identik dengan kelemahan; laki-laki adalah sumber dari harga diri sedangkan perempuan adalah sumber dari rasa malu; laki-laki adalah kepala rumah tangga, dalam artian bahwa makna “kepala” menandakan lokus dari segenap raga. Dominasi tersebut akhirnya menggurita, melahirkan sejarah seksualitas yang kelam lewat praktek-praktek masyarakat kuno seperti yang saya bicarakan pada permulaan teks.
Sedangkan oposisi dari budaya patriarkal ini adalah budaya matriarkal yakni budaya dimana perempuan lebih mendapatkan posisi yang baik di dalam masyarakat. Lebih jelasnya patriarkhi adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki selaku sosok otoritas utama yang sentral dalam organisas sosial. Sosok ayah memiliki otoritas dan kendali penuh terhadap isteri, anak-anak serta harta benda. Kebanyakan sistem patriarki adalah juga bersistem patrilinear. Patriarki adalah konsep yang berekses ke distribusi keuasaan dimana laki-laki memiliki keunggulan dalam satu atau lebih aspek, seperti penentuan garis keturunan (keturunan patrilineal ekslusif dan membawa nama belakang), hak-hak anak sulung, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik, dan politik atau agama atau atribusi dari berbagai pekerjaan pria dan wanita yang ditentukan oleh diferensiasi kerja secara seksual. Sedangkan dalam sistem budaya matriarkal, yang terjadi adalah sosok ibu merupakan sentral dari masyarakat. Contohnya, adat di Padang, bahwa subjek yang melamar dalam konteks menginginkan pernikahan adalah dari pihak perempuan. Sayangnya asal muasal dari kelahiran budaya patriarki dan matriarkal ini susah untuk dilacak kebenarannya secara ilmiah, dikarenakan mungkin sangat sedikit para pelaku antropologi budaya dari kalangan perempuan.
Kelanggengan posisi laki-laki yang lebih mendominasi agaknya telah menyelinap dan tertanam teguh bak implan yang tertancap di alam bawah sadar hampir seluruh peradaban yang pernah ada. Kekhasan peradaban yang menanam gagasan patriarki secara total telah menyerahkan kekuasaan pada laki-laki dan perempuan – secara tidak langsung – terpaksa hidup dalam ketertundukkan. Foucault menyebut kekhasan yang terimplan itu sebagai episteme. Dan satu-satunya cara untuk membedah episteme itu hanyalah dengan cara arkeologis. Metode arkeologi ini menuntut peneliti untuk mencermati “artefak-artefak” peradaban layaknya kerja seorang arkeolog meneliti setiap detail peninggalan purbakala. Sebab, menurut Foucault, episteme bukanlah apa yang muncul di permukaan peradaban, tetapi apa yang tersembunyi dibaliknya, yang gelap, rapat, dan dalam. Episteme adalah “sistem tersembunyi” dari dominasi pengetahuan pada masa tertentu itu.[33]
Dominasi maskulin atau kelaki-lakian dalam panjangnya perjalnan umat manusia, telah membuktikan bahwa perempuan senantiasa berada pada posisi yang terkebelakang, terisolir secara penuh, meskipun memang ada segelintir masyarakat yang sempat meloloskan kelegaan wanita di rang publik dengan semangat keadilan gender. Ketertindasan yang berlarut-larut telah membuat seorang perempuan asal Perancis Simone de Beauvoir menuliskan pengalamannya sebagai perempuan di dunia modern Eropa dan berhasil membaca episteme masyarakat patriarkal. Istilah yang hendak diajukan Beauvoir sebagaimana menjadi judul bukunya, “kelamin kedua” (the second sex) telah menimbulkan pemahaman yang menggerakkan bahwa perempuan memiliki syarat-syart yang cukup untuk berada setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek dan kegiatan manusia.
Makhluk manusia yang disebut  perempuan itu bukan semata sebuah perhiasan yang disediakan oleh dunia ketika mereka sudah menjadi dewasa. Berperean dalam berbagai profesi dan keahlian, tapi tetap dianggap sebagai warga kelas dua. Akibat dari konstruk yang mendalam terhadap peran kelamin kedua itu, posisi perempuan tereksploitasi sedemikian rupa degnan perkembangan modernisasi dunia. Mulai dari pencitraan tubuh dalam kosmetologi, periklanan, industri hiburan sampai prostitusi serta budaya massa (mass culuture) pada umumnya, telah memerangkap peran perempyan bukan lagi sebagai subyek seks yang setara. Akan tetapi telah berkembang mejadi subyek seks yang diobyektifikan dengan berbagai produk teknologi dan industri. Dengan kata lain, subyek seks perempuan menjadi etalase budaya hedonis yang cukup renyah dan nikmat untuk dinikmati. Karena itu pemahaman kelamin kedua secara sengaja telah dijadikan perbendaharaan pengetahuan lain terhadap relasi-relasi subyek seksualitas yang kompleks dan bermuara pada nilai-nilai kenikmatan belaka. Seolah-olah seksualitas perempuan menjadi obyek seks yang dapat dimanipulasi secara semena-mena.[34]
Secara tidak langsung, apabila kita meminjam terminologi Foucault yakni, sejarah seksualitas, mungkin akan lebih memudahkan kita untuk memperoleh keyakinan bahwa sejarah seksualitas tidak lebih dari tumpukan pengetahuan dan kekuasaan yang mendominasi sistem historis. Menelisik dokumentasi atas pemikiran Foucault oleh Heremy Carette, telah menyumbangkan pengetahuan bahwa Foucault membongkar sejarah seksualitas yang pada awalnya berjalan di atas aras seni erotis pada era Yunani Kuno. Hingga akhirnya, pada era dimana Kristen berselingkuh dengan sistem Monarki, maka diciptakanlah mitos-mitos tentang seksualitas sehingga akhirnya seksualitas adalah hal yang tabu untuk dibicarakan di ruang publik.[35] Kenyataan ini berhasil membentuk episteme yang kokoh selama berabad-abad lamanya, hingga pada suatu hari Freud mencoba membongkar tabir misterius tersebut demi kepentingan psikoanalisanya. Tidak ayal lagi, bahwa paradigma seksualitas Eropa pada abad-abad dimana sistem Teokrasi berjaya, seksualitas dikendalikan oleh kekuasaan-kekuasaan pastoral. Mitos-mitos kemudian dimunculkan sebagai upaya kontrol atas ketertundukan manusia pada kehendak Gereja.
Yang perlu kita ambil disini adalah bahwa untuk melanggengkan kekuasaan dan melemahkan posisi tawar perempuan di ruang publik, maka diciptakanlah mitos-mitos tertentu tentang perempuan untuk mengontrol jalannya dominasi maskulin dan inferioritas perempuan. Misalnya yang begitu populer di masyarakat kita adalah bahwa tugas perempuan itu hanya tiga saja secara mendasar yakni sumur, dapur dan kasur. Pada konteks ini, perempuan tidak dibedakan lagi dengan semacam robot, komoditas atau benda yang dapat menghasilkan kenikmatan bagi para laki-laki. Perempuan diobjektivikasi sedemikian rupa sehingga direduksi posisinya sebagai objek seksual dan lebih meneguhkan perkataan Simone tadi; kelamin kelas dua. Lewat mitologisasi perempuan digiring untuk hanya berdiam diri dirumah dan diasingkan kesempatannya dalam ekonomi, pendidikan, budaya, politik, militer, dan lain sebagainya.
Inferioritas perempuan terus menerus diproduksi oleh budaya manusia. Trend-trend isolasi berkembang dengan wajah dan doktrin yang kian hari kian hebat serta memukau. Agitasi Propaganda disebarkan di ruang publik bahwa perempuan adalah sumber rasa malu, dosa, kehinaan, keterpurukan, kelemahan, ketundukan, kepasifan, dan lain sebagainya. Seakan-akan semua yang melekat pada diri perempuan itu hanyalah citra-citra dengan konotasi negatif saja. Sedangkan laki-laki adalah sebaliknya, mereka adalah sumber dari harga diri, martabat, pujaan, kebangkitan, semangat, kekuatan, kekuaaan, keaktifan dan lain sebagainya yang bersifat positif. Maka oleh karena itu laki-laki berada satu kelas di atas wanita, lebih superior dalam berbagai aspek. Gagasan inilah yang diam-diam tertanam dalam-dalam dan tumbuh sekekar-kekarnya hingga ke angkasa, yang telah bersenyawa dengan episteme dunia.
Sekarang, dikaitkan dengan konteks pembahasan kekerasan simbolik di ruang publik rupanya sangat menyimpan relevansi yang erat tautannya dengan konteks budaya ini. Bahwa salah satu cara mengakhiri kekerasan simbolik terhadap perempuan di ruang publik ini adalah dengan membongkar terlebih dahulu mitos-mitos yang mengontrol alam bawah sadar umat manusia, yang telah menciderai level perempuan hingga ke titik yang selalu negatif dan terkebelakang. Gerakan perlawanan ini harus didahului dengan membongkar episteme, mengobrak-abrik mitos-mitos tersebut dan menawarkan suatu gagasan sebagai pengganti gagasan lama yakni apa yang disampaikan oleh para penganut Feminisme Barat sebagai Kesetaraan Gender.
Hal ini telah memancing reaksi emosional Simone yang sudah tidak bisa tertahankan lagi. Dia lalu melakukan gerakan perlawanan terhadp dominasi patriarki dan penciptaan mitos-mitos yang mengkungkung perempuan. Dengan menyederhanakan gerakan itu sebagai peran, pandangan filsafat vitalisme Albert Camus dapat dirujuk sebagai “reaksi kesadaran” perempuan dengan ungkapan yang sangat dikenal: “berontaklah, aku ada” atau dengan bahasa yang lebih radikal :”lawanlah, maka kehadiranku diakui”. Sebagai gerakan pemikiran, filsafat pemberontakan yang diambil alih oleh gerakan feminisme telah mewadahi salah satu fungsi kritik (ginotrika) yang menjadi hak perempuan dalam mengutarakan subyek kehadirannya. Pada akhirnya, feminisme dapat dilecutkan sebagai filsafat hidup perempuan yang hendak menyarakan kembali posisi dan peran serta eksistensi mereka dalam berbagai lapangan kehidupan.
Kekuatan feminisme ini bergerak dalam berbagai macam issue menyangkut keperempuanan. Kaum feminisme telah berhasil membuktikan bahwa mereka itu berhak untuk diperlakukan setara dengan laki-laki agar supaya stratifikasi kelas berdasarkan jenis kelamin tersebut bisa runtuh hingga berkeping-keping. Kaum feminisme mampu membuktikan bahwa perempuan memiliki syarat-syarat yang cukup untuk berada setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Bahkan, menurut Hillary Clinton, semakin banyak perempuan memenuhi kuota di parlemen, maka tingkat korup dan kejahatan administratif (abuse of power) terkikis dalam artian berkurang. Perempuan juga harus diberikan ruang dalam lapangan budaya, pendidikan,militer, politik, ekonomi dan lapangan-lapangan lainnya yang berserakan di ruang publik kita. Perempuan tidak lagi sekedar objek seksual dan komoditas laki-laki yang berfungsi untuk menyerahkan dirinya sepenuhnya demi kepuasan laki-laki. Perempuan tidak harus bekerja di dapur dan sumur tatkala dia mampu dan mempunyai pembantu rumah tangga,atau tugas tersebut digantikan atau diambil alih oleh sang suami. Dalam urusan kasur, perempuan bukan lagi sekedar mainan seksual (sex toys) laki-laki yang hanya digunakan ketika diingikan dan tidak dipedulikan ketika sudah orgasme. Perempuan juga mempunyai hak untuk menuntut kebahagiaan seksual dan tidak dijadkan objek seksual oleh laki-laki. Perempuan juga telah berhasil memecahkan mitos bahwa permpuan adalah makhluk yang lemah, buktinya tidak sedikit perempuan yang bisa kungfu, silat, tinju dengan badan kekar berotot yang seringkali mampu mematahkan lengan atau rahang laki-laki manapun.
Gerakan perempuan dalam upaya pembebasan ini akhirnya menyeruak ke publik. Satu persatu problematika mereka kaji secara teliti dan mendetail demi solusi yang cerdas, kritis, kreatif dan inovatif. Sudah tercatat betapa banyaknya issue yang mereka perjuangkan dalam konteks ini. Issue-issue yang telah menjadi tema sentral dan memporos dalm gerakan feminisme misalnya adalah tentang maraknya tempat prostitusi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang notabene banyak dilakukan oleh laki-laki, pemerkosaan oleh ayah (incest), jaring-jaring traficking (perdagangan manusia), Fesyen (fashion) atau jebakan gaya hidup, objek pornografi, aborsi, kuota dalam parlemen, dan lain sebagainya. Issue-issue tersebut bergerak, beriringan dengan yel-yel kebebasan perempuan dan euforia akan karena kenyataan tentang kesetaraan dan keadilan jender rupanya lebih indah dari patuh dan tunduk total pada laki-laki. Disamping semua itu, radikalitas serta sikap kritis kaum perempuan tetap menjalar. Bahan mencoba untuk menguak dan melakukan kritik tajam atas pembacaan kitab suci yang selama ini selalu kita asosiasikan sebagai hal yang sakral. Setelah mitos-mitos perempuan telah rampung terbahas, maka barulah kita pantas untuk membongkar satu lagi gembok yang memenjarai kebebasan perempuan, yakni problematika teologis dalam khazanah tafsir agama-agama dunia.


C.    TELAAH DOKTRIN TEOLOGIS TENTANG KEPEREMPUANAN; MERINTIS REINTERPRETASI

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya pada akhir sub-bab satu, bahwa pembicaraan tentang tafsir teologis terhadap perempuan tidak afdol apabila tidak didahului oleh pembahasan mengenai perempuan dalam relevansinya dengan kebudayaan. Sebab penafsir sangat dipengaruhi oleh kondisi spasial-temporal (ruang-waktu) dimana ia tinggal dan mengada saat itu. Dengan demikian, dikarenakan sejak zaman dahulu budaya manusia telah menanamkan ke alam bawah sadar peradaban (episteme). Lantas dengan episteme tersebutlah yang menjadi cikal-bakal dari lahirnya tafsir-tafsir teologis atau doktrin serta dogma tentang perempuan yang perlu kita sadari rupanya posisinya sangat sempit dihimpit oleh dominasi maskulinitas.
Posisi perempuan sejak zaman kuno selalu dijadikan pembicaraan belakangan dan kepentingan mereka dinomorduakan setelah kepentingan publik. Satu doktrin yang paling mengakar dan terbukti jelas menjadi basis pemikiran dan legitimasi atas superioritas maskulin, adalah tentang drama kosmos (kosmogoni) penciptaan manusia untuk pertama kali; ayahanda dan ibunda seluruh umat manusia; Adam dan Hawa. Narasi ini menjadi narasi besar dan mengandung daya terik magis tersendiri. Narasi tentang penciptaan manusia dalam kitab-kitab suci agama, yang dalam hal ini agama-agama Semitik/Ibrahimistik/Samawi/monotheisme (Yahudi, Nasrani dan Islam) memiliki kesamaan struktur dan morfologi penuturan yang sangat besar. Bahwa Tuhan menciptakan manusia pertama, yaitu Adam, dari tanah, kemudian diciptakannya isterinya pula dari tulang rusuk Adam, lalu dibiarkan hidup dalam surga penuh kebahagiaan, namun dilarang mendekati sebuah pohon tertentu dalam surga itu. Adam dan istrinya, Hawa, melanggar larangan tersebut dengan akibat manusia diusir dari Surga.[36] Doktrin kosmogoni ini telah menjadi faktor yang sangat sering dikutip dan diyakini oleh manusia, dan dalam beberapa hal tertentu, ada orang-orang yang menuding menyalahkan Hawa karena telah menghasut Adam untuk memakan buah terlarang. Mereka berkata, “karena Hawalah, seluruh umat manusia dipenjara di Bumi, dan diusir dari surga yang nyaman itu”. Selain itu, menumbuh suburkan stereotip bahwa perempuan merupakan makhluk pelengkap atau makhluk sekunder (the second creation) dan laki-laki adalah makhluk utama atau makhluk primer (the first creation).
Disisi lain, yang sering menjadi pembelaan kaum laki-laki terhadap superioritas dirinya dalam hal ini adalah doktrin bahwa perempuan adalah makhluk sekunder sedangkan lelaki adalah makhluk primer. Karena mereka pikir, Tuhan sengaja menciptakan manusia dari lelaki terlebih dahulu tanpa mempertimbangkan penciptaan perempuan. Diketahui bahwa Adam merasa kesepian ketika pertama kali diciptakan, maka kemudian Tuhan menciptakan pendamping Adam dari tulang rusuknya. Kenapa Tuhan menciptakan Hawa dari tulang rusuk telah merangsang kaum laki-laki untuk membuat sebuah filosofi “perempuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki yang notabene terletak di dalam lindungan tangan, adalah menandakan bahwa lelaki harus melindungi perempuan”. Filosofi ini kemudian secara tidak langsung telah menjustifikasi perempuan sebagai makhluk yang lemah dan mudah rapuh sedangkan lelaki adalah makhluk yang kuat serta perkasa. Laki-laki secara kodrati (fitrawi) berkewajiban untuk melindungi perempuan yang lemah nian ini, dan perempuan memiliki hak asasi untuk dilindungi. Kelemahan yang telah terlanjur melekat pada citra perempuan ini, seringkali dijadikan alasan serta pembenaran untuk mengekang kontribusi dan kesetaraan kesempatan yang sama bagi perempuan di ruang publik dalam hal hubungannya dengan pria. Perempuan kemudian diisolasi dan diasingkan posisi mereka di ruang privat saja yakni hanya punya kewajiban dalam mengurus rumah selebihnya tidak ada. Sebagaimana mitos tentang sumur, dapur dan kasur tadi yang sudah kita hancurkan berkeping-keping.

Sehingga yang barangkali menjadi penting untuk dibedah dan titik awal kita berpijak dalam rangka menelusuri dominasi maskulinitas dan inferioritas feminim dalam konteks teologis, pembacaan ulang dan membangun tafsir baru serta membudayakannya merupakan agenda besar yang tidak dapat ditolak sama sekali. Pembacaan ulang serta perumusan ulang atas filosofi kosmogoni ini harus dirasakan ramah akan kesetaraan jender, tidak mendiskreditkan kaum perempuan dan juga tidak menanamkan keangkuhan kepada kaum laki-laki sebagai makhluk yang pertama kali diciptakan. Pembacaan ulang atas doktrin kosmogoni dan mencari titik retak (diskontinuitas) yang telah menyelewengkan tafsir yang harusnya murni objektifitas lalu tercampur baur dengan kepentingan subjektif laki-laki untuk menyandarkan superioritas kelaki-lakian mereka, adalah keharusan mengingat betapa pentingnya kritik terhadap pengekangan peremuan di ruang publik ini. Tafsir teologis yang mendominasi pikiran alam bawah sadar manusia, telah menjadi episteme yang kuat dan mengakar secara fundamental dalam tatanan sosial. Sebab agama dianggap sebagai hal yang begitu sakral, suci, luhur, agung, serta rigid (kaku) yang seakan-akan anti-kritik. Maka ketika dogma teologis sudah menerima kritikan dan menerima potensi untuk dibaca ulang, maka kaum perempuan telah menemukan semacam titik terang dalam upaya memberantas konspirasi umat manusia yang menyerahkan superioritas kelamin kepada laki-laki. Yang semua itu akan kita awali dengan menggusur tafsir lama atas kosmogoni.
Upaya tafsir ulang atau melacak akar dari salah paham ini kemudian digalakan oleh banyak pemikr-pemikir teologis yang dalam uraian ini adalah dari kelompok-kelompok muslim. Penyelidikan ini menuntut keterlibatan pemikir-pemikir yang kritis dan diawli dengan pembacaan ulang Al-Quran sebagai kitab suci dan sumber kebenaran tertinggi dalam epistemologi Islam. Metode hermeneutika atau lebih populer dengan takwil[37] terhadap sistem sintaksis dan gramatikal serta kontekstual ayat (asbab al-nuzul) dalam Al-Quran. Dengan merujuk kepada beberapa ayat Al-Qur’an, penciptaan manusia dapat dikategorikan kepada empat macam cara: (1) Diciptakan dari tanah (penciptaan Nabi Adam AS); (2) Diciptakan dari (Tulang Rusuk) Adam (Penciptaan Hawa); (3) Diciptakan melalui seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa ayah secara biologis (penciptaaa nabi ‘Isa AS); dan (4) Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis dan hukum, atau minimal secara biologis semata (penciptaan manusia selain Adam, Hawa dan ‘Isa). Berikut ini adalah beberapa ayat yang berbicara tentang empat macam cara penciptaan di atas: pertama, penciptaan Nabi Adam, ayat yang menceritakan penciptaan Adam yaitu;Al-Fathir 35:11, ash-Shaffat 37:11,  Al-Mukminun 23:12, Al-Hijr 15:26, Ar-Rahman 5:14, dan Ali Imran 3:59.Kedua, penciptaan Hawa, ayat yang menjelaskan hal tersebut adalah; An-Nisa, 4:1, Al-A’raf 7: 189, dan  Az-Zumar 3: 196.Ketiga, penciptaan Nabi Isa, yaitu surat Maryam 19 :16-22. Keempat, penciptaan Manusia lewat proses reproduksi, ayat yang menceritakan proses tersebut adalah:As-Sajadah  32: 7-9, Al-Mukminun 23 12-14, Al-Mursalat 77: 20-23, Ath-Thariq 86: 5-7, dan Al-Qiyamah 75: 36-40.
Menurut Quraish Shihab, ungkapan dalam penggalan teks tersebut tidak mempunyai kemungkinan lain, kecuali dalam pengertian Adam. Atas dasar analisis munasabah antara ungkapan kata itu dengan ungkapan “wa batstsa minhumâ rijâlan katsîran wa nisâ`” yang jika dilihat dari tema pokok ayat ini tentang perkembangbiakan manusia tidak mungkin dipahami di luar konteks perkembangan manusia berasal dari pasangan Adam dan Hawa. Namun, meski frasa penciptaan pertama mengacu kepada Adam, tidak berarti bahwa Hawa diciptakan dari Adam sendiri, melainkan dari “jenis” Adam, karena sebagaimana dikutipnya dari pendapat al-Thabâthabâ’î tidak ada petunjuk sama sekali dalam nash ayat tersebut bahwa Hawa diciptakan dari Adam. Sedangkan, hadis yang menjelaskan keterciptaan perempuan dari tulang rusuk bengkok hanya secara metafor – perumpamaan bahwa Hawa diciptakan dari bahan yang sama (tanah) dengan Adam. Atas dasar ini, penafsiran Quraish Shihab tentang nafs wâhidah memiliki persamaan dengan penafsiran mayoritas ulama, seperti al-Biqa’i, al-Suyuthi, dan Ibn Katsîr. Akan tetapi, pada kata minha, penafsirannya berbeda dengan penafsiran kelompok ulama ini, dan memiliki persamaan dengan al-Thabathaba’i, ‘Abduh, Abû Muslim al-Ishfahani, dan salah satu takwil yang dikemukakan oleh al-Qaffâl.
Patut dicatat bahwa penafsiran Quraish Shihab tampak mengalami pergeseran. Dalam “Membumikan” al-Qur’an, kata nafs wâhidah ditafsirkan sebagai “jenis yang sama”. Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbâh kata ini ditafsirkannya sebagai Adam as.dan kata “minha” sebagai jenis penciptaan yang sama dengan Adam. Posisi pemikiran Quraish Shihab ini sama dengan penafsiran al-Thabâtha’i. Bahkan, basis argumennya tentang korelasi kata nafs wahidah dengan ungkapan wa batstsa minhumâ rijalan katsîran wa nisa` yang bertolak dari tujuan surah dan argumennya berkaitan dengan kata “minha” sebagai “jenis” yang sama dengan penciptaan Adam as. ditimba oleh Quraish Shihab dari tokoh ini. Jadi, pemikiran Quraish Shihab yang semula sama dengan ‘Abduh bergeser ke al-Thabâthabâ’î. Yang secara fungsional telah menyeret khazanah tafsir atas penciptaan Adam dan hawa ke dalam ruangan yang objektif murni dari tendensi subjektifitas kaum laki-laki dalam melegitimasi superioritas jender. Dengan demikian tertolak juga filosofi bahwa perempuan itu selau diasosiasikan dengan kelemahan karena diciptakan di balik lindungan lengan laki-laki.
Selain itu wacana yang begitu kritis dan menyimpan daya tarik begitu dalam selain tentang kosmogoni ini, adalah wacana tentang antropoformis yang mengartikan teks-teks Al-Quran sangat harfiah. Sosok Tuhan yang sejatinya bersifat immaterial/transenden/tidak terbatas kemudian lalu ditubuhkan secara fisik (jism). Karena pembacaan atas karakteristik Tuhan itu hanya dapat diperoleh lewat wahyu[38]. Upaya membongkar pemaksaan terhadap sifat kelaki-lakian Tuhan dapat dilacak dan dibongkar dengan analisis kontekstual terhadap pemaknaan dan tafsir atas kitab suci. Dawam Rahardjo mengupas akar persoalan ini dengan sangat tajam dan fundamental pada pendahuluan buku Metodologi Studi Al-Quran.[39] Bahwa permasalahan para mufasir ternyata berusaha memahami konteks sosial dan konteks sejarah dari teks itu sendiri ketika diturunkan. Sebab, dalam ilmu tafsir al-Quran dikenal pengertian asbab al-nuzul, sebab-sebab atau latar belakang turunnya suatu ayat atau surat. Contoh yang populer adalah penafsiran surat al-Ashr sebagaimana dilakukan oleh Allamah Thaba’thaba’i dalam tafsir Al Mizan. Tuhan memang tidak memiliki konteks sosial, tapi teks itu sediri memiliki konteks sosial. Dari pengertian inilah lahir konsep tafsir kontekstual yang mempelajari konteks sosial dan historis ketika suatu ayat atau surat itu diturunkan, dan kemudian diproyeksikan, melalui metode analogi atau qiyas dengan melihat perubahan sosial ketika ayat atau surat itu ditafsirkan atau dipahami maknanya atau esensinya, misalnya memahami ayat mengenai riba, poligami atau relasi jender pada zamankontemporer. Hasilnya memang bisa merupakan pemahaman baru untuk memecahkan masalah-masalah kekinian. Di sini, kontroversi ilmu tafsir dan hermeneutika bisa direkonsiliasikan.
Lain halnya jika ilmu mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu fenomena sejarah, sebagamana telah ditulis Karen Armstrong.[40] Disini Tuhan dipandang sebagai fenomena sejarah yang lahir atau dilahirkan pada suatu waktu dan tempat tertentu. Dalam artian Tuhan bukanlah wujud objektif tapi hanyalah akumulasi dari perkembangan gagasan manusia. Teori evolusi Durkheim mengatakn bahwa Tuhan itu dalam konsep monoteisme lahir pada masa peradaban agraris. Diramalkan bahwa di masa peradaban industrial Tuhan tidak lagi dipercayai eksistensinya. Hal ini hampir senada dengan pernyataan Weber bahwa dasar makna hidup (the ground of meaning) yang ditawarkan agama, dianggap tidak populis pada masyarakat modern yang notabene tidak bersifat religius tetapi rasional.[41] Dalam konteks pandangan ini, Tuhan diproyeksikan kepada seorang yang dianggap sebagai pengarang wahyu, yaitu nabi. Di sini, sebagaimana dibahas oleh Eric Fromm, Tuhan dalam injil Perjanjian Baru bahkan berbeda dengan Tuhan dalam Perjanjian Lama.[42]
Tuhan Musa adalah Tuhan yang keras dengan hukum-hukum-Nya yang direpresentasikan oleh sepuluh perintah Tuhan di gunung Sinai (ten commandments). Sedangkan Tuhan Perjanjian Baru di masa Yesus adalah Tuhan yang lembut dan penuh kasih sayang. Tuhan di situ mempunyai latar belakang sosial dan historis yang konkret. Namun dalam koteks pandangan ini, latar belakang yang dicari bukanlah latar belakang Tuhan, melainkan latar belakang kelahiran wahyu yang diturunkan pada seorang nabi. Betapa kita akan tercengang ketika menyadari bahwa personifikasi atas wujud Tuhan atau penubuhan (jism) sangat dipengaruhi oleh konteks sosial-historis, sosio-kultural, aspek psikologis dan kepentingan subjektif masyarakat terkadang. Misalnya bagi seorang yang concern terhadap wacana syariat dan fiqh dalam Islam, maka sosok Tuhan menjelma seakan-akan selaku hakim yang kaku, keras dan tegas. Sedangkan bagi yang concern pada permasalahan makrifat, Tuhan dipersonifikasi sebagai kekasih, candu, cinta, belas kasihan, ekstase dan penyayang. Golongan kedua ini banyak kita temukan pada kelompok sufistik dan mistisme. Mereka seringkali membuat tari-tarian, musik serta puisi dalam mengekspresikan kecintaan pada Tuhan sebagaimana seorang pujangga yang mabuk cinta kepada gadis pujaan dambaan hatinya. Lihatlah seperti Jalaludin Rumi misalnya. Di samping kedua itu, bisa juga kita melihat sosok Tuhan yang menjelma seakan-akan sebagai teroris yang berhasil direpresentasian oleh kelompok radikal ISIS dan Al-Qaeda. Kita juga bisa melihat bagaimana FPI bisa mempraktekkan keislamannya seakan-akan Tuhan adalah bos mafia atau bos preman yang mengintruksikan mereka melakukan penggerebekan, diskriminasi, perusakan, penghancuran dalam mengganggu keamanan serta ketentraman publik.[43]         
Pembahasan mengenai hubungan wahyu dan konteks itu berlanjut pada masalah hubungan antara agama dan peradaban. Dalam kaitan ini, Nurcholis Madjij pernah mengutip pendapat mantan menteri kebudayaan AS, John Garner yang pernah mengatakan bahwa semua peradaban besar di dunia itu selalu berasal dari agama. Dari perkataan Garner itu secara implisit terkandung pandangan yang membedakan agama dan peradaban. Agama berasal dari Tuhan, sedangkan peradaban dan kebudayaan adalah hasil ciptarasa dan karsa manusia. Dalam kaitan ini tersimpula pula pendapat bahwa semua peradaban besar itu bersumber atau berakar dari suatu sistem kepercayaan atau agama tertentu. Pandangan ini berkebalikan dengan pandangan sementara kalangan antropolog, semacam Clifford Geertz bahwa agama itu merupakan bagian atau bentuk, dan karena itu berasal dari kebudayaan tertentu. Pandangan ini bertolak dari pengertian bahwa agama merupakan kebudayaan itu adalah suatu sistem nilai atau sistem simbol yang kemudian mempengaruhi sistem kepercayaan dan sistem sosial dalam masayarakat tertentu. Dengan kata lain, ketika antropologi dan peradaban manusia berusaha sekuat tenaga menerjemahkan hubungan-hubungannya dengan alam, agama malah memberikan jawaban tentang hubungan-hubungan tersebut serta hal-hal yang terpendar di balik hubungan itu, sesuatu yang bersifat metafisik, supraempirik, supranatural dan ghaib.
Proses memahami dimensi-dimensi keagamaan tersebut akhirnya akan memberikan kita keinsyafan dan kesadaran bersama, bahwa agama langit tidak melulu bicara tentang hal-hal yang bersifat transendental, luhur, ghaib, tidak terlihat (invisible), batin, ukhrawi, yang berada dalam hubungan vertikal manusia dan Tuhan (habluminallah). Tetapi juga mengatur tentang yang profan, imanen, fisik, materialistis, ekonomi, budaya, etika, sistem sosial, negara, indvidu dan masyarakat, peradaban dan lain semacamnya dalam diskursus mengenai hubungan antar individu dengan individu, individu dengan masyarakat, individu dengan kelompok sosial, kelompok sosial dengan kelompok sosial lain (outgroup), kelompok sosial dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyrakat lain (the others) yang termaktub dalam relasi horizontal (habluminannass). Disamping itu juga terdapat wacana tentang relasi manusia selaku mikrokosmos dan alam raya sebagai makro-kosmos (hablu min bi’ah). Hal ini yang mengantarkan Cak Nur untuk meyakini bahwa manusia adalah makhluk dua dimensi dalam konteks memiliki hubungan vertikal dan horizontal. Ilustrasi yang digambarkan beliau adalah perihal shalat, dimana shalat diawali dengan takbir sebagai representasi hubunga vertikal dengan Tuhan dan diakhiri dengan salam sebagai representasi dari pola hubungan antar manusia (horizontal).[44]

Pola hubungan vertikal dan horizontal dalam makhluk dua dimensi

Dalam diskursus filsafat Islam atau Islamic Studies, sesungguhnya sudah bukan hal yang asing lagi bila kita mendengar terminologi dimensi esoterisme dan eksoterisme. Dimensi Esoterisme adalah dimensi nilaiv (value) yang berintikan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, keindahan, keadilan, ketentraman, kedamaian dan lain sebagainya. Dimensi ini berunsurkan nilai-nilai yang transedental, suci, luhur, agung dan murni yang hanya dapat dirasakan lewat penikmatan batin, penghayatan dalam penyembahan serta penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) yang tidak akan pernah cukup dipelajari secara rasional dan empiris. Sedangkan dimensi eksoterisme adalah dimensi fisik dan sosial yang bersifat aplikatif, demonstratif dan implementatif sebagai konsekuensi dari penghayatan-penghayatan batin. Contohnya adalah dimensi ritual, haji, shalat dalam artian sosial, zakat, waris, dan lain semacamnya. Dimensi esoteris adalah dimensi primer sedangkan eksoterisme merupakan dimensi sekunder. Sebagaimana dengan demonstrasi yang sudah dipaparkan sebelumnya, bahwa shalat diawali dengan takbir (representasi tentang perlu diawali oleh dimensi esoterisme) dan diakhiri salam (representasi tentang perlu diakhiri dengan dimensi eksoterisme)
Karena Yahudi dan Nasrani[45] adalah Islam dalam arti yang sesungguhnya, maka terdapat keteraturan dan kesinambungan antara satu dan lainnya. Dalam ruang lingkup nilai (value), harus diakui bersama bahwa tujuan agama-agama Samawi atau Ibrahimistik ini sama yakni mengajarkan pada kebenaran, kebaikan, keadilan dan lain sebagainya. Selain itu kesinambungan antara tiap agama ini ditunjukan dengan adanya isyarat-isyarat akan kedatangan agama dan nabi selanjutnya. Yesus mengatakan setelah kematiannya, dia akan mengirimi murid-muridnya seorang Comforter atau Paraclete (Roh Kudus), yang akan mengingatkan mereka pada segala yang telah diajarkan dan membantu mereka memahaminya.[46] Dalam peprebedaharaan kata Syria, “Paracle” diterjemahkan sebagai munahhema, yang setelah kejadian itu, menjadi terdengar seperti “Muhammad”. Orang Kristen Arab lainnya membaca periklytos, bukannya “Paraclete”, yang dalam bahasa Arab diterjemahkan sebagai Ahmad. Ini nama umum di Arab dan, seperti “Muhammad”, ini berarti “yang terpuji”. Muhammad menyadari terjemahan itu karena Al-Quran merujuk pada kepercayaan bahwa Yesus telah menceritakan adanya Nabi lain bernama “Ahmad” akan datang setelah dia, dan akan mengonfirmasi pesannya.[47]
Argumentasi-argumentasi tersebut melukiskan bahwa hubungan antara dimensi Esoterisme dan Eksoteris adalah hubungan mutual affirmatif.[48] Bahwa dimensi esoterisme tidak akan pernah berguna tanpa adanya dimensi eksoteris dan begitu juga sebaliknya. Lalu yang terpenting dalam kajian ini adalah, bagaimana kita bisa memahami nilai dalam kedua dimensi tersebut? Dalam dimensi esoteris, nilai itu bersifat mutlak/absolut dan universal dalam artian tidak dapat berubah (abadi) dan selau relevan dengan setiap waktu dan tempat (spasio-temporal). Sedangkan sebaliknya, dimensi eksoteris bersifat relatif dan partikular dalam artian selalu berubah-ubah sesuai kondisi zaman dan tempatnya masing-masing. Sebagaimana yang dikatakan Ayatullah Muttahhari bahwa pada hakikatnya hanya ada satu agama, yakni Islam. Agama Yahudi dan Nasrani[49] pada awalnya adalah agama Islam, tetapi karena didistorsi oleh umatnya sehingga Islam harus datang sebagai agama pelengkap. Semua agama tersebut sejatinya mengajarkan hal yang sama, yakni Tauhid. Aka tetapi ritualisasi tauhid tersebut dipraktekkan dengan cara-cara yang berbeda sesuai dengan kapasitas dan kesiapan mental umat.
Logika esoterisme dan eksoterisme tersebut juga tidak hanya berlaku secara ekslusif dalam tataran agama Samawi tetapi juga bisa kita lihat dalam semua agama entah itu agama langit (atau agama wahyu/monotheisme) maupun agama bumi (politheisme, animisme, monotheisme primitif, paganisme, totemisme, dsb). Dalam prinsip pluralisme agama, semua agama sejatinya mengajarkan tentang kebaikan yakni nilai-nilai transedental sebagai upaya manusia mengharapkan jawaban atas bentuk interaksinya dengan alam fenomena dan noumena. Hanya saja dimensi ritualisasinya yang beragam-ragam. Buddha, Taoisme, Kong Hu Cu, Nasrani, Yahudi, Baha’i, Islam dan semacamnya menghendaki perbuatan baik serta kemanusiaan. Hanya saja implementasi atas nilai-nilai transedental tersebut diekspresikan dengan cara yang tidak sama.
Begitupula apabila kita melihat keadaan internal Islam yang terpecah dan terdiaspora menjadi berbagai macam mahzab atau aliran pemikiran. Hanya saja harus diakui bahwa semua itu sebenarnya bermuara pada satu nilai yang sama, yakni nilai tauhid. Meskipun kita terbagi-bagi ke dalam berbagai jenis mahzab seperti Sunni, Syi’ah, Khawariz, Wahabi, Muktazillah, Asy’ariah, Mujassimah, dsb, akan tetapi satu prinsip luhur dan pasti yang dipegang oleh semua mahzab demikian adalah Tuhan Allah itu Esa dan Muhammad merupakan utusan Allah selaku nabi akhir zaman. Hanya saja ekspresi tauhid tersebut yang berbeda-beda. Ekspresi itu dapat kita lihat dari pluralnya pemikiran di bidang fiqh, syariat, makrifat, tareqat dan hakikat.
Kembali ke konteks tentang feminisme, bahwa yang kita bahas sekarang ini adalah permasalah maskulinitas Tuhan di mata agama. Dengan memahami secara sadar dan insyaf paparan panjang lebar tadi, sesungguhnya paradigma maskulinias Tuhan, itu berada pada dimensi Eksoterisme, yakni dimensi fisik. Dalam artian, gagasan tentang Tuhan yang berwatak maskulin nilai kebenarannya bersifat relatif dan tidak absolut sehingga masih sangat terbuka dan mungkin untuk dibaca ulang, ditafsir kembali, agar nantinya mampu direkontekstualisasi dan reaktualisasi selaras dengan kondisi kontemporer yang tentunya dalam judul makalah ini akan menjadikan konsep tentang wajah Tuhan lebih ramah terhadap keadilan gender. Mengenai persoaln wajah Tuhan di tiap agama dan mahzab, itu juga dipengaruhi oleh bahasa serta sistem sosio-kultural dan sosio-historis tiap agama dan mahzab pada saat itu. Yahudi melihat sosok Tuhan sebagai sosok yang keras, karena tipikal Mesir pada zaman itu dibawah kekuasaan Firaun yang berwatak otoriter dan diktator dalam pemerintahannya. Sehingga pemahaman masyarakat Yahudi terhadap sosok pemimpin atau yang diagungkan, itu bersifat keras, tegas dan lantang. Sedangkan Tuhan Nasrani bersifat cinta kasih dan penyayang, karena sifat masyarakat Nasrani pada masa itu yang lemah lembut, yang butuh sosok pemimpin atau sosok yang dituakan yang lebih bersifat pengasih lagi penyayang terhadap masyarakat yang malam itu, yang diusir dari satu tempat ke tempat lain. Sehingga datanglah Yesus sebagai pujaan mereka, telah memberikan kesegaran dan pengasihan diri. Di tangan Yesus kemudian masyarakat Nasrani merasa nyaman karena merasa telah dicintai lagi. Karena itulah Tuhan Nasrani lebih bersifat cinta kasih.
Dalam konteks Tuhan yang maskulin ini, sesungguhnya sangat terikat dan dipengaruhi oleh kondisi budaya masyarakat Arab pada zaman itu. Sebagaimana yang telah diuraikan, tipikal masyarakat Arab pra-Islam begitu didominasi oleh ego kelaki-lakian yang kental serta akut. Sebagaimana yang terabadikan dalam An-Nissa, tentang kebiadaban masyarakat Arab Jahiliyah. Mereka tega untuk membunuh bayi perempuan yang baru lahir bahkan hidup-hidup, bagi perempuan yang menjanda, maka anak pertamadari suaminya akan menjadi suami pengganti bagi sang janda, dan bagi perempuan terdapat suatu tradisi amoral dimana perempuan diperkosa ramai-ramai (gangbang) hingga hamil. Posisi perempua mengalami dekadensi (bukan degradasi lagi!). Maka bisa dengan jujur dan tanpa penyangkalan sekalipun, tradisi Jahiliyah atau penerapan ideologi muru’ah pada masa kelam di Jazirah Arab saat itu sangat maskulin-sentris, radikal, ekstrem atau marilah kita sebut sebagai patriarkhi radikal.
Ekses-ekses teologis dari akar budaya Arab, tercermin dengan gamblang dalam upaya antropoformisme (penubuhan) sosok Tuhan yang sangat kelaki-lakian. Misalnya ayat yang menggunakan kata huwa dalam bahasa Arab, atau he dalam bahasa Inggris, secara harfiah bermakna dia (laki-laki). Hal ini menandakan bahwa pengaruh sosio-kultural dan sosio-historis telah mempengaruhi sintaksis dan diksi (pemilihan kata) dalam teks al-Quran. Sachiko Murata, berhasil menguraikan kesalahpahaman subjektif tersebut dalam Tao of Islam. Beliau mengatakan: “Pemikiran tentang Tuhan berpusat pada nama-nama atau sifat-sifat Ilahi yang diwahyukan dalam al-Quran, yang disebut sembilan puluh sembilan nama Allah (al-asma’ al-husna). Masing-masing dari dua perspektif dasar itu – ketakterbandingan dan keserupaan – dikaitkan dengan nama-nama atau sifat-sifat tertentu. Ketakterbandingan Allah mengingatkan kita pada nama-nama seperti Mahakuasa, Maha Tak-Terjangkau, Mahabesar, Mahaagung, Maha Pemaksa, Maha Pencipta, MAHATINGGI, Maharaja, Maha Pemarah, Maha Pembalas, Maha Penghancur, Maha Pemusnah, dan Maha Penyiksa. Hadis menyebut kesemuanya ini sebagai nama-nama keagungan (jalal), atau hebat (qahr), atau adil (‘adl), atau murka (ghadhah). Dalam konteks ini, saya akan menyebut semuanya itu sebagai “nama-nama yang”, karena menekankan keagugan, kebesaran, kekuasaan, kontrol, dan maskulinitas...”[50]
Dengan pemaparan yang panjang lebar dalam bukunya, Sachiko Murata berupaya untuk menetralisir anasir-anasir serta asumsi bahwa Tuhan sejatinya berjenis kelamin laki-laki. Meskipun prof Murata mengakui secara gamblang bahwa Tuhan yang dipersonifikasi lewat bahas Al-Quran memiliki sifat-sifat maskulin (jalal), akan tetapi beliau coba untuk imbangi dengan argumentasi bahwa Tuhan juga memiliki sifat-sifat serta citra feminim (jamal) yang inshaAllah akan dikupas tuntas pada bab selanjutnya. Hanya saja sebelum kita mengakhiri pembahasa Tuhan yang maskulin ini, alangkah lebih baiknya kita selesaikan proyek dekontruksi di sub-bab pembahasan ini. Upaya dekontruksi tersebut bertujuan untuk membersihkan dahulu asumsi sesat dan absolutisasi atas tafsir yang mengklaim Tuhan berjenis kelamin laki-laki. Hal itu tidak bisa tidak kita upayakan tanpa menguraikan poin-poin sebagaimana berikut: pertama, menelisik dan mengkritik asal muasal antropoformisme dalam tradisi agama-agama, kedua, menghancurkan epistemologi antropoformisme dengan nalar teologi negatif ala Ibnu Arabi, dan ketiga, mengkritik basis epistemologi kelompok skriptualisme dalam rangka menawarkan metodologi hermeneutika al-Quran.
Pertama, upaya untuk menelisik dan mengkritik asal muasal antropoformisme atau penubuhan Tuhan adalah upaya yang strategis dalam agenda besar desakralisasi agama atau yang lebih familiar dengan konsep sekularisasi ala Cak Nur.[51] Selanjutnya, antropoformisme merupakan salah satu model dari sekurang-kurangnya tiga model wahyu disamping berbasis pada konsep tanzil seperti di Islam dan bertunjang pada konsep “pendengaran” seperti dalam tradisi Vedik (dari kata veda) di Hindu dan sejumlah agama Timur lainnya yang non-teistik.[52] Konsep tentang “penubuhan” firman Tuhan juga secara historis pada awalnya belum diberlakukan pada Islam. Konsep ini sejatinya berakar dari tradisi politheisme dan paganisme. Dimana orang-orang zaman dahulu menciptakan batu yang dipahat dengan sedemikian rupa agar Tuhan mampu diinderai. Personifikasi tersebut dilakukan karena manusia memiliki kecenderungan untuk berinteraksi secara fisik. Kerinduan terhadap sosok Tuhan yang profan tersebut akhirnya terkristalisasi dan menjadi mapan dalam tradisi-tradisi Shinto misalnya (menuhankan matahari), Paganisme (menuhankan berhala), Buddha dan Hinduisme yang mempersonifikasikan Tuhan lewat patung.
Tradisi seperti ini sempat menggejala kembali pada masyarakat Yahudi semitik. Pada saat ketika nabi Musa pergi ke gunung Sinai untuk menerima perintah Tuhan, masyarakat Mesir saat itu pesimis dan skeptis karena ditinggalkan oleh sang messiah begitu lama. Tumbuh keyakinan bahwa nabi Musa sudah meninggal dalam perantauannya. Masyarakat Yahudi lalu membuat doktrin, interpretasi mereka sendiri, merombak ajaran Musa lalu didirikanlah patung lembu emas untuk merepresentasikan sosok Tuhan yang misterius. Kejadian tersebut terdokumentasikan pada surat al-Baqarah (sapi betina). Setelah nabi Musa wafat, masyarakat Yahudi yang murtad kemudian diusir. Lalu berabad-abad kemudian, peneguhan kembali atas sakralitas dan penolakan atropoformisme Tuhan kembali menguat dalam masa dimana Maimonides dmendapat otoritas untuk menjadi rabbi yang dihormati pada zamannya. Uraian komprehensif tersebut terekam dengan jelas dan komplit oleh Erich Fromm[53], bahwa saat itu telah muncul kecenderungan teologi negatif. Lewat ayat-ayat tertentu dalam perjanjian lama dan kompilasi ceramah-ceramah rabbi Yahudi (kita Talmud), dipaparkan bahwa segala sesuatu yang diberikan wujud, bahkan segala sesuatu yang dapat kita kenali lewat nama, adalah berhala. Bahwa Tuhan yang bernama, pasti bukanlah Tuhan. Agaknya hal itulah yang melatarbelakangi Tuhan dinamakan YHWH, dan tidak boleh ditulis denga nama lengkap Yahweh. Sebab apabila itu dilakukan, maka Tuhan telah bernama, dan apabila kita menyembah Tuhan yang bernama tersebut tidak membedakan situasi dengan kita yang penyembah berhala (paganisme).
Selanjutnya setelah berabad-abad lamanya kecenderungan antropoformisme ini menghilang dari peredaran masyarakat, kelak paham ini akan diwujudkan kembali di tangan otoritas agama Nasrani. Lewat kajian-kajian kritis, dan upaya untuk menelaah agama Nasrani agar memiliki model filsafat sendiri yang menjadi pembeda antara agama itu dengan agama-agama selanjutnya, disusunlah suatu konsep yang kita kenal dengan Trinitas. Trinitas adalah konsep bahwa Tuhan telah menjelma sebagai Roh Kudus dan secara fisik oleh Yesus Kristus. Mereka beranggapan bahwa Yesus merupakan anak Tuhan, yang lewat mukjizat (miracle), firman Tuhan adalah Yesus itu sendiri secara fisik dan biologis. Konsep ini mengignatkan kita kepada agama-agama primitif terdahulu. Rupanya di era kejayaan Nasrani tersebut, telah muncul kembali kerinduan untuk berinteraksi secara fisik dengan Tuhan. Sehingga diciptakanlah sosok Yesus sebagai simbol dan perantara untuk berdoa kepada Tuhan. Tetapi berbeda dengan agama lain, malah Yesus sendiri bukanlah simbol perantara saja akhirnya, akhirnya Yesus sendir sebagai simbol menjelma menjadi sembahan itu sendiri.
Karena hal itulah, maka Muhammad menolak untuk dikultuskan seperti saudaranya itu, Yesus (a.k.a. Isa as). Pada momentum perebutan kembali Mekkah oleh umat Muslim dalam rangka meringkus kekuasaan kelompok Quraisy kafir, saat itu seluruh berhala di dalam maupun luar Kakbah dihancurkan hingga berkeping-keping bahkan jadi abu. Tatkala umat Muslim hendak menghancurkan gambar dan patung Yesus, langsung dilarang oleh Muhammad. Sejak saat itu muncullah perintah dari sang nabi agar nanti wajah atau bentuk fisiknya tidak didokumentasikan lewat literatur maupun tidak dilukis atau patungnya tidak dipahat agar nanti kesalahan umat manusia yang pernah terjadi pada Yesus tidak akan terulang kembali, kata sang nabi, agar dia tidak dikultuskan sebagaimana para pendahulunya.
Nuansa teologi negatif sangat kental terutama pada surat Al-Ikhlas, dimana pada saatitu Tuhan melakukan deklarasi bawa Dia Esa, tidak diperanakan dan tidak memiliki anak, dan lain sebagianya. Membuktikan bahwa Tuhan itu berbeda dengan manusia, Tuhan itu tidak dapat dipersonifikasi atau ditubuhkan seperti manusia. Sedangkan pada khazanah Islam, wacana tentang penubuhan Tuhan itu muncul setelah sang nabi wafat dan terjadi peperangan interpretasi di dalam internal Islam. Perlu diterangkan terlebih dahulu bahwa sejatinya sejarah Islam dan sejarah umat Islam merupakan dua hal yang berbeda. Sejarah Islam adalah sejarah tentang zaman kenabian dari era Adam sampai pada saat ketika Muhammad wafat. Sedangkan sejarah umat Islam adalah sejarah paska Muhammad wafat, yang dipenuhi dengan konflik internal antar mahzab, kemunafikan, pembantaian terhadap keluarga nabi, perebutan kekuasaan, trabalisme akut dll. Namun kembali ke topik pembicaraan, tepatnya dinamai sebagai aliran Al-Mujassimah, adalh mereka yang memaknai teks Al-Quran secara harfiah dan menganggap frasa-frasa seperti “Wajah Tuhan”, “Tangan Tuhan”, bahkan mereka mengakui klaim Tuhan berjenis kelamin laki-laki.
Setelah kita meahami proses dan hal ikhwal kelahiran antropoformisme dari rahim kesalah pahaman umat, maka selanjutnya, kedua, bagaimana teologi negatif akan menjadi mesin penghancur dogma yang sesat ini? Teologi negatif sepreti yang tersirat dari namanya, adalah teologi dan pendekatan ketuhanan yang memilih mengungkapkan apapun tentang Tuhan dengan cara negatif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rubenstein dalam sebuah artikelnya, teologi negatif hanya bisa dipahami dalam relasinya – sebagai antitesis – terhadap teologi yang ada selama ini: jika teologi biasa mengungkapkan Tuhan dengan statemen yang positif (sebagai contoh: Tuhan dapat diketahui, Tuhan ad, Tuhan dapat dipikirkan), teologi negatif sebaliknya sebalknya memilih mengungkapkan Tuhan dengan statemen negatif (Tuhan tidak dapat diketahui, Tuhan tidak ada, Tuhan tidak dpaat dipikiran) atau – lebih radikal lagi – bahkan memilih tidak mengungkapkannya.[54]
Tradisi berpikir Al-Mujassimah, sejatinya berakar dari paham teologi positif. Teologi positif adalah kebalikan dari teologi negatif, bahwa ketika teologi negatif berbicara Tuhan dengan pandangan negatif maka teologi positif membicarakan kemukinan Tuhan dapat diketahui. Paham ini memiliki tiga ciri penting yang menjaditipikal sistem metafisika ketuhanan tersebut yakni The matization of being (bahwa Tuhan dapat dipahami secara total), positivity of being (bahwa Tuhan dapat dipersonifikasi secara sifat atau fisik), dan economy of being (bahwa makhluk dapat sejajar dengan Tuhan). Al-Mujassimah ini termasuk dalam golongan kedua. Pada level yang lebih halus dari penubuhan Tuhan yang menunjukkan sdikit kerumitan yang lebih tinggi adalah sekelompok aliran teologi yang disebut-sebut sebagai al-Msyabbihah yang menyamakan Tuhan, dari segi Dzat atau sifat-Nya, dengan Dzat atau sifat makhluk-Nya. Paham-paham ini, seperti sudah ditebak, dicap sesat oleh mayoritas teolog da termasu dalam paam-paham heretik (bid’ah) yang dianggap menyimpang dari kebenaran.
Namun demikian, penolakan terhadap doktrin antropomorfisme Tuhan tidak berarti menghindarkan para teolog dari pola represntasi ointologis diatas; dalam level yang sangat subtil, para teolog mayoritas – yang sering diidentifikasi sebagai Sunni – mau tidak mau juga melakukan representasi ontologis tertentu dalam pemikiran mereka. Kutipan dari al-Juwani tentang konsep mawjud membuktikan adanya jejak representasi tersebut. Perbedaan pola representasi yang ditampilkan hanyalah pada perbedaan tingkat representasionalitas masing-masing aliran teologi tentang Tuhan. Pada kelompok al-Mujassimah dan al-Musyabbihah, representasi itu ditampilkan secara ulgar dengan mngidentikkan Tuhan dengan tubuh atau materi, pada kelompokSunni, representasi itu ditampilkan secara lebih halus dalam identifikasi Tuhan sebagai mawjud.
Untuk membongkar teologi negatif tersebut, maka penting bagi kita untuk menggunakan prinsip-prinsip teologi negatif. Salah satnya adalah prinsip infinity of being yang berarti ketidakmungkinan Tuhan untuk dibatasi dalam pembicaraan apaun baik sebagai “ada” (being) maupun sebagai yang-ada (being). Ini berarti, bahwa Tuhan adalah ia yang tak terbatas; ia adalah ia yang tak mungkin dibatasi. Ini tercermin antara lain dalam salah satu doa St. Agustinus: “Kau yang mantap, tapi tak terjangkau”[55], yang menyiratkan bahwa Tuhan betaapapun ada dan keberadaan-Nya dapat dipastikan, tidak dapat dipahami dala ada dan keberadaan sebgaimana yang dapat dipahami. Ia adalah yang tak terbatas pada dirinya; Ia adalah ketakterbatasan itu sendiri. Sebagaimana doktrin Buddha: Bagaimana bisa kita menjelaskan sesuatu yang Maha Tidakterbatas dengan bahasa yang sangat terbatas? Untuk lebih memperjelas lagi, Cak Nur dalam landasan pemikiran pada draft NDP berkata “...Allah itu Allah, oleh karena Dia yang tidak bisa dipahami manusia. Tuhan itu adalah yang tidak mungkin dipahami manusia, dan sebetulnya konteks mengenai misteri, laisa kamitslihi sya’un (tiada sesuatu yang sebanding dengan Dia). Jadi Dia tidak bisa digambarkan, tidak dapat dipahami. Sebab Allah itu mutlak. Perkataan memahami Tuhan itu kotradiksi in terminus. Sebab memahami berarti mengetahui batas-batasnya. Jadi kalau memahami Tuhan berarti sudah apriori bahwa Tuhan itu terbatas, terjangkau oleh kita.”[56]
Lebih lanjut lagi, bahwa Ia yang tak terbatas merupakan tanda atas Hasrat yang tidak final pada diri yang berelasi dengannya. Seperti yang dikatakan oleh Levinas, yang tak terbatas adalah nama lain dari Hasrat[57], hal ini sejaln dengan apa yang dimaksud dalam teologi negatif sebagai Cinta. Hasrat menginginkan kepenuhan namun semakin iamenginginkan kepenuhan, ia tidak dapat mencapai yang dinginkannya, demikian pun dengan relasi dengan ia yang tak terbatas: pikiran ingin mencapai yang tak terbatas, namun semakin ia menginginkannya, Ia semakin tak dapat dicapai dan semakin jauh untuk dicapai. Negativitas dalam ketaterbatasan adalah negativitas yang dibahasakan dam kritik metafisika sebagai retakan (break) atau disebut juga diskontinuitas oleh Foucault, yaitu momen keterbukaan dan keterpancaran pada suatu esensi atau substansi metafisis. Levinas mengambarkan momen ini sebagai hubungan yag terbuka antara totalitas dan yang-tak-terbatas[58], hubungan yang mencuat daari ketidakmemadaian totalitas esensi atau substansi metafisis di hadapan yang tak terbatas.
Ketakterbatasan Tuhan membuat-Nya mustahil untuk dicandra sebagai totalitas metafisis seperti yang diinginkan oleh teologi. Jika teologi seperti digambarkan di atas, berusaha memahami Tuhan dalam keranga-kerangka esensi, substansi atau identitas, maka teologi negatif adalah resistensi bagi kerangka-kerangka itu. Resistensi itu merupakan pelepasan Tuhan dari pembatsan-pembatasan yang diciptakan oleh gagasn tentang esensi, substansi atau identitas. Hasilnya, tentu saja, bukannya menutup diri dari yang tak terbatasa, adnya dimensi infinity of being pada teologi negatif justru sebaliknya justru membuka seseorang kepada pengalamn yang tak terbatas bersama Tuhan. Keterbukaan ini menandai transisi seseorang dari pengetahuan tentang Tuhan menjadi pengalaman bersama Tuhan, yaitu pengalaman yang tak terbatasa bersama da Ia yang tak terbatas.[59] Dengan demikian marilah ktia secara bersama-samamengkritik aliran antropoformisme terhadap Tuhan itu, bahwa menubuhkan Tuhan tidak ayal lagi senada dengan menganggap Tuhan itu terbatas, sedangkan Tuhan yang dibatasi pasti bukanlah Tuhan. Bahkan ketika kita mengatakan Tuhan itu tidak terbatas, itu masih belum cukup menyatakan bahwa kita sudah memahami Tuhan, sebab sebagaimana Cak Nur: memahami Tuhan adalah kontradiksi interminus (kontradiksi dalam kata). Mari kita akhiri pembicaraa perihal Teologi negatif ini dengan pernyataan Sachiko Murata: Tuhan yang dipahami, dengan Tuhan yang sesungguhnya, itu adalah dua hal berbeda!
Ketiga, bagaimanakah kita akan menghancurkan basis epistemologis kaum skriptualisme? Sebagaiman ayang kita mahfum, bahwa kelompok skriptualisme adalah merka yang menafsirkan ayat secara harfiah. Tradisi Islam lebih condong terhadap tafsir dibandingkan takwil. Hal inilah yang menyebabkan wajah Islam begitu kaku, rigid, konstan, stagnan, alergi terhadap pembaharuan, dikuasai oleh otorititerianisme kekuasaan dan cenderung fanatik dalam beragama. Wajah Islam yang bengis adalah Islam yang kebanyakan lahir di mahzab skriptualisme ini. Mereka mengagungkan teks dan membuang pentingnya konteks dalam memahami makna Al-Quran. Padahal al-Quran selain memiliki teks-teks yang bersifat muhkamat (non-interpretable), juga terdapat ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat (interpretable). Padahal apabila kita merinci secara linguistik, akan didapati kata tafsir lebih sedikit bahkan dari kata takwil.
Kecenderungan skriptualisme ini, adalah absolutisasi penafsiran. Padahal Prof. Komarudin Hidayat sudah memperingatkan lewat analisis beliau, hingga muncul kesimpulan: absolutisasi penafsiran, hanya akan memukul lonceng kematian hermeneutika.[60] Sedangkan absolutisasi penafsiran akan menjadikan umat lebih berwatak otoriter, patuh, tidak kritis, bengis dan rentan konflik. Tidak heran hampir semua pengikut skriptualisme adalah takfiri, mereka yang terlampau sering meneriaki orang-orang yang berselisih paham dengan: bunuh dia, zidik, kafir, halal darahnya! Kaitannya dengan bahaya terhadap gerakan feminisme, adalah susahnya kelompok feminis untuk tumbuh kuat dalam bayang-bayang skriptualis yang notabene didominasi oleh laki-laki dengan latar belakang budaya patriarkal. Akan sulit untuk mensosialisasikan kehancuran wacana maskulinitas Tuhan yang sudah kita bicarakan tadi. Sebab konsep maskulinitas Tuhan, telah terpatri dalam alam bawah sadar mereka selama berabad-abad lamanya. Jangan sampai nanti, ketika kita dengan gigih memperjuangkan feminisme di tengah peradaban Islam yang dikuasai skriptualis ini, malh kita akan dimusuhi, diteriaki kafir, zindik dan bahkan halal darahnya! Satu-satunya cara adalah, membumi hanguskan pemahaman skriptualisme ini dengan merombak basis epistemologi mereka serta membangun budaya toleransi sehingga umat muslim lebih bersikap moderat terutama terhadap perkembangan dan kemajuan zaman. Yang demikian itu, apabila kita sudah bisa menawarkan metodologi hermeneutika sebagai metode tafsir yang menggantikan metode lama.
Fenomena skriptualisme ini disebut juga dengan gejala biblioatri. Kata bibioatry di sini secara harafiah berarti “penyembahan Bibel”. Secara umum, kata itu berarti pengagungan kitab suci apapun ecara berlebihan sehinga menyerupai penyembahn. Kata itu dipakai sebagai padanan (dengan pengertian yang jauh lebih emndalam) dari “skriptualisme” yang berlebihan. Kata itu dikutip dari buku T.H. Huxely, Science and Hebrew Tradition, . Kutipan lain yakni dari Al-Gahazalidalam bukunya Jawahir al-Quran. Terjemahannya: Rahasia Al-Quran dan intinya yang paling cemerlang serta tujuannya ynag pokok adalah undangan untuk para amba menuju kepada Tuhan. Secara historis, kelahiran virus biblioatri ini dapat kita pahami dari sejarah tradisi tafsir yang didokumentasikan di khazanah pemikiran Islam atau Islamic studies.
Penulisan tafsir memberikan peran yang sangat besar dalam menjadikan al-Quran kitab suci yang sempurna. Sejarah penafsiran al-Quran sendiri telah ada sejak zaman Nabi. Tentu saja, pada masa kini, upaya penafsian dilakukan secar verbal dan ddisampaikan dalam halaqah-halaqah para sahabat Nabi. Beberapa sahabt Nabi seperti Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas dikenal sangat piawai dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Sejarah penulisan tafsir Al-Quran baru mulai semarak pada abad ke-3 H/10 M, dimulai oleh Ibn Jarir al-Tabari (w.923 M). Pada mulanya, tafsir adalah upaya untuk memberikan penjelasankepada ayat-ayat Al-Quran, tapidengan semakin berkembangnya tradisi ini, tafsir menjadi sebuah ilmu apologia untuk membentengi al-Quran dari kritik dan kecaman.[61]
Selama rentang abad ke-10 hingga abad ke-20 M, tafsir berperan seperti Teologi (ilmu kalam) dalam membentengi keilahian al-Quran. Peran tafsir sangat besar terutama dalam menjelaskan berbagai kontroversi dan kontradiksi antar ayat-ayat Al-Quran.[62] Tafsir juga sangat berperan dalammemberikan pembenaran terhadap ayat-ayat yang terlalu irasional atau bertentangan dengan fakta historis.[63] Inti dari semua ini adalah untuk menyatakan bahwa Al-Quran merupakan kitab suci yang sepenuhnya datang dair Allah dan sesuatu yang datang dari Allah tidak mungkin cacat.
Sebagai informasi pelengkap dalam bahan kajian ini, seorang penulis Mesir, Prof. Nasr Hamid Abu Zaid pernah mengutarakan sbuah pernyataan yang penting untuk kita pertimbangkan disini, yaitu bahwa “wa laisa min qabil al-tabsith an nashifa al-hadlarat al-‘arabiyyat al-Islamiyyah bi annaha hadlarat al-nash[64]. Bukan buat-buatan kalau kita katakan bahwa peradaban Islam dan Arab sesungguhnya adalah peradaban yang berpusing-pusing di sekitar teks. Kedudukan teks begitu sentralnya, sehingga teks menjadi semacam paradigma atau cetakan yang mengkerangkakan hampir seluruh kehidupan umat Islam dala seluruh bentangan sejarahnya. Budaya tekstual dan budaya tafsir tersebut menikah dalam upacara supremasi kekuasaan untuk melanggengkan otoritas status quo. Pada saat-saat awal zaman paska wafatnya Nabi Muhammad SAW, diam-diam jazirah Arab tengah bergejolak. Sebuah nafsu kekuasaan berkobar-kobar membara, merambah gairah membuka tirai rezim teks.
Sudah tentu gravitasi teks ini bukan semata-mata lahir karena konsepsi tentang teks yang berlandasakan wawasan teologi yang ultra-teosentris. Ada sebab-sebab yang lebih bersifat sosial politik yang melatari itiu semua. Mengutip kembali Prof Abu Zaid, dalam sejarah Islam, supremasi teks yang sentral tidak bisa dipisahkan dari konteks politk pada zaman itu. Sebagaimana kita tahu, proses pemantapan mahzab-mahzab dalam Islam berlangsung sekitar abad 3-4 Hijriah. Inilah masa yang dalam sejarah tasyr’i Islam disebut sebagai periode taqnin, atau kodifikasi mazhab. Pada periode itu mulai muncul ancaman disintegrasi polity ataua kepolitikan umat. Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai terancam karena munculnya “duwailah” atau kerajaan-kerajaan kecil di wilayah pinggiran imperium Islam. Peraaan insecurity mulai muncul. Pada saat seperti itu, umat merasakan perlunya suatu rasa aman, dan salah satu mekanisme pencarian rasa aman itu adalah dengan cara mengeakkan otoritas teks sebagai pedoman yang dianggap absolut.[65]
Warisan inilay yang kita langgengkan hingga sekarang, yaitu warisan mengenai pentingnya ketaatan pada teks karena kekhawatiran akan munculnya disintegrasi umat yang disebabkan oleh kekacauan penafsiran. Kata fitnah yang berarti kekacauan sosial merupakan hantu yang membayangi sejarah sosial umat Islam. Penegakan supremasi teks adalah semacam usaha untuk mengkompensasi (‘amaliyyah ta’widliyyah, istilah Prof. Abu Zaid) kekacauan itu dengan cara mengokohkan otoritas teks.
Dalam cara yang sama, Roxanne L. Euben, dalam Enemy in the Mirror, menjelaskan kemunculan fundamentalisme modern. Dalam fundamentalisme modern, discourse of authencity bergitu kuat da menonjol. Sudah tentu, keotentikan disitu diukur pertama-tama melalui ketaatan seseorang kepada bunyi dan ketentuan teks dalm kitab suci. Wacana tentang keaslian berdasarkan teks ini, seperti diulas oleh Euben, adalah lahir karena perasaan kecemasan yangmendalam dalam umat Islam berhadapan dengan hegemoni negara-negara Barat yang dipandang melukai harga diri mereka; dalam usaha mengatasi kecemasan itu, sesuatu yang bersifatpasti dan kokoh diperlukan. Teks dikokohkan kemali untuk mengkompensasi perasaan cemas ini.[66]
Singkatnya dalam situasi krisis dimana umat Islam mencari pegangan yang kokoh untuk tambatan agar tidak mengalami disintegrasi atau “fitnah”, seringkali seruan untuk kembali berpegang kokoh kepada teks digembar-gemborkan secara reguler. Kita masih ingat observasi yang dulu, di abad ke-19, pernah dikemukakan oleh seorang intelktual Muslim masa kekhalifahan Utsmani, Muhammad Syakib Arsalan: kemajuan bangsa Barat terjadi karena mereka meninggalkan Kitab Suci; tetapi kemajuan umat Islam hanya akan terjadi kalau mereka kembali berpegang teguh kepada al-Quran. Kitab suci atau teks, dalam pengamatan Arsalan, dipandang sebagai sumber penyelesain masalah umat.
Masalahnya sekarang, tidak mengherakan seorang pemikir orientalisme sekaliber Edward Said mengatakan bahwa peradaban Timur menjelma menjadi peradaban yang barbar, dikenal terkebelakang, kuno, bengis, tribal dan semacamnya. Peradaban Barat memanfaatkan budaya teks-sentrisme Arab sebagai bahan untuk menghegemoni opini masyarakat global (global civilition) agar menghindari Arab serta stereotype Islamnya. Analogi yang sangat tepat adalah, Peradaban Barat merampas peluru Peradaban Timur, lalu dengan begitu antusias menembaki Peradaban Timr dengan peluru yang dia pinjamkan sendiri.
Mungkin pendapat penulis secara pribadi agak berbeda dengan apa yang diamati oleh Arsalan. Bahwa sejatinya, berpegangteguhnya umat Islam akan superioritas teks diatas segalanya, tidak akan pernah menggiring umat Islam ke arah kejayaan peradaban sebagaimana pada abad ke-7 Masehi. Kalaupun kekayaan, bargaining politik negara-negara Arab, kekayaan budaya dan lain sebagainya dijadikan bukti kejayaan, maka itu tidak lebih dari kejayaan semu. Sedangkan, kebebasan-kebebasan individu sedang terkoyak-koyak dibalik diamnya media massa, oligarki akut terus berkecambah patologi kekuasaan karena tumbuh suburnya budaya dinasti politik. Tidak ayal lagi: rezim teks telah menyeret umat Islam ke arah jurang yang mereka kira adalah dangkal dasarnya, bagi yang berpendapat begitu, tidak pelak lagi kedangkalan jurang yang sesungguhnya itu curam satu-satunya yang dangkal adalah pikiran dan hati nurani mereka mungkin. Daripada disebut teks memberikan kekuatan dan kesatuan serta keamanan dan kepastian bagi umat Islam, sebaiknya kita berjujur saja dengan rendah diri bahwa Islam malah bertransmisi menjadi agama yang binal, cinta teror, cinta perang, mencintai penjajahan (kolonialisme), munafik dan bengis. Otoriterianisme teks telah menjadikan agama yang dibawa Muhammad di masa silam, yang awalnya bersifat inklusif menjelma menjadi ekslusif dan kental kuasa oligarki. Tetapi apalah artinya menghujat, karena sudah barang tentu benar yang diutarakan oleh Hasan Hanafi: tradisi dan sejarah hanyalah tentang pertentangan pemikiran (ghawzul fikr), siapa yang memenangkan perang tersebut, maka dialah menguasai tradisi[67], dan mengutak-atik tradisi tersebut sesuka hati demi menjaga status quo dan nyamannya kursi empuk kekuasaan.
Kenapa teks mudah menarik perhatian umat Islam, dan kenapa dalam situasi krisis identitas, teks selalu dipanggil ke depan untuk menjadi pelindung dari ancaman kekacauan? Ini semua tidak mungkin terjadi seandainya teks sendiri tidak menempati kedudukan yang sentral dalam wawasan keagamaan umat. Dalam istilah Prof. Abu Zaid, al-Quran dan Sunnah sebagai teks telah menjadi suatu “konsep aksial” (mahfum mihwary atau gaasan poros yang begitu pentingnya sehingga umat selalu menoleh kesana dari waktu ke waktu. Jika tidak ada suatu upaya untuk membongkar wawasan teologis yang menempatkan teks dalam posisi sentral semacam itu, lingkaran setan pemahaman keagamaan yang alkitabiah atau skriptualistik tidak akan bisa diatasi. Biblioatri akan mebayang sebagai ancaman yang tidak bisa dihindarkan. Bahaya biblioatri adalah “hilangnya dimensi manusia” (ghayab al-insan; istilah Hasan Hanafi) dalam modus keberagaman. Pengalaman manusia menjadi remeh dantidak diperhitungkan. Manusia menjadi tidka ada harganya, baik sebagai pribadi maupun sebagai kolektivitas sosial yang kaya akan pengalaman-pengalaman historis yang konkret.
Sudah dikatkan bahwa al-Quran mempunyai konsepsi yang cerah dan optimistis mengenai manusia. Manusia disini tentu saja bukan suatu “wujud abstrak” yang diidealisasikan tetapi adalh manusia yang riil dengan seluruh pengalaman konkret yang dimilikinya. Pemuliaan atas manusia juga berarti mengakui kompelsitas pengalamannya yang tidak bisa begitu saja ditundukkan kepada teks yang dianggap universal. Wawasan teologi yang ultra-teosentris dan kemudian berujung pada supremasi teks, dengan demikian mengakibatkan suatu efek alienasi atau pengasingan, yaitu manusia diasingkan dari pengalamannya sendiri, dan diperitahkan begitu saja untuk tunduk kepada kesakralan teks ang dianggap mengatasi dan mengabstraksikan seluruh pengalaman konkret manusia.
Padahal kalau boleh, kiranya perlu diajukan suatu konsep tentang wahyu yang hidup, yaitu wahyu yang terdiri dari teks dan konteksnya sekaligus. Teks yang kita baca dalam al-Quran sekarangini adalah sebagaian dari wahyu yang harus dilengkapi dengan pemahaman atas konteks konkret tempat wahyu itu dahulu turun. Prof. Arkoun mempunyai suatu analisa yang baik mengenai hal ini. Dia mengajukan suatu istilah tajribah al-Madinah, atau pengalaman Madinah. Wahyu yang diterima oleh Nabi adalah wahyu yang turun dalam suatu konteks pengalaman yang konkret. Lebih lengkapnya, Arkoun berujar: “..teks keagamaan, tidak muncul begitu saja dari langit. Teks tidak muncul dari ruang “hampa” kebudayaan. Teks-teks dan naskah-naskah keagamaan, apapun bentuknya, adalah dikarang, disusun, ditiru, diubah, diciptakan oleh pengarangnya sesuai dengan tingkat pemikiran manusia saat naskah-naskah tersebut disusun dan tidak terlepas sama sekali dari pergolakan sosial politik dan sosial budaya yang mengitarinya. Bahkan tidak jarang dpengaruhi oleh angan-angan sosial dari si penyusun ataupengarang naskah itu sendiri dalam merespons tantangan zamannya (zeitgeist). Sering kali juga terjadi, suatu naskah keagamaan dikarang dan disusunoleh pengarangnya atas campur tangan dan pesan sponsor penguasa dan kekuatan politik yang dominan saat itu.”[68]
Hasan Hanafi, pemikir progresif Muslim dari Mesir, dalam bukunyayang bertitel Dirast Islamiyah menyaakan, “al-wahyu laysa kharij al-zaman tsabitan la yataghayyaru, bal dakhl al-zaman yatathawwaru bi tathawwurihi (wahyu bukanlah sesuatu yang berada di luar konteks yang kokoh tak berubah, melainkan berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan)[69]. Pernyataan Hasan Hanafi tersebut menegaskan sebuah tesisi bahwa Islam bukan wahyu yang jauh di langit yang terlepas sam sekali dari kenyataan konkret masayarakat. Islam tidak memulai ajarannya dari lembaran kosong. Islam bukanlah suatu creatio ex nihilo: ciptaan yang meloncat begitu saja dari ruang kosong. Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu adalah seseorang yang “diasuh” oleh lokalitas Arab waktu itu. Ia tidak terisolasi dari konteks.
Meskipun al-Quran merupakan kalam Tuhan, kenyataan menunjukan bahwa wahyu Tuhan itu telah memasuki pemukiman yang historis. Al-Quran adalah bagian dari fakta histori itu. Kaena kitab suci yan diyakini sebagai transkripsi firman Tuhan itu telah turun ke bumi, ia adalah fakta atau teks historis yang tunduk pada hukum kesejarahan. Pandangan di atas dikukuhkan oleh empat argumenberikut: pertama, Tuhan telah memilih bahasa manusia (baca: bahasa Arb) sebagai kode komunikasi antara Tuhan dan Muhammad.Di dalam proses komunikasi itulah pengujar menyatakan diri dengan cara pengungkapan yang khas. Semua literatur mengenai i’jaz – paling tidak sejauh menyangkut persoalan linguistik – menegaskan peran menentukan dari cara pengungkapan  ini dengan munculnya suatu kesadaran akan kitab yang diwujudkan dari ruang pikir masyarakat Arab dengan kelengkapan bahasanya itu.[70]
Kedua, keterlibatan Nabi Muhammad sebagai penerima pesan di satu sisi dan sebagai penafsir di sisi yang lain ikut menentukan proses pengujaran dan tekstualisasi al-Quran. Muhammad bukan sebuah disket, melainkan orang yang cerdas, maka tatkala menerima wahyu Muhammad ikut aktif memahami dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arabnya sendiri.[71] Karena itu, menurut Nashr Hamid Abu Zaid, tidak bertentangan jiika dikatakan bahwa al-Quran adalah wahyu Tuhan dengan teks Muhammad (Muhammadan text).[72]
Ketiga, prinsip gradualisme dna keberangsur-angsuran (al-tanjim) yang ditempuh al-Quran di dalam mencicil ajaran-ajarannya. Kalau kita amati proses penurunan al-Quran sampai dalam benutknya sebagai korpus resmi yang tertutup, proses-proses dialektika antara wahyu dan realitas kultural sangat terang benderang. Dalam kasus pelarangan khamr, misalnya, al-Quran menurunkan ayat yang berbeda sampai tiga kali dengan karakter evolutifnya yang cukup khas. Demikian pula dalam formulasi syari’ah. Adalah cukup beralasan jika dikatakan formulasi syari’a[73], sebagaimana sistem perundang-udnangan lainnya, mengikuti tahap-tahap perkembangan umat. Prinsip al-tadrij merupakan indikasi kuat, betapa alQuran itu tidak hidup di ruang yang hampa sejarah. Al-Quran hidup dalam air sejarah kemanusiaan yang khawadits. Tuhan berkarya dengan selalu mempertimbangkan dimensi-dimensi rasional yang mengantarainya, bukan datang bercuap dari atas bukit tanpa preseden. Bahkan prinsp al-tadrij bukan hanya berlaku di dalam agama Islam secara terbatas, melainkan hampir mengena pada sleuruh agama semitik yanglain.
 Keempat, sejak turunnya al-Quran telah berdialog dengan realitas. Banyak sekali peristiway yang mengiringi turunnya ayat dan yang merupakan jawaban atas pertanyaan umat waktu itu. Sangat sedikit ayat-ayat yang diturunkan tanpa adanya sebab eksternal. Al-Quran hadir mengikuti peristiwa-peristiwa baru yang muncul di tengah masayrakat. Respon yang diberikan kadang hanya satu potong ayat, atau beberapa ayat, bahkan dalam satu surat al-Quran. Tidak jarang al-Quran juga menjelaskan peristiwa khusus yang menjadi motif kehadirannya. Misalnya permulaan surat al-Anfal yang menjawab pertanyaan umat Islam perihal pembagian harta rampasa perang (ghazwu)[74]. Atau, seperti penjelasan al-Quran tentang darah haid perempuan yang menyebabkan tidak bolehnya hubungan seksual dialkukan[75]. Juga respons al-Quran yang khusus menyikapi keangkuhan Abu Lahab dan istrinya.[76]
Kalau saja kita jujur, terlampau banyak nomenklatur dan kosa kat al-Quran yangsecara terang benderang menunjukkan latar lokalitas kehadirannya. Pengambilan contoh binatang unta sebagai bahan perenungan eksistensial, begitu juga perumamaan sorga sebagai aliran-aliran mata air yang jernih merupakan bukti kuat bahwa lokalitas itu benar-benar tidak bisa disembunyikan. Unta adlaah binatang yang banyak berkeliaran di Arab dan bukan binatang yang mudah berkembang biak secara sempurna di tempat lain, Indonesia misalnya. Sementara penggambaran surga dengan mata air di sebuah jazira yang tandus dan kerontang jelas merupakan sesuatu yang menggiurkan. Namun, tidak dmeikian halnya bagi orang-orang yang hidup di kawasan yang curah hujannya sangat tinggi. Sekiranya al-Quran turun di daerah-daerah beriklim dingin, niscaya perumpamaan surga tidak akan begitu adanya.[77] Surga akan digambarkan sebagai sebuah pantai yang hangat, yang tiap harinya selalu dipancari sinar matahari yang menyehatkan dan membugarkan, yang merangsanga peluh keringat membasahi kulit-kulit tubuh yang lalu mengalir mengikuti tuntunan gravitasi, begitu menyegarkan. Apabila al-Quran turun di Meksiko misalnya, bisa saja semua redaksi unta itu diganti dengan kuda.
Dengan demikian jelaslah bahwa sudah merupakan kebutuhan yang mendesak bagi kita umat muslim yang tersadarkan lebih dulu agar mendobrak benteg kokoh yang dinamakan perisai teks-sentrisme itu. Hanya dengan penghancuran dan perombakan kembali serta menyeret nalar umat muslim ke semangat takwil dibandingkan tafsir, konteks dibaningkan teks, maka peradaban Islam yang hari ini bersifat ekslusif bisa perlahan-lahan menderapkan langkah menuju pintu inklusifisme, dimana wajah Islam akan kembali ramah dan santun terhadap modernisasi dan penyegaran-penyegaran tradisi. Hanya dengan cara ini, upaua merintis reinterpretasi dimana posisi kaum perempuan akan kembali diangkat untuk sejajar dengan laki-laki dapat tercapai. Sebab fenomena yang dimana nantinya akan terlihat, tatkala umat Islam berani dan percaya diri meninggalkan belenggu tradisi nenek moyang yang ternyata sama menyesatkannya dengan tradisi Jahiliyah, maka pada saat itu secara tidak langsung pondasi istana otoriterianisme teks, oligarki, fanatisme buta, esktremisme agama, fundamentalisme Islam, serta hegemoni patriarki inshaAllah akan hancur dan kita akan menyaksikan kebangkitan Islam sebagaimana kita akan bernostalgia di masa-masa keemasan Islam bersamaan dengan runtuhnya satu persatu puing-puing paradigma skriptualisme.

D.    DARI DEKONSTRUKSI[78] KE REKONSTRUKSI; MELETAKKAN TAUHID SEBAGI PONDASI NILAI

Henry Kissinger berkata: untuk perdamaian, peperanganpun akan sangat mungkin terjadi. Mari jangan kita maknai proposisi tadi secara harfiah, tapi itu adalah kiasan, bahwa dalam rezim yang didominasi oleh bayang-bayang kuasa patriarki dan kuasa teks atas umat manusia, rupanya secara tidak langsung telah mengkerangkeng gerakan feminisme untuk tumbuh kuat dan mengimbangi poros setan budaya yang begitu kejam. Perjuangan dalam upaya perlawanan harus senantiasa digalakan apapun harga yang mesti dibayar. Apabila ini dikatakan gagasan ideologis, maka mari kita sebut sebagai sebentuk ijtihad moral, sebab tidak pelak lagi perempuan di ruang publik baik itu dalam realitas maupun hyper-realitas, secara historis bahkan secara teologis, telah dicengkeram dan dipenjarakan oleh kesesatan berpikir yang telah menyejarah. Tak ayal lagi; perempuan yang dibicarakan diatas, adalah kaum-kaum musthad’afin, dan siapapun yang melekangkan penindasan serta kesewenang-wenangan di atas penderitaan fisik dan psikologis terhadap wanita, adalah mereka yang disebut thaghut, mutakkabirun, firaun, al-mala’ (penguasa atau aristokrasi), al-mutrafun (yang hidup mewah), al-dzalim (penguasa sewenang-wenang) dsb.
Maka dalam gerakan besar mensederajatkan harga diri, kehormatan serta luhurya martabat perempuan selaku manusia yang sama dengan makhluk laki-laki, upaya dekonstruksi menuju rekonstruksi gagasan, gerakan serta model strategi harus dilakukan secara terus menerus. Sebagaimana semangat zaman serta tantangan dan situasi serta kondisi yang selalu relatif dan tidak pernah sama, yang senantiasa bergulir mengiringi perubahan yang kekal (istilah Herakleitos), bahwa ide serta gerakan Feminisme harus senantiasa bersifat fleksibel, ramah terhadap kearifan lokal, radikal tetapi tidak fanatis seperti para takfiri, kritis tapi tidak ahteist, objektif tetapi tidak absolutis. Gerakan feminisme harus menjadi moderat, toleran, inklusif, persuasif, preventif dan malah tidak bersifat bengis seperti aliran-aliran pemikiran yang dia hancurkan sebelumnya. Sebab apabila itu terjadi, hanya akan membenarkan peribahasa: “dunia telah keluar dari kandang singa, akan tetapi menuju masuk ke kandang harimau”.
Reformulasi strategi dan taktik, tentunya harus dirintis lewat dekonstruksi terlebih dahulu. Upaya dekonstruksi berfungsi untuk mengurai problematika-problematika yang berkecamuk dalam wacana yang dibicarakan. Bukankah kita tidak bisa memberikan solusi tanpa masalah? Dalam arti yang lebih dapat dipahami: solusi hanya mampu digali ketika kita memahami secara kritis, objektif dan radikal masalah tersebut secara komprehensif, holistik hingga ke akar-akarnya yang paling dalam. Semain mendalm upaya dekonstruksi, semakin tajam analisis yang didapatkan, semakin kuat dan cemerlang konstalasi perumusan strategi dalam agenda besar rekonstruksi kembali spirit perjuangan feminisme.
Sebagaimana yang telah dibongkar lalu, bahwa dimensi epistemologis terhadap wacana kekerasan simbolik terhadap perempuan berkisar pada dua bidang telaah yakni secara kultural-historis dan secara teologis. Setelah kita hancurkan dogma-dogma yang menjamur tadi, maka tugas selanjutnya adalah menanamkan terlebih dahulu nilai-nilai Tauhid sebagai basis nilai Islam yang bersifat universal sebagai pondasi baru atas gerakan Tauhid Feminisme. Akan tetapi sebelum kita kesana, marilah kita bicarakan terlebih dahulu, gerakan feminisme yang sudah ada dan populer terlebih dahulu dibanding gerakan feminisme Islam, yakni feminisme yang lahir dari Liberalisme Barat.
Barangkali yang paling umum, adalah momentum revolusi industri, tentang tonggak loncatan paradigma feminisme. Pada sekitaran abad ke-18 itulah, perasaan muak perempuan sudah mencapai ambang klimkas dan tak tertahankan. Melihat bagaimana pola tatanan sosial tentang laki-laki dan perempuan yang mengalami gap begitu tinggi. Kecemburuan memuncak, ketika wacana tentang laki-laki yang telah sejak lama mendominasi ruang publik terutama sektor-sektor industri sedangkan perempuan didomestifikasi di rumah. Ketidakberdayaan kaum perempuan di tengah struktur dan kultur masyarakat industri inilah yang menjadi inspirasi munculnya gerakan feminisme. Setiap gerakan feminisme slalu mengandung suatu kesadaran feminis, yaitu kesadaran adanya perlakuan tidak adil terhadap perempuan, baik dalam ranah publik maupun domestik, serta tindakan sadar untuk mengubah kondisi tersebut oleh kaum laki-laki maupun perempuan. Sedangkan filsafat feminisme dapat dikatakan suatu cara berfikir yang menekankan pada pengalaman, identitas, serta cara berada dan berfikir perempuan dilihat sama seperti pria. Ataupun soal bagaimana berfilsafat dari sudut pandang perempuan.
Terdapat delapan ragam pemikiran feminisme, diantaranya : feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender, feminisme eksistensialis, feminisme postmodern, feminisme multicultural dan global, dan ekofeminisme. Feminisme liberal, memiliki tujuan umum untuk menciptakan masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang. Artinya hanya dalam masyarakat itu perempuan dan laki – laki dapat mengembangkan diri. Pendidikan yang setara dalam feminisme liberal, memungkinkan untuk mengembangkan kapasitas rasional dan moral. Selain itu, feminisme liberal juga mempermasalahkan mengenai penyetaraan hak politik dan kesempatan ekonomi antara perempuan dan laki-laki. Menurut Tylor, seorang perempuan harus memilih antara istri dan ibu , atau bekerja diluar rumah. Atau untuk menjadi partner dan bukan menjadi budak dari suaminya. Sehingga istri harus mempunyai penghasilan dari pekerjaan luar rumah. Perempuan harus memiliki hak pilih agar dapat menjadi setara dengan laki – laki . Feminisme liberal berkeinginan membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yakni peran yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah , atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan baik dalam akademi, forum, maupun pasar.
Masyarakat patriarkal mencampur adukkan seks dan gender , dan menganggap hanya pekerjaan – pekerjaan yang dihubungkan dengan  kepribadian feminin yang layak untuk perempuan, seperti : perawat, guru, pengasuh, asisten rumah tangga, dsb. Pemikiran bahwa bekerja diluar rumah atau mencari uang adalah tugas laki – laki sementara dirumah adalah tugas perempuan merupakan konstruksi gender dan bukan merupakan takdir, dalam arti dapat dinegosisasikan. Anggapan feminisme mendorong perempuan untuk single parent, seks bebas, dsb. Pemikiran feminisme lahir dalam konteks tertentu (budaya, agama , etnis, ras, sejarah) yang melingkupi perempuan yang hidup pada masyarakat itu. Hal ini sama seperti argument kaum feminis radikal-kultural yang menyatakan bahwa perbedaan seks/gender mengalir bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal.
Selain itu, ada anggapan bahwa feminisme berasal dari Barat, sehingga masyarakat (dalam hal ini masyarakat muslim) tidak perlu meniru, dalam hal ini nilai feminine nya yang berbeda. Dan perempuan harus credible diluar rumah, dan tetap menjadi ibu yang perfect (mengurus rumah, mendidik anak, melayani suami) . Anggapan feminisme barat identik dengan perempuan pecinta seks bebas, lesbianisme, bahkan membenci laki – laki. Hal ini dikarenakan gagasan feminisme telah berakulturasi dengan budaya Amerika serta Eropa yang memiliki kecenderungan rasional dan kurang menghormati sikap-sikap moral. Sehingga apabila dipaksakan feminisme ala Barat ini di peradaban Timur, sangat akan mungkin terjadi gap yang besar karena perbedaan budaya. Potensi xenophobia dan punahnya identitas peradaban sebagai kekayaan lokal, sangat mungkin terjadi. Peradaban Islam harus memberikan satu alternaif lain yang lebih jitu. Jangan sampai semangat feminisme Barat dijadikan referensi tunggal bagi kelompok-kelompok pejuang keadilan gender.
Dalam diskursus epistemologi, telah terpahami bahwa beda peradaban maka akan beda paradigma yang tertanam dalam kepala mereka. Selama ini, dunia telah terdikotomi oleh dua peradaban besar yang saling berebut dominasi global: peradaban Barat dan peradaban Timur. Ciri peradaban Barat adalah mereka terdiri dari negara-negara maju, memiliki teknologi yang mapan serta canggih. Sedangkan ciri peradaban Timur adalah terdiri dari negara-negara yang mulia, memiliki sistem etika dan kemapana moralitas yang dijunjung tinggi sebagai adab. Indonesia tergolong dalam peradaban Timur ini, yang juga ternyata merupakan negara dengan populasi mayoritas Islam. Diketahui bahwa Islam memegang peranan yang begitu sentral dalam perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia hingga hari ini. Lantas, bagaimana kemudian feminisme bisa digalakan di Indonesia, dan peradaban Timur secara umum tentunya apabila ternyata secara episteme rupanya akar budaya dan akar historis Barat tidak sesuai (tidak klop) dengan kita.
Wacana peradaban in sangat menarik dan gamblang ditemukan pada pemikiran Michael Foucault – terlepas dari kontroversi yang membanjiri sosok pribadinya. Yang menakjubkan dari pemikiran Foucault di sini ialah apa yang disebutnya sebagai “diskontinuitas” (patahan, ambang, keretakan, rupture, break). Foucault mengatakan bahwa setiap peradaban adalah khas, unik, tersendiri, karena kekhasan episteme itu. Dan, kekhasan setiap episteme dan peradaban itu lahir karena gerakan “diskontinuitas” itu. Soal apakah diskontinuitas itu menghasilkan sesuatu yang lebih baik atau tidak, titu bukan poin utama Foucault. Tetapi hanya melaui diskontinuitas itulah, babakan perdaban manusia terus bergulir.[79]
Dengan kata lain, jika ada sebuah wajah kuat peradaban yang tidak menempuh diskontinuitas itu, maka peradaban itu akan mati. Episteme-nya macet. Sehingga, agar peradaban tidak mati, maka dibutuhkan diskontinuitas itu, yang dipicu oleh menyeruaknya “diskursus”. Bagi foucault, diskursus bukanlah sekedar wacana, tetapi pengetahuan-pengetahuan yang berbeda dengan arusutama episteme itu. Semakin menguat diskursus itu, maka akan semakin mendorong lahirnya diskontinuitas. Seiring dengan runtuhnya episteme lama akibat desakan diskursus-diskursus yang memicu diskontinuitas itu maka diskursus itu akan menduduki kursi episteme baru, yang lantas menjadi peradaban baru itu pula. Inilah yang menjadian setiap babak peradaban sedemikian unik dan khasnya.[80]
Bagaimana lalu idealnya proses diskursif ini mampu merangsang diskontinuitas demi terbukanya gerbang gerakan feminisme alternatif? Mari kita kembali menengok pemikiran Cak Nur, dalam magnum opus yang dipersembahkan secara khusus kepada HMI. Dalam Nilai Dasar Perjuangan, Cak Nur berujar bahwa manusia adalah makhluk percaya (homo religius) maka dengan itu manusia mebutuhkan tata nilai untuk menopang kehidupannya dalam tatanan sosial dan budaya. Tata nilai tersebut akan melembaga dalam tradisi-tradisi. Tradisi-tradisi yang mengakar inilah yang akan menjelma menjadi episteme dalam terminologi Foucault. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Di sinilah terdapat kontradiksi: kepercayaan diperlukan sebagi sumber tata nilai guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.  Perumusan kalimat Persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu: Tidak ada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “tidak ada Tuhan” meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “selain Allah” memperkecualikan kepercayaan kepada satu kebenaran. Dengan peniadaan itu, dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada Ukuran Kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai. Hal itu berarti tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut “Islam”.[81]
Sehingga dalam rangka mengimbangi hegemoni paradigma feminisme Barat, feminisme yang hendak kita tawarkan kepada dunia dan umat manusia tentunya adah feminisme Islam, yang berpondasikan nilai-nilai dasar Tauhid. Teolog feminisme ini selaras dengan gagasan teologi pembebasan, dimana perempuan dalam konteks ini, merupakan kaum yang termarjinalkan (musthad’afin), sedangkan Allah telah berjanji untuk selalu berada di pihak mereka yang tertindas. Berangkat dari dekonstruksi dan pembacaan atas peta situasi global maupun nasional hari ini, maka Tauhid Feminisme tidak ayal lagi merupakan suatu hal yang mendesak.
Dalam upaya perubahan sosial , maka yang pertama-tama perlu kita buat adalah road map perjuangan Tauhid Feminisme dalam rangka memberantas kekerasan perempuan di ruang publik. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan, pertama, merancang tata nilai sebagai basis acuan aksiologis; kedua, melakukan rekayasa paradigma; ketiga, merangsang atau mendorong kelahiran the great intellectual giant beserta agen-agen perubahan sosialnya; keempat, pendekatan institusional; kelima, Hegemoni ruang publik; keenam, revitalisasi KOHATI sebagai rumah perjuangan dan rahim gerakan Tauhid Feminisme: HMI beserta KOHATI harus tampil selaku institusi yang memprakarsai Tauhid Feminisme.
Pertama, merancang tata nilai merupakan hal yang krusial dan sangat vital. Bukankah tadi sudah diingatkan oleh Cak Nur, bahwasanya tata nilai yang salah akan meahirkan tradisi yang salah dan menghambat pembaharuan menuju kebenaran dan kebaikan. Sehingga merancang kembali tata nilai sebagai landasan filosofis perjuangan feminisme adalah urgent sifatnya. Dikarenakan Tauhid Feminisme adalah gerakan yang berepistemologi dari Islam, maka tata nilai yang dimaksud haruslah berasal dari Islam.
Gerakan feminisme sejatinya merupakan gerakan yang menuntut keadilan jender. Sedangkan paradigma Barat, memiliki kecenderungan menghendaki kesetaraan. Padahal sesungguhnya, nalar kesetaraan dan nalar keadilan itu berbeda. Kesetaraan adalah memberian semua orang hak yang sama terlepas dari diferensiasi kerja, usia, maupun produktifitasnya. Contohnya: ayah memberikan jajan 5 ribu kepada masing-masing anaknya yakni anak sulung di bangku perkuliahan dan anak bungsu di bangku SD. Apakah itu setara? Tentu saja setar, akan tetapi apakah itu adil? Tentu saja tidak. Adil itu sendiri menurut Ali bin Abi Thalib, adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dikarenakan kebutuhan seorang anak SD dan seorang mahasiswa itu jauh berbeda, maka harusnya jajan yang diberikan orang tua juga berbeda nominalnya. Bisa saja uang 5 ribu itu cukup untuk jajan anak SD, akan tetapi, mungkin saja akan sangat-sangat kurang bagi seorang mahasiswa dengan kebutuhan perkuliahan serta kost-kostsan yang begitu tinggi.
Logika feminisme Barat dibangun atas dasar nalar kesetaraan. Sehingga jangan heran, apabila terkadang kalian melihat demonstrasi-demonstrasi feminisme Barat yang terlalu radikal dan bahkan ekstrem di mata kita orang-orang peradaan Timur. Contohnya adalah demonstrasi perempuan di jalanan New York yang menuntut kesetaraan, dalam keadaan topless, atau dada terbuka. Mereka beranggapan bahwa kalau laki-laki saja bisa berjalan di tempat umum dengan tanpa baju, lantas mengapa perempuan tidak? Hal lainnya, misalnya lihatlah berita pada hari perempuan internasional tahun lalu. Seorang perempuan memanjat patung Bunda Maria dalam keadaan telanjang, sambil berteriak “Tuhan adalah perempuan!” Hal ini dikarenakan pemberontakan feminisme Barat berakar dari tekanan hegemoni patriarkal yang begitu represif, sehingga tekanan balik yang dilakukan (feedback) itu kemudian berlaku secara ekstrem dan kadangkala tanpa memperdulikan pentingnya tatanan nilai. Sehingga tidak sedikit feminisme Barat yang melakukan contra-hegemoni dengan cara balik mengeksploitasi dunia maskulinitas. Lantas apabila kita mencemooh dominas maskulinitas adalah suatu hal yang buruk, kenapa kemudian kita harus melawan dengan cara yang sama-sama jahat yakni malah balik mendominasi serta mengeksploitasi maskulinitas?
Bukan feminisme seperti itu yang hendak saya tawarkan kepada dunia. Feminisme Islam, sebaliknya – atau mungkin kontras – lebih menitikberatkan pada konsep tentang keadilan. Islam sebagai agama pelengkap peradaban sebelumnya, sangat memperhatikan porsi keadilan dalam prakteknya. Namun secara lebih ringkas, mari kita gunakan penegasan keadilan jender yang disimpulkan oeh Nasaruddin Umar[82]:
1.      Laki-laki dan perepmpuan sama-sama sebagai hamba. Salah satu tujuan penciptaan manusia dan makhluk lainnya adalah mengabdi dan menyembah kepada Allah (QS Al-Nahl (16):97).
2.      Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah Allah di bumi.  Manusia diciptakan di bumi sebagai khalifah (pengganti, pengurus) Allah untuk membangun dan memakmurkan bumi (Al-Baqarah (2): 30)
3.      Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial. Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah langsung dari Tuhan dalam perjanjian primordial. Firman Allah menyebutkan perjanjian ini berlangsung antara “anak-anak Adam” dan Tuhan. Islam tidak mengenalkan diskriminasi jenis kelamin, laki-lai dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan (QS al-A’raf (7):172).
4.      Adam (laki-laki) dan Hawa (perempuan) sama-sama terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Semua ayat yang menceritakan darama kosmis selalu menekankan kedua belah pihak (Adam danHawa) secara aktif terlibat dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (huma): (a) keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas didalamnya (QS Al-Baqarah (2):35); (b) Kedua-duanya sama-sama mendapat godaan dari syaitan (bukan Hawa/perempuan yang menggoda Adam/laki-laki dan yang menybeabkan mereka terjerumus) (QS al-A’raf (7):20; dan, (c) sama-sama memakan buah dari pohon yang dilarang oleh Alah, pelanggaran ini dilakukan berdua atas dasar tipu daya syaitan, bukan karena godaan dari Hawa (QS al-A’raf (7):22
5.      Laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi, tidak ada kemuliaan dan penghargaan yang didasarkan pada pertimbangan satu jenis kelamin (QS Ali-Imran (3):195).

Langkah selanjutnya adalah melakukan rekayasa paradigma, yakni pembentukan pola pikir. Hal ini dilakukan dengan cara pencerdasan dan diskusi kritis yang intensif. Dimulai dari kelompok-kelompok kecil terlebih dahulu, katakanlah itu Forum Group Discussion (FGD). Jalaludin Rakhmat mengatakan bahwa sebelum dilakukannya rekayasa sosial, masyarakat perlu untuk terlebih dahulu dijernihkan pikiran mereka dari kesesatan-kesesatan berpikir (fallacy of logic) dan mitos-mitos anti perubahan sosial (mitos deviant dan mitos trauma).[83] Sasarannya tentu saja adalah masyarakat sebagai amunisi dari perubahan sosial itu sendiri. Program rekayasa sosial ini juga bisa dilakukan dengan car-cara seperti agitasi dan propaganda. Propaganda tidak hanya berkonotasi negatif seperti yang seringkali dibicarakan. Propaganda bertujuan untuk mempengaruhi massa baik dengan cara emosional, psikologis maupun rasional namun lewat penyampaian yang sekompleks mungkin. Sedangkan agitasi adalah mempengaruhi segelintir individu dengan ide-ide serta konsep yang lebih besar dan mendetail.
Ketiga, teori tentang great individuals (manusia-manusia besar yang mengubah sejarh), sedangkan Murtadha Muthahhari menggunakan nama teori peran besar intelektual (theory of intelectual Giants), dikemukakan oleh beberapa orang. Thomas Carlyle adalah satu dari beberapa orang tersebut. Thomas Carlyle memandang sejarah sebagai biografi dari manusia-manusia besar. Dia mengatkan “sejarah universal merupakan sejarah apa yang telah dicapai oleh umat manusia di dunia dan pada dasarnya adalah sejarah manusia besar yangsudah bekerja di dunia”. Lebih lanjut, Carlyle mengatakan bahwa manusia besar adalah jiwa dari seluruh sejarah umat manusia. Pada salah satu bagian dari buku yang dia tulis, dia menulis tentang Rasulullah, The Hero as The Prophet, Pahlawan sebagai Nabi. Pada bagian ini Carlyle mengutip sebuah puisi:
Bagi bangsa Arab
Kelahiran Muhammad adalah kelahiran dari kegelapan kepada cahaya
Arabia untuk pertama kalinya hidup karena kehadirannya
Bangsa-bangsa gembala yang miskin yang terasing di sahara sejak terciptanya dunia
Seorang nabi pahlawan dikirimkan kepada mereka
Dengan firman yang mereka percaya
Lihat bagaimana gembala-gembala yang tak dikenal menjadi penguasa dunia
Bangsa yang kecil tumbuh menjadi bangsa yang besar
Dan dalam satu abad sesudah itu Arabia memanjang sejak Granadha sampai New Delhi
Cemerlang dalam segala cahaya dan kebesaran Arabia menyinari abad-abad panjang pada bagian besar dunia
Imam memang besar dan memberikan kehidupan
Sejarah satu, bangsa menjadi tumbuh subur
Menaikkan jiwa besar segera setelah bangsa itu percaya kepada orang Arab
Orang ini –Muhammad- dan satu abad saja
Bukankah ini sebuah percikan yang jatuh dari langit
Kepada dunia padang pasir yang tidak dikenal dan kelabu
Dan lihatlah padang-padang pasir itu berubah menjadi amunist yang meledak
Dan sinarnya naik ke langit sejak Delhi hingga Granadha[84]
Sementara Barat mulai menaungi dirinya dalam sebuah perbaikan kesempatan, keterlibatan dan partkularitas yang bersifat politis, arah yang sangat berlawanan kiranya perlu untuk lahir di dunia, untuk menghasilkan keseimbangan totalitas perwujudan spiritual. Ini berlangsung dalam revolusi Timur yang menghancurkan semua partikularitas dan ketergantungan m dan dengan sempurna memberishkan kemurnian jiwa dan perilaku.[85] Beitulah pernyataan dari Hegel, seorang filsuf idealisme, ketika menyinggung keberhasilan Revolusi Timur yang kembali digaungkan oleh baginda Rasulullah saw.
”And I said: The great man always acts like a thunder. He storms the skies, while others are waiting to be stormed.”[86] Aku katakan bahwa manusia besar selalu seperti halilintar yang membelah langit, dan manusia lain hanya menunggu dia seperti kayu bakar. Inilah teori the great man dari Thomas Carlyle. Jadi manusia besar seperti percikan api yang membakar kayu bakarkemudian meledak dan mengubah sejarah dalam waktu yang singkat.
Sesungguhnya secara relatif, dalam setiap masyarakat senantiasa ada minoritas yang pikirannya kreatif. Kelompok minoritas ini mempunyai prakarsa, pikiran-pikirannya orisinal, dan berada di depan dibanding yang lainnya. Kelompok minoritas inilah yang membawa kemajuan sejarah dan membawa sejarah ke tahap yang baru.[87]
Jalaludin Rakhmat membagi, bahwa da tiga macam tipe individu di tengah-tengah masyarakat. Pertama, ada ordinary people (manusia-manusia biasa) seperti kita yang membentuk jaringan-jaringan sosial. Masyarakat sebenarnya terdiri dari sekian banyak ordinary people. Kita tidak bisa memasukan mereka sebagai individy besar untuk mengubah sejarah. Kedua, exceptional actors, yaitu tokohtokoh yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Mereka bisa berbuat apa saj dan mempunyaikearifan yang dalam. Mereka bisa memahami apa yang dibutuhkan masyarkat di sekitarnya. Exceptional actors ini termasuk para nabi, pembaru dan tokoh sejarah besar. Mereka mempunyai sesuatu yang istimewa yang membedakannya dengan manusia lain. Tipe terakhir, adalah orang-orang yang berada di atara kedua tipe tadi. Orang seperti ini tidak mempunyai kebijakan dan pengetahuan seperti yang dimiliki oleh exceptional actors, tetapi mereka menduduki posisi penting di masyarakat. Karena itu mereka biasanya disebut holders of exceptional positions. Seseorang, misalnya, yang memiliki kearifan yang rendah tiba-tiba menjadi presiden. Maka dia pun akan ikut menentukan jalannya seharah dan dapat mempengaruhi proses perubahan sosial. Bahkan sekiranya dia buta huruf seperti seorang kaisar di Afrika, dia dapt menentukan jalannya sejarah, paling tidak untuk di negerinya sendiri. [88]
Umumnya pemimpin-pemimpin di daerah-daerah tertentu bodoh-bodoh karena yang terlalu pintar jarang diterima dalam sistem yang demokratis. Kenapa? Kecerdasannya melampui zamannya. Kalau anda ingin memerintahbangsa kambing, kualitas anda harus setara dengan kualitas kambing juga. Kalu kualitas anda harimau, kambing-kambing akan lari, tidak akan mengambil anda sebagai pemimpin. Kalau bangsanya bangsa singa, pemimpinnya juga harus singa.
Lalu apa yang dilakukan oleh great individuals itu untuk mengubah sejarah dan melaksanakan rekayasa sosial? Ada senarai type of actions yang dilakukan oleh manusia. Sebagai anggota masyaraakat kita berada dalam sebuah spektrum dari private actions, tindakan orang yang mempengaruhi secara pribadi tetapi tidak begitu banyak menimbulkan perubahan sosial, sampai tindakan bersama (collective actions) yang tidak terorganisir dan tidak terkoordinasikan. Kalupun sampai terorganisir, biasanya dilakukan dengan cara yang buruk. Kerusuhna-kerusuahn juga menimbulkan perubahan sosial, tetpai tidak berdampak besar kepada masyarakat sebagai bangsa. Collective actions ini biasanya dilakukan oleh social movement (gerakan-gerakan sosial). Tindakan yang lebih bisa mengubah lagi adalah tindakan yang sudah terorganisir, terencana dan sudah disiapkan sebelumnya. Dalam isitlah Bung Karno, ada yang dikenal dnegna pembentukan kekuatan dan pemanfaatan kekuatan. Ada sebuah organisasi sosial yang mengorganisasi rencana-rencana mereka membentuk kekuatan dan memanfaatkan keuatan itu. Tindakan yang paling akhir adlalah tindakna-tindakan politik (political actions).[89]
Kita dapat mengukur kebesaran seseorang dari sejauh mana kebesarannya itu membayangi generasi sesudahnya. Beberapa orang menentukan jalannya sejarah untuk waktu yang cukup lama sampai berabad-abad lamanya. Mereka memberikan bekas yang abadi di dalam jejak-jejak sejarah, lasting imprint in history, seperti Muhammad, Yesus, dan lain sebagainya. Ada juga orang besar yang hanya berpengaruh sebentar saja. Kita menyebut mereka dengan panggilan trendsetter. Terkadang pengaruh itu pun hanya terdapat dalam satu bidang saja, mode atau fashion misalnya. Sedangkan manusia besar atau great individual disini, maksudnya adalah manusia yang mampu merubah seluruh aspek hidup manusia. Karena keseluruhan aspek hidup manusia dimulai dari paradigma, maka manusia besar adalah dia yang mampu menciptakan atau merubah paradigma masyarakat yang pada akhirnya mampu melahirkan peradaban.
Dari segi spasio atau temporal, dampak pengaruh individu itu pun ada yang terbatas. Soeharto, misalnya, hanya berpengaruh di Indonesia saja, sementara orang lain, seperti Hugo Chaves, memperoleh kebesaran yang mencakup seluruh wilayah dunia karena kebesarannya yang menolak kapitalisme Amerika. Sedangkan dari segi temporal, bisa saja tokoh politik atau ekonomi atau budaya yang hari ini kita agung-agungkan, pada beberapa tahun kemudian akan kita kritisi dan terlupakan dalam sejarah. Dalam artian, terkadang tokoh besar yang kita anggap great individuals hanyalah ilusi yang sengaja diciptakan oleh tokoh tersebut demi ambisi pribadi mereka. Berbeda halnya dengan Muhammad atau Yesus yang kebesarannya, serta inovasi dan kecerdasannya masih dipandang dan dihormati lewat pengakuan-pengakuan secara meluas di seluruh dunia dan oleh kebanyakan manusia. Terlepas dari kenyataan bahwa kedua tokoh tersebut adalah founding leaders sebuah agama, mereka telah menciptakan karua-karya intelektual dan warisan inovasi tersebut telah berhasil menuntun umat manusia untuk membangun sebuah peradaban besar.
Di dalam sejarah pun ada dua macam alur yang terjadi yakni objektive consequences (akibat-akibat objektif yang ditimbulkan, yang tidak direncanakan) dan akibat yang sudah direncanakan dan dimaksudkan oleh manusia besar itu. Kadang-kadang apa yang direncanakan oleh manusia besar sesuai dengan akibat-akibat yang terjadi. Misalnya Ronald Reagen merencanakan agar Amerika bangkit kembali sebagai Rambo di dunia ini. Apa yang dicita-citakan oleh Reagen sebagai manusia besar pada tingkat tertentu menampilkan model yang kita sebut the coindence between intention and consequences, kesesuaian antara rencana dengan akibat yang terjadi, atau kesesuaian antara ekspektasi dan akibat objektif.
Jalaludin Rakhmat mengatkan bahwa umumnya manusia besar lahir karena terjadi satu peristiwa besar yang tidak diharapkan terjadi, atau tidak sesuai dengan ajaran yang dianut secara umum waktu itu. Jadi ada peristiwa penentangan arus. Marx, misalnya mencita-citakan dengan gagasan-gagasannya sebuah masyarakat yang humanistik yang menghargai orang-orang kecil (proletar) yang membela kelompok tertindas (mustad’afin). Tetapi kemudian yang dihasilkan oleh konsep Marx adalah sebuah negara yang totaliter dan menindas. Jadi, antara intention dengan consequences tidak selalu sama. Bahkan sebagian orang tidak merencankannya sama sekal. Ada sebagian orang yang menjadi besar setelah meninggal dunia. Pada saat dia hidup, dia tidak mendapatkan penghargaan sama sekali. Misalnya James Watt yang menemukan mesin uap, atau Christoper Colombus yang menemukan benua Amerika. Colombus sama sekali tidak pernah merencanakan akan melahirkan sebuah super-power di belahan dunia itu.[90]
Terkadang perubahan sosial atau gerakan sejarah terjadi diluar rekayasa manusia, yang dalam sub-bab ini terjadi diluar kehendak sang manusia besar. Di dunia Islam, peristiwa kekalahan Marwan bin Muhammad, Khalifah Bani Umayah terakhir, merupakan contoh bagus mengenai bagaimana suatu kebetulan mengintervensi nasib sejarah. Dalam pertempuran terakhirnya melwan kaum Abbasiyah, dia sangat kebelet kencing lalu dia pergi kencing ke suatu tempat. Secara kebetulan, seorang tentara musuh melewati tempat itu dan melihat Marwan tengah sendirian, tentara musuh itu lalu membunuhnya. Berita bahwa Marwan telah terbunuh menyebar dengan cepat di kalangan tentaranya, seperti kobaran api yang tidak terkendali. Karena kejadian ini tidak terduga, tentara Marwan menjadi patah semangat, lalu mengambil langkah seribu. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayah. Mengenai peristiwa ini dikatakan, “sebuah kerajaan jatuh gara-gara kencing”[91].
Dengan demikian dapat ditarik satu kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak mutlak terjadi atas kehadiran manusia besar tersebut. Akan tetapi tentu saja dalam konteks rekayasa sosial, manusia besar merupakan suatu keharusan yang mesti ada. Sebab masyarakat tidak memiliki personalitas, masyarkat hanya menyimpan semangatnya masing-masing sesuai dengan zaman dimana mereka tingal (zeitgeist), dan semangat tersebut dipersonalisasikan atau direpresentasikan oleh seorang tokoh besar sebagai cerminan semangat tersebut. Dengan demikian sejarahlah yang menciptakan tokoh, bukan sebaliknya. Montesquieu mengatakan, “Orang besar dan peristiwa penting merupakan tanda dan akibat dari peristiwa yang lebih penting dan lebih besar.” Hegel berkata, “Orang besar tidak menciptakan sejarah, melainkan membidaninya.” Orang besar merupakan simbol, bukan penyebabnya. Menurut pemikiran orang-orang yang seprt Durkheim, percaya bahwa semangat kolektif merupakan hal pokoknya dan bahwa individu-individu seperti itu sama sekali tidak mempunyai personalitas dan mereka meminjam personalitas mereka dari masyarakat, maka individu-individu seperti tokoh-tokoh besar tidak lain adalah manifestasi semangat kolektif masyarkaat. Dalam kata-kata Mahmud Syabistari, mereka adalah kasa jendela semangat kolektif.
Tiap masyarakat, di wilayah tertentu dan waktu tertentu mengidap harpaan serta keyakinan yang secara otomatis lahir dari realitas sosial yang ada. Ekspektasi masyarakat tersebut kemudian terkristalisasi atau terhimpun dalam sebuah ideologi kelas. Ideologi kelas membutuhkan simbolisasi-simbolisasi seperti tokoh sebagai representasi ideal dan konkrit atas kehendak kelas. Soekarno lahir sebagai cerminan refleksif atas kehendak sosial yang mendamba-dambakan revolusi dan dekolonialisasi. Marx merupakan cerminan refleksif atas keinginan kaum proletar atas ketertindasan para pelaku ekonomi dimana sirkulasi modal hanya berputar dan terkonsentrasi pada mereka. JJ Rousseau merupakan representasi masyarakat yang ingin menghidupkan warna partisipatif dalam perjalanan negara. Muhammad adalah cerminan keinginan dan harapan seluruh umat manusia, sebagaimana yang beliau katakan: “tidak diturunkan aku kecuali untuk menyempurnakan budi luhur manusia”.
Sehingga dalam diskursus rekayasa sosial, harus ada upaya-upaya strategis untuk mendorong terlahirnya manusia besar tersebut. Aktor rekayasa sosial harus mengetahui ketertindasan seperti apa yang tengah dialami rakyat, dan wajib menggali semangat yang bisa melatarbelakangi transformasi sosial tersebut. Ketika sebab-sebab telah terkumpul, maka selanjutnya adalah membuat simbolisasi-simbolisasi dan melekatkannya pada seseorang yang dinilai mampu untuk mewakili semangat masyarakat. Sedangkan dalam konteks gerakan Tauhid Feminisme, yang lantas layak menjadi representasi untuk ditokohkan sebagai perempuan yang mewakili semangat seluruh perempuan yang tertindas. Meskipun begitu tidak juga menutup ruang bagi partisipasi laki-laki dalam agenda besar rekayasa sosial ini. Hanya dengan cara seperti itulah, rekayasa sosial berhasil menciptakan sebuah revolusi. Yang dalam konteks ini, marilah kita sebut dengan Revolusi Kelemahlembutan.
Keempat, pendekatan institusional bermakna bahwa Institusi harus menjadi subjek yang ikut mempengaruhi terwujudnya ekspektasi para Jihaders Feminisme. Teori Montesqieu menjelaskan bahwa suatu negara yang ideal harus mempraktekkan sistem pemisahan kekuasaan (separations of power), teori itu dikenal dengan nama Trias Politica. Kekuasaan negara setidaknya harus terbagi menjadi kekuasaan Eksekutf, Legislatif dan Yudikatif. Peran perempuan selanjutnya adalah memasuki dan menjadi bagian dari institusi-institusi tersebut. Langkah masuknya bisa dengan dedikasi maupun kompetisi. Hanya saja jangan sampai paradigma yang digunakan dalam kompetisi adalah paradigma tentang superioritas jender seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya. Satu-satunya motif untuk merebut institusi bukanlah mengalah dan mempermalukan kaum laki-laki, begitu juga bagi kaum laki-laki, juga harus memberikan ruang, peluang dan kesempatan sebesar-besarnya kepada perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam sistem.
Bukan dalam artian, kekuasaan dari institusi itu merupakan tujuan utama gerakan feminisme kita. Cak Nur berkata, bahwa kekuasaan atau dalam konteks ini; institusi, hanyalah sarana, bukan tujuan. Termasuk keberhasilan dalam kehidupan lahiriah itu ialah keberhasilan dalam memperoleh kekuasaan politik. Kekuasaan politik bukanlah tujuan akhir perjalanan hidup kita menuju kebahagiaan, baik pribadi maupun bersama. Kekuasaan politik hanyalah sarana untuk mempermudah mencapai tujuan itu. Karena itu junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. pun, setelah berhasil membebaskan Makkah dari kam musyrik Qruraish, diperintahkan Tuhan untuk bertasbih memuja-Nya dan memohon ampun kepada-Nya. Yaitu, untuk meningkatkan diri kepada dataran nilai kehidupan yang lebih hakiki, sebagaikelanjutan dari kesuksesan beliau meletakkan prasarana kehidupan sosial-politik.[92]
Kelima, hegemoni ruang publik. Bahwa berangkat dari pembahasan yang panjang lebar tadi, realitas sesugguhnya terbagi atas dua yakni realitas secara empirik dan hyper-realitas atau realitas semu. Konsep ruang publik dalam dua jenis realitas tersebut juga berbeda-beda. Yang jelas, dalam prinsip hegemoni ala Antonio Gramscy, dalam upaya hegemoni diperlukan dua agen yang akan menjadi pionir dari dominasi sosial: agen intelektual dan agen moral. Gerakan Tauhid Feminisme harus membentuk semacam pola pendidikan dan pelatihan yang mapan agar kedua agen ini dapat muncul ke permukaan, mereka ditokohka dan dipercayai oleh masyarakat secara umum selaku sumber referensi. Secara tidak langsung merekalah yang memegang otoritas atas perubahan.
Kedua agen tersebut, harus selaras dengan Manusia Besar yang dikonsepkan tadi. Bahwa mereka memiliki keberpihakan terhadap gerakan Tauhid feminisme memang sudah jelas harus ada, akan tetapi satu hal yang perlu diingat mereka juga harus punya akses secara langsung dengan masyarakat selaku sasaran hegemoni. Pemanfaatan ruang publik harus digunkan seefektif mungkin. Dalam konteks ke-HMI-an, sudah terlampau terpatri pada mindset kader, bahwa untuk melakukan perubahan, kau setidaknya harus menjadi penguasa atau tidak pengusaha. Pola berpikir yang struktural tersebut mungkin cocok untuk zaman Orde Baru dimana arus globalisasi dan terjangan informasi belum begitu deras melanda umat manusia. Akan tetapi, di era virtual ini, doktrin yang tertanam dalam alam bawah sadar tersebut harus dirombak, dan direaktualisasi dengan berbagai macam cara.
Salah satu prinsip dari globalisasi yang paling penting, adalah, barangsiapa yang menguasai informasi maka dia yang memegang kendali globalisasi, dialah yang memegang opini publik. Gerakan Tauhid feminisme, selain harus menarget institusi politik-ekonomi, juga harus menaruh konsentrasi pada media massa. Pola berpikir, rekayasa opini, agenda setting, tidak lain tidak bukan merupakan inisiasi dari para boss-boss informasi. Ketika HMI sedang keasyikan menikmat euforia karena telah berhasil mencapa posisi-posisi struktural di institusi politik dan telah merambah dunia enterpreuner dan tidak jarang menjadi tokoh-tokoh kapitalisme, mereka dapat dengan mudah digulingkan lewat kekuatan informasi sebab satu-satunya kekuatan di negara demokrasi, adalah opini publik, yang hanya dapat dikontrol lewat manajemen issue yang hanya mampu digerakkan media massa.
Keenam, KOHATI harus menjadi panglima yang berada di garda depan perjuangan Teologi Feminisme. KOHATI harus memaksimalkan fungsinya dalam sistem serta pola perkaderan yang lebih progresif. Hal ini, salah satunya dapat ditempuh ketika dilakukan restrukturalisasi terhadap sistem dalam hubungannya dengan HMI sebagai organisasi induk. Harus diakui, pola sistem koordinasi dan komunikasi dalam organisasi kita, masih kental dengan aroma patriarki. Lihaltalh dalm beberapa cabang, telah menjadi preseden bahwa seorang ketua KOHATI haruslah menjadi kabid Pemberdaya Perempuan. Hal ini secara tidak langsung telah menegaskan hubungan KOHATI dengan HMI bersifat subordinat atau vertikal, dimana HMI secara hierarkis berada lebih tinggi. Hal ini harus dirombak kembali. KOHATI harus menjadi partner dalam perjuangan gerakan feminisme, bukan malah kesannya dikooptasi atau (mohon maaf) dikapling oleh HMI. Walaupun memang benar KOHATI merupakan bagian dari HMI, akan tetapi secara institusional, idealnya terpisah sehingga pola jaringan komunikasi dan koordinasi tidak seakan-akan terpusat dan dibawah bayang-bayang kuasa sang induk.


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Selaku makhluk berpikir, yang memiliki potensi terhadap dinamika wacana, manusia senantiasa berlaku sebagai penafsir. Hanya saja, bisa jadi kita akan terhimpit pada dua hal. Apakah kita adalah bagian dari masalah? Ataukah kita adalah bagian dari solusi? Beberapa orang memilih untuk diam, mereka berujar: kalau aku tidak bisa menjadi bagian dari solusi, aku tidak perlu untuk menjadi bagian dari masalah juga. Tipikal orang-orang yang cuci tangan seperti ini, biasanya hanya akan menjadi penonton atau penumpang gelap (dark passenger) dalam perubahan sosial. Sebab sederhana saja, orang yang melakukan kedzaliman, dan orang yang membiarkan kedzaliman terjadi – sedangkan dia punya kuasa untuk mencegah itu untuk tidak terjadi – adalah dosa sosial yang sama-sama berat.
Upaya untuk melebur dalam gerakan alternatif, ditengah kejumudan feminisme dan semakin maraknya kecurigaan publik bahwa feminisme malah berindikasi menuju hal-hal yang kontraproduktif, akhirnya terhembus angin segar dari proses pemerasan ide-ide serta gagasan yang sebenarnya hanya menggali kembali, nilai-nilai yang sudah ada, yang telah disosialisasikan oleh Nabi Muhammad sekitar empat belas abad silam: gerakan itu bernama Tauhid Feminisme.
Melihat kondisi ruang publik yang begitu dinamis dan tak lekang oleh retakan peradaban (diskontinuitas). Tidak bisa kita melihat permasalahan dengan kacamata kuda. Elaborasi dan eksplorasi khazanah pemikiran merupakan suatu keharusan, meskipun begitu tidak menggugurkan Tauhid sebagai titik acuan dari basis nilai Feminisme yang hendak ditawarkan. Apalagi dengan kenyataan ilmiah bahwa Tauhid memantapkan nilai yang berlaku secara universal, sehingga pola bangunan apapun yang dibangun di atasnya, selama selaras dengan tujuan keadilan, kebenaran dan kebaikan, niscaya tidak akan roboh. Perspektif yang digali memang beragam, dari pemikir Barat, Timur, Utara, Selatan, Filsafat, Antropologi, Psikoanalisa, Orientalisme, dan lain sebgainya. Hal ini diperlukan mengingat ilmu pengetahuan yang semakin kompleks, mulai bersinggungan satu sama lain. Bagaikan keping-keping puzzle yang berserakan. Apabila kita berhasil menyusunnya secara benar lewat pikiran-pikiran kreatif, tidak pelak lagi, akan muncul solusi atas problematika yang hadir dalam konteks keperempuanan ini.
Analisis atas kekerasan simbolik terhadap perempuan di ruang publik ini, tidak hanya terbatasi di aspek-aspek domestik saja. Kebanyakan analisis feminisme, itu berputar di permasalahan kesempatan hak dan kewajiban jender di era industialisasi. Tetapi masih sedikit yang menyenggol wacana tentang hyper-realitas, dunia virtual, dunia semu dimana batas-batas antara nyata dan tidak nyata mulai memudar. Di era posmodernitas inilah, informasi menjelma jadi amunisi dan senjata adalah media. Dengan kata lain, gerakan Tauhid Feminisme tidak boleh gaptek. Dalam artian harus meninggalkan stereotip usang bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam atau Timur itu pasti kuno, tradisional, barbar, dsb.
Akan tetapi pendekatan institusional lewat diskursus ini tidak akan cukup mewadahi apabila tidak dielaborasi dengan wacana sejarah ketertindasan perempuan dan posisi perempuan di aspek teologis. Kedua variabel tersebut merupakan satu kesatuan yang harus hancur bersamaan. Apabila diibaratkan gerbang. Maka sejarah penindasan adalah daun pintu kiri sedangkan doktrin keperempuanan dalam teologis adalah daun pintu kanan. Gerbang itu sendiri, adalah kekerasan di ruang publik terhadap kaum perempuan. Sederhana saja, kita seret mereka yang telah terlanjur masuk dalam jebakan setan itu, kita sadarkan mereka lewat gerakan moral dan rekayasa paradigma. Kita urai satu persatu pintu gerbang serta semua media dalam denah bangunan itu. Kemudian kita pasang kembali, dengan gaya yang lebih baru, dengan tawaran yang lebih segar, dengan pondasi Tauhid.
Namun, secara lebih kompleks, mari kita persempit dan pertajam buah dari analisis kita: Dalam upaya perubahan sosial , maka yang pertama-tama perlu kita buat adalah road map perjuangan Tauhid Feminisme dalam rangka memberantas kekerasan perempuan di ruang publik. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan, pertama, merancang tata nilai sebagai basis acuan aksiologis; kedua, melakukan rekayasa paradigma; ketiga, merangsang atau mendorong kelahiran the great intellectual giant beserta agen-agen perubahan sosialnya; keempat, pendekatan institusional; kelima, Hegemoni ruang publik; keenam, revitalisasi KOHATI sebagai rumah perjuangan dan rahim gerakan Tauhid Feminisme: HMI beserta KOHATI harus tampil selaku institusi yang memprakarsai Tauhid Feminisme.


B.     SARAN

Dalam proses pembuatan makalah ini, yang telah memeras otak serta energi hingga hampir kering kerontang, terdapat banyak kendala yang ditemui di tengah jalan. Secara pribadi, penulis ingin memberikan semacam advice terhadap para pembaca dimanapun teks ini berlabuh:
1.      Wilayah antropologi budaya perlu dieksplorasi lebih mendalam. Sebab literatur-literatur tentang budaya patriarkal dan matriarkal sejatinya sangat penting untuk menelaah asal muasal maskulinisme. Hal ini dikarenakan tokoh-tokoh antropologi didominasi oleh laki-laki yang lebih dari rata-rata tidak memiliki ketertarikan sama sekali terhadap wacana feminisme dan jender. Pemerintah harus selalu memacu produktivitas sarjana-sarjana dalam bidang ini lewat program-program beasiswa.
2.      Membuat blueprint Peta Perjalanan (Road Map) Tauhid Feminisme baik itu jangka panjang maupun jangka pendek. Korps HMI-wati harus menjadi patron dalam gerakan ini.
3.      HMI harus keluar dari kecenderungan untuk menjadi penguasa atau pengusaha. Kita harus lebih menspesifikasi sasaran lebih detail. Dibanding institusi politik dan ekonomi, insitutsi informasi adalah objek strategis dimana di era neo-globalisasi ini memendam aksiologis: siapa yang mengendalikan informasi, dia yang menang.
4.      Optimalisasi ruang publik agar selalu kondusif dalam kegiatan-kegiatan diskursif.
5.      Menjadikan laki-laki sebagai sasaran rekayasa paradigma. Karena antitesis terhadap dominasi patriarkal telah – secara tidak langsung – terlanjur menstigmatisasi apapun yang berhubungan dengan kelaki-lakian, maka seakan-akan perempuan telah menutup pintu sera jendelanya untuk dimasuki laki-laki sembari memikirkan strategi feminisme di dalam rumah. Sesungguhnya bukan seperti itu, menolak patriarki bukan berarti harus memusuhi lak-laki. Karena banyak juga laki-laki yang mendukung feminisme (termasuk saya) dan banyak juga perempuan yang menolak feminisme.
6.      HMI-wan harus berperan aktif dalam strategi Tauhid Feminisme. Terlampau sering, diskusi, literasi maupun aksi yang menyangkut tentang keperempuanan diinisiasi oleh para perempuan. Padahal perjuangan feminisme ini bukanlah perjuangan ekslusif seperti itu, harusnya menjadi perjuangan kolektif. Laki-laki terlalu sering terlihat reseptif dan tidak bergerak kalau tidak dipacu dulu. Jikalau ini dijadikan proyek bersama, maka laki-laki juga harus mengambil peran untuk menginisasi gerakan feminisme juga. Sebab permasalahan keadilan jender tidak hanya mengikat kaum perempuan, tapi juga laki-laki.
7.      Merobohkan sistem patriarkal yang masih melekat di internal HMI. Katakanlah ini sebagai upaya restrukturalisasi. KOHATI yang merupakan partner kerja HMI, malah dianggap tendesius sebagai matahari kedua. Dalam artian, di beberapa cabang beredar issue bahwa bagaimana bisa seorang kader perempuan memiliki dua pemimpin dalam satu wadah organisasi? Issue lainnya adalah, KOHATI harus dibubarkan karena dianggap sebagai (mohon maaf) kandang ayam yang berfungsi mengisolasi dan menumpukkan kader-kader perempuan disana, agar tidak mengganggu urusan sikat-menyikat kekuasaan. Issue tersebut harus dinetralisir dari peradaban. Bangun opini dan pola komunikasi serta sistem jaringan organisasi yang lebih ideal. Bahwa kader perempuan tidak pernah dicegat untuk ikut bersaing memperebutkan kehormatan sebagai ketua umum di tataran Cabang, Badko maupun PB. KOHATI hanyalah organisasi independen yang bergerak di satu bidang yang khusus mengurusi masalah keperempuanan. Sedangkan HMI dalam tataran general. Lebih baik bangun sistem komunikasi antara dua institusi ini dalam rangka koordinasi dan mengontrol satu sama lain agar agenda-agenda yang dijalankan tidak saling bertubrukan.



[1]Hegel, Georg Wilhem Friedrich. 1956.  The Philosophy of History. London: Dover Publication. Hlm, 118
[2] Bahkan hingga hari ini pemikiran Aristoteles masih menghegemoni dunia pemikiran. Fase-fase besar dalam sejarah, hanya bisa lahir tatkala mereka berhasil membongkar fundamen pemikiran Aristoteles dan menyumbangkan gagasan baru sebagai anti thesa.
[3] Hegel, Georg Wilhem Friedrich, loc. cit, hlm, 205
[4] Sebagai bahan untuk merambah khazanah, dalam bukunya, Mohammad Guntur Romli berhasil mengilustrasikan kondisi Arab pada periode Jahiliyah tersebut. “Masyarakat Arab pada saat Al-Quran turun adalah masyarakat Patriarkhi. Kekuasaan berpusat pada seorang laki-laki dan standar kelelakian yang kuat dan tanpa batas. Pada waktu itu laki-laki adalah segala-galanya. Mempunyai kebebasan dan hak yang tidak kenal batas. Sedangkan perempuan dalam posisi terjepit, tidak memiliki hak-hak sama sekali. Jangankan hak sosial, jaminan hidup saja sangat sulit, karena anak-anak perempuan tidak diharapkan kehadirannya. Terdapat tradisi di sebagaian masyaraat Arab Jahiliyah, menanam anak perempuan hidup-hidup (wa’du al-banat : baca QS an-Nisa (4):19 dan QS al-Takwir (81):8-9), seperti di Bani Tamim, Kandah, Rabi’ah, dan Mudlar. Dalam keluarga, anak perempuan tidak berhak menerima warisan, bahkan, mereka diperlakukan seperti harta benda yang bisa diwariskan. Hal ini dicatat dalam firman Allah; “Hai kaum beriman tidak halal bagi kamu mewariskan perempuan dengan jalan paksa.....” (QS an-Nisa (4):19). Jika seseorang meninggal, maka anak tertua secara otomatis menerima istri ayahnya (QS a-Nissa (4):22). Perempuan tidak berhak menentukan pasangan hidupnya, dan terkadang tidak menerima mahar saat nikah. Atau ia bisa dinikahi mellaui pertukaran antara saudara yang disebut nikah al-badl. Seorang perempuan yang dituding amoral boleh digauli banyak laki-laki (gangbang), sampai ia hamil. Dan bayi yang lahir dimiliki oleh-laki yang mirip dengan bayinya. Anak-anak yatim perempuan yang berharta dinikahi secara sewenang-wenang agar bisa menguasai hartanya (QS an-Nisa (4):3). Potret tradisi masyarakat Arab Jahiliyah yang jelas-jelas dilarang Allah dapat kita baca dalam Surat An-Nissa’ dari ayat 19 sampai 22. Lebih lengkapnya baca: Romli, Mohammad Guntur,. 2013. Islam Tanpa Diskriminasi; Mewujudkan Islam Rahmatan Lil Alamin. Jakarta: rehal pustaka. hlm. 68-120.
[5] Supeli, Karlina. 2011. Dari Kosmologi ke Dialog; Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme. Bandung: Mizan. Hlm, 79
[6] Kita harus membedakan Budhisme sebagai agama dan paham atau jalan kebijaksanaan. Buddhisme sebagai agama, merupakan syarat administratif serta sikap penuh tunduk secara total pada Nirwana. Sedangkan Buddhisme sebagai jalan kebijaksanaan, merupakan sekumpulan gagasan tentang gaya hidup yang baik, beretika, sopan-santun, bagaimana bersikap, kedamaian, jalan menempuh penyucian diri (tazkiyah al-nafs).
[7] Ketika pertama kali orang-orang Romawi berhubungan dengan bangsa Yunani, mereka menjadi sadar bahwa diri mereka masih cukup barbar dan belum beradab. Bangsa Yunani jauh menugngguli mereka dalam banyak hal:dalam manufaktur dan teknik pertanian; dalam macam-macam pengetahuan yang perlu bagi pegawai yang baik; dalam percakapan dan seni menikmati hidup; dalam kesenian, sastra dan filsafat. Satu-satunya hal dimana bangsa Romawi unggul adalah dalam siasat militer dan peratuan sosial. Sesuda Perang Punic, pemuda-pemuda Romawi merasa kagum terhadap bangsa Yunani. Mereka mempelajari bahasa Yunani. Dewa-dewi Romawi diciptakan mirip dengan dewa-dewi Yunani. Kisah asal-usul Romawi yang dari bangsa Troya disusun sedemikian rupa sehingga mengandung kaitan dengan mitos Homerik. Para penyair Latin mengadopsi irama-irama puisis Yunani, para filsuf mengambil alih teori-teori Yunani. Hingga saat terakhir, secara kultural Roma bersifat parasit terhadap Yunani. Bangsa-bangsa Romawi tidak lagi mencipta bentuk-bentuk kesenian, tidak membangun filsafat yang orisinil, dan tidak menghasilkan satupun penemuan ilmiah. Kejenuhan karena tidak adanya kreatifitas untuk menandingi peradaban Yunani, telah menyeret mereka kembali ke watak lamanya yakni bangsa yang barbar dan dipenuhi tribalisme akut. Lebih lengkapnya baca: Russel, Bertand. 1946. History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Time to the Present Day. London: UNWIN LTD. Hlm, 378-379
[8] Armstrong, Karen. 2008. Muhammad; A Biography of the Prophet. London: Wellington House. Hlm, 95
[9] Untuk lebih lengkapnya silahkan baca Madjid, Nurcholis. 2008. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan Media Utama.
[10] Fuad Hassan. “Pokok-pokok Bahasan Mengenai Budaya Nusantara Indonesia”. Daam http://kongres.budpar.go.id/news/article/Pokok_pokok_bahasan.htm diakses pada 20 Agustus 2015 Pukul 23.09
[11] Secara gamblang proses itu diulas dalam bukunya: Kuhn, Thomas. 1970. The Structure of Scientic Revolutions. Chicago: Chicago University Press. Untuk memperjelas dan sebagai bahan perbandingan dapat dilihat pula pada bukunya A.F. Charlmers. 1983. Apa yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya. Jakarta: Hasta Masta. hlm. 94-95 . Lihat juga George, Ritzer. 1992. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 3-5
[12] Dalam bukunya, Propper menjelaskan: “Dengan senang hati saya mengakui falsifikasionis seperti saya sendiri jauh lebih suka berusaha memecahkan persoalan yang menarik dengan melakukan dugaan yang berani, walaupun (dan terutama) apabila tidak lama kemudian ternyata salah, daripada mengulang suatu rangaian kebenaran yang tidak relevan. Kami lebih suka ini karena kami percaya bahwa begitulah caranya kita dapat belajar dari kesalahan-kesalahan kita, dan setelah mengetahui bahwa dugaan kita salah, kita akan belajar banyak tentang kebenaran, dan akan makin mendekati kebenaran.” Lebih detailnya baca: Propper, Karl R. 1969. Conjectures and Refutation. London: Routledge & Kegan Paul. hlm. 231.
[13] Realitas = reality (Inggris). Latin ‘realitas’ diturunkan dari ‘res’ = benda. Istilah realitas diperkenalkan ke dalam filsafat pada abad ke-13 oleh Duns Scotus, yang menggunakan istilah itu sebagai sinonim ‘being’ (yang ada, pengada). Sesungguhnya tidak dapat ditarik pembedaan yang tegas antara dua istilah itu, tidak pula antara ‘aktualitas’ dan ‘eksistensi’. Untuk lebih lengkapnya lihat: Lorens, Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. hlm. 937
[14] Kedua makna realitas yang disebutkan di atas, selalu diperbincangkan oleh banyak filsuf, sebagai suatu pandangan yang bersifat dualistik atau oposisi binner, yaitu mengkonstruksikan konsep-konsep pasangan yang membedakan antara zat/substansi, tubuh, jiwa, fenomena/noumena, imanen/transenden dan lain-lain. Menurut Yasraf Amir Piliang, potret realitas yang demikian itu telah menciptakan sebuah ideologisasi realitas, yaitu pandangan tentang realitas sebagai sebuah pilihan binner. Lihat:Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra. hlm 55 –dst. Sementara itu Immanuel Kant, seorang guru besar logika dan matematika (1724-1804) menjelaskan tentang adanya dua realitas yaitu dunia fenomena dan noumena. Dunia fenomena adalah dunia yang kita alami dengan panca indera dan terbuka bagi penelitian ilmiah karena rasional. Sains, meneliti dunia fenomena – dunia alami (natural world) dan nalar mengarahkan pengamatan itu. Dunia noumena tidak bisa didekati dengan pengamatan empiris karena bukan hal yang fisik atau empiris. Lihat: Agus Salim. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial; dari Denzin Guba dan Penerapannya. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. hlm. 1
[15] Itulah sebuah realitas yang melampaui realitas, sebuah realitas virtual, dunia yang melampaui dan bersifat artifisial ini menjajah hampir setiap realitas yang ada, yang pada suatu ketika nanti akan mengambil alih secara total realitas-realitas tersebut. Setidak-tidaknya terhadap realitas artificial tersebut ada tiga pandangan, Pertama, yang optimis dan positif – affirmative (Timothy Leary, Rheingold). Kedua, yang pesimis, curiga dan menolak – Refusal (Boal, Gandy, Sluoka). Ketiga, pandangan yang penuh ketidakpastian, mengkritik tapi menerimanya sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat ditolak – fatalistic (Baudrillard). Lihat: Yasraf Amir Piliang, Pengantar dalam bukunya Mark Slouka. 1999. Ruang yang Hilang, Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan. Bandung: Mizan. hlm. 14.
[16] Hyper-realitas, menurut Baudrillard adalah efek, keadaan atau pengalaman kebendaan dan atau ruang yang dihasilkan dari proses simulasi yaitu proses atau strategi intelektual. Hyper-realitas ditandai dengan lenyapnya pertanda dan metafisika representasi, runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu sendiri, yang diambil oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi atau realitas menjadi realitas pengganti, pemujaan (fetish) objek yang hilang bukan lagi objek representasi, akan tetapi ekstase penyangkalan dan pemusnahan ritualnya sendiri. Lihat: Jean Baudrillard. 1983. Simulation. New York: Semiotex(e). hlm. 142. Lihat pula dalam Piliang Yasraf Amir. 1999.  Hiper-realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS. hlm 88 – seterusnya.
[17] Jean Baudrillard. 1993. Symbolic Exchange and Death. London: Sage Publications. hlm. 73
[18] George Ritzer. 2003. Teori Sosial Postmodern,  Yogyakarta : Kreasi Wacana. hlm. 163.
[19] Jurgen Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf, North-line Westpharlia, Jerman. Ia adalah filsuf dan sosiolog Jerman dalam studi teori kritis dan pragmatisme Amerika. Ia paling dikenal berkat karyanya tentang teori ruang publik, topik dan judul dari buku pertamanya. Karya Habbermas berfokus pada landasan-landasan teori sosial dan epistemologi, analisis masyarakat kapitalistik maju dan demokrasi, penegakan hukum (rule of law) dalam konteks sosial-evolusioner kritis, dan politik kontemporer khususnya politik Jerman.
[20] Contoh yang lebih representatif lagi bisa anda lihat dalam penampakan kota Bandung. Dimana walikota berusaha mengaktifkan kembali 400 taman tematik. Taman tematik adalah jenis taman yang suasana lingkungan serta hiasannya melambangkan hobi atau identitas tertentu. Lihatlah misalnya taman fotografi, dimana para komunitas fotografi berkumpul dan berbagi pengalaman serta pengetahuan. Juga ada taman jomblo atau taman Surapati, yang dihiasi kursi beton persegi empat dengan kuota satu orang – seakan meledek para jomblowers. Dan 398 taman lainnya. Barangkali jika kamu kamu berkenan untuk liburan ke Bandung atau hendak mengenyam pendidikan di tanah Pasundan ini, jangan lupa hubungi aku ya hehehe.
[21] Sebutan untuk para warga dunia maya singkatan dari istilah internet citizen.
[22] Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius. hlm. 352.
[24] Dalam bukunya, Francis Fukuyama berujar: “Hasrat unutk diakui mungkin pertama kali tampak sebagai konsep yang asing, tetapi sebenarnya sudah sama tuanya dengan tradisi filsafat politik Barat, dan sepenuhnya merupakan hal yang biasa dalam kepribadian manusia. Ia pertama kali dideskripsikan oleh Plato dalam Republic, ketika ia menulis bahwa ada tiga bagian dari jiwamanusia, yaitu hasrat (nafsu), akal dan thymos.... Manusia mencari pengakuan akan martabat mereka sendiri atau orang lain, atau benda-benda, atau prinsp-prinsip yang mereka hargai. Kecenderungan untuk menginternalisasi diri sendiri dengan nilai-nilai tertentu dan untuk memperoleh pengakuan atas nilai-nilai tersebut, adalh yang sekarang populer kita seut sebagai “penilaian diri” (self-esteem). Kecenderungan untuk merasakan penghargaan-diri muncul dari bagian jiwa yang disebut thymos. Ia seperti rasa keadilan yang merupakan sifat bawaan manusia. Masyarakat percaya bahwa mereka memiliki martabat tertentu, dan bila ada masyarakat lain yang mengancam mereka, meskipun mereka memiliki status yang lebih rendah, mereka akan merasakan emosi kemarahan. Sebaliknya, tatkala masyarakt gagal menjalani hidup sesuai dengan martabatmereka sendiri, mereka merasa malu, dan ketika mereka dievaluasi dengan benar sesuai dengan martabat mereka, mereka merasa bangga. Hasrat untuk diakui, yang dibarengi perasaan marah, malu dan bangga, merupakan bagian dari kepribadian manusia yang bersifat kritis terhadap kehidupan politik. Menurut Hegel, hal-hal itulah yang mengendalikan seluruh proses sejarah. Lebih lengkap baca: Fukuyama, Francis. 2004. The End of History and TheLast Man; Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Qalam hlm. 8-9
[25] Padahal pada zaman Yunani kuno, wanita-wanita yang menggunakan sepatu hak tinggi hanyalah agar mereka dibedakan dengan wanita-wanita lain sebagai wanita dengan profesi di prostitusi atau dunia pelacuran.
[26] Padahal dulu di zaman Yunani kuno, wanita-wanita dengan pose tubuh yang gendut merupakan dambaan dari tiap pria di zamannya. Wanita gendut adalah simbol dari kesuburan melambangkan dewi-dewi Yunani yang dipuja puji oleh orang-orang pada masa itu. Kita dapat menyadari bahwa sesungguhnya ternyata, kecantikan itu begitu relatif seusai dengan kondisi serta situasi ruang-waktu.
[27] Romli, Mohamad Guntur. 2010. Muslim Feminis: Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam. Jakarta: Freedom Institute. hlm. 235
[28] Penulis menggunakan terminologi antropologi budaya bukan antropologi saja dikarenakan aspek dari antropologi begitu luas dan bercabang-cabang serta memiliki banyak ranting. Selain antropologi secara umum juga terbagi antropologi biologi, budaya, paleo-antropologi, antropologi fisik, prehistori, etnolinguistik etnologi, etnopsikologi, antropologi spesialisasi, antropologi terapan. Lebih jelas baca: Koentjaningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. hlm. 23
[29] Van Peursen menjelaskan bahwa pola dasar yang nampak dalam segala tahap kebudayaan ialah manusia selalu mencari hubungan tepat antara dia sendiri dan daya-daya kekuatan di sekitarnya. Sejarah yang bergelombang itu berarti, bahwa konfrontasi yang sama selalu harus dilaksanakan dengan cara-cara yang baru dan lain. Strategi ini selalu berganti rupa. Lebih lanjut silahkan baca Peursen, Van. 1976. Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius. hlm. 232.
[30] Koentjaningrat, loc.,cit. Hlm, 144-146
[31] http://rismayantipriyanita.blogspot.com/2011/11/teori-dasar-feminisme.html. diakses pada tanggal 28 Agustus 2015. Pukul 02:36.
[32] Untuk lebih lengkap bisa membaca Engels Friedrich. 2004. Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara. Jakarta: Kalyanamitra.
[33] Terimakasih kepada Edi Iyubenu yang telah memperkenalkan saya dengan berbagai macam metodologi kritis serta telaah wacana kritis dalam konteks keIslaman. Mengenai frasa yang dikutip, bisa dilihat di: Iyubenu Edi AH. 2015. Berhala-berhala Wacana: Gagasan Kontekstualisasi “Sakralitas Agama” secara produktif-kreatif. Yogyakarta: IRCiSoD. hlm. 23-24
[34] Ointoe, Reiner Emyot dan Sumayku. 2008 Perempuan Lokal: Dari Mitologi ke Masa Kini. Manado: Biro Pemberdayaan Perempuan Pemda Provinsi Sulawesi Utara Kerjasama dengan Yayasan Serat. hlm. 82-83.
[35] Lebih lengkapnya bisa anda baca di Carette, Jeremy R. 1999. Religion and Culture, Routledge, New York: Manchester University. hlm. 163-186
[36] Madjid, Nurcholis. 2008.  Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. hlm. 179
[37] Dalam khazanah pemikiran Islam atau Islamic Studies, kata hermeneutika begitu asing terdengar yang kita akan lebih akrab dengan istilah-istilah seperti takwil yang dipopulerkan oleh Al-Razi. Akan tetapi perlu diketahui, latar belakang kenapa kata takwil begitu tidak familiar dibanding tafsir dikarenakan peradaban Islam yang notabene itu dikuasai oleh kelompok skriptualisme atau biblioatri dengan aksioma mereka bahwa “semakin harfiah kau menafsirkan teks kitab suci, maka akan semakin kau mendekati kebenaran teks itu”. Padahal Al-Quran diakui bukan sebagai kitab ilmiah saja (yang pembacaannya wajib harfiah), tetapi juga sebagai kitab yang sangat kental dengan metafora (interpretable), kata kiasan, seperti prosa dan puisi serta mengandung nilai kesustaeraan yang tinggi. Landasan dari argumentasi ini bisa kita lihat di Surah Ali-Imran (2):7.
 [38] Dalam artian bahwa wahyu merupaka sumber pengetahuan Islam disamping rasioa dan pengalaman.
[39] Untuk lebih komprehensifnya silahkan baca Ghazali Abd Moqsith, Assyaukanie Luthfi dan Abshar-Abdalla Ulil. 2009. Metodologi Studi Al-Quran, Gramedia  Jakarta: Pustaka Utama. Hlm, xiv-xv.
[40] Lebih lanjutnya silahkan membaca Armstrong, Karen. 1993. A History of God; The 4000 Year Quest of Judaism, Chistianity and Islam, New York: Ballantine Book.
[41] Roland Robertson. 1972. The Sociology Interpretation of Religion. New York. hlm. 35
[42] Erich Fromm mengutarakan: “....Sangat sering Perjanjia Lama dipercaya untuk mengungkapkan prinsip-prinsp keadilan dan pembalasa, yang kontras dengan Perjanjian Baru, yang merepresentasikan cinta dan pengampunan, bahkankalimat “Cintai tetanggamu seperti mencintai dirimu sendir”, adalah pemikiran yang diambil dari Perjanjian Baru bukan Perjanjian Lama. Atau Perjanjian Lama yang dipercaya ditulis secara khusus dalam semangat nasionalisme sempit dan tidak mengandung universalisme supranatural yang merupakan karakteristik Perjanjian Baru....”. Lebih lengkapnya baca: Fromm, Erich. 1978. You Shall Be As God. London: Flamingo. hlm. 2.
[43] Dalam konteks FPI ini, lihatlah bagaimana perilaku mereka ketika berdemonstrasi ria. Satu-satunya dzikir dengan nama Allah di depan kalimat, yakni Allahu’akbar (Allah Maha Besar) dijadikan yel-yel dalam kegiatan memporakporandakan keamanan dan ketertiban sipil. Padahal dzikir ini menyimpan nilai filosofi yang begitu dalam dan penting. Bahwa Allah, itu bahan lebih besar dan lebih agung serta luhur dibandingkan kata “Allah Maha Besar” itu sendiri. Kenapa kata Allah berada di depan kalimat? Untuk mengingatkan bahwa bahkan kalimat-kalimatpun, tidak akan pernah mampu untuk menampung atau mewakili kebesaran Allah tersebut. Dalam pandangan Buddha lewat Upanishad, penggambaran akan Tuhan begitu minim dan sangat-sangat susah digambarkan. Hal ini dikarenakan karena mereka berpendapat “bagaimana mungkin Tuhan yang sejatinya merupakan sosok Maha Tidak Terbatas dapat dijelaskan dengan kata-kata yang sangat memiliki keterbatasan. Bahkan untuk mengungkapkan apa yang kita pikirkan, menerjemahkan pikiran kita secara utuh dan sesuai dengan apa yang benar-benar kita pikirkan dalam bentuk bahasa merupakan hal yang sagnat-sangat sukar. Hal inilah yang melatarbelakangi filsafat nirwana sebagai alam yang tak terhingga tanpa batas-batas dimana kedamaian dan kekosongan menyatu dalam harmoni. Kembali ke konteks FPI, dalam konteks ini berhasil menjadikan wajah Tuhan sebagai wajah yang bengis dan suka ribut serta suka melakukan kekacauan di ruang publik. Pernah seorang yang non-muslim bertanya padaku, kanda, apakah arti Allahuakbar itu? Apakah artinya mampus elu!? Selengkapnya silahkan buka http://triwardanamokoagow.blogspot.com/2015/04/islam-bukan-agama-genosida.html
[44] http://triwardanamokoagow.blogspot.com/2013/09/manusia-mahluk-2-dimensi.html
[45] Agama yang dibawa oleh Isa a.s. adalah agama Nasrani, diambil dari kata Nazareth. Bahkan dalam Injil sekalipun, Isa atau Yesus tidak pernah mengklaim bahwa dia membawa agama bernama agama Kristen.
[46] Muhammad bin Ishaq, Sirah Rasul Allah 150, dalam A. Guillaume (penerjemah dan penyunting), The Life of Muhammad. London. 1955. Hlm, 104
[47] Surat 61:6. Lihat juga Tor Andrae. 1936. terjemahan Theophil Menzel.  Muhammad: The Man and His Faith. London. 1936. Hlm, 44-45. Selanjutnya untuk studi komparatif, bisa dibaca di Muthahhari, Murtadha. 1991.  Falsafah Kenabian, judul asli: Revelation and Properthood. Penerjemah: Ahsin Mohammad. Jakarta: Pustaka Hidayah. Hlm,  35-37
[48] Hubungan mutual affirmatif merupakan salah satu bentuk hubungan logika disaping oposisi, kontradiksi, alterna dan sub-alterna. Hubungan mutual affirmatif adalah hubungan yang saling melengkapi satu sama lain, dalam konteks lain dapat kita pahami sebagai hubungan simbiosis mutualisme. Contohnya adalah konsep tentang baik, tidak akan tanpa adanya konsep tentang jahat; kiri tidak akan ada tanpa kanan; pria tidak akan ada tanpa perempuan; atas tidak akan ada tanpa bawah; dst.
[49] Kenapa disebut Nasrani karena Bible (al-Kitab) saja yakni di Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama, tidak pernah dikatakan agama yang diturunkan oleh Yesus adalah agama Kristen. Penamaan Kristen baru terjadi paska wafatnya Yesus. Adapun dalam Bible dikatakan bahwa agama yang dibawa Yesus adalah untuk domba-domba tersesat di bani Israel, tepatnya berpusat di kota Nazareth sehingga dinamakan Nasrani.
[50] Murata, Sachiko. 1992. The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, diterjemahkan dari: The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought. Bandung: Mizan. hlm, 31.
[51] Konsep sekularisasi sejatinya berbeda dengan konsep tentang sekularisme. Sekularisme adalah konsep tentang sistem negara dimana urusan agama dipisahkan secara total dengan urusan negara; urusan akhirat dipisahkan secara total dengan dunia; bahwa konsep kejahatan dipisahkan secara total dengan konsep dosa. Sedangkan sekularisasi adalah konsep pemurnian (purification) agama dari nilai-nilai profan dan bersifat imanen, memurnikan agama dari tradisi serta hegemoni budaya Arab. Penyebaran Islam sejatinya adalah Islamisasi (internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai demi penghayatan batin) bukanlah Arabisasi (eksternalisasi dan internalisasi budaya Arab yang telah mengalami akulturasi dengan Islam). Selengkapnya Gus Dur pernah berkata: “Islam datang bukan untuk merubah aku menjadi ana’, dan kamu menjadi ente. Dalam lingkungan pergaulanku, pernyataan tersebut kami kembangkan: “Islam datang bukan untuk merubah honda dan toyota menjadi unta (kendaraan Arab pada masa dulu)!”. Untuk lebih memahami konsep sekularisasi Cak Nur, disarankan membaca Madjid, Nurcholis, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, loc.,cit, hlm, 22-36. Lihat juga sebagai perbandingan: Muhammad Kamal Hassan. 1960. Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia. disebut di berbagai tempat.
[52] Untuk lebih komprehensif baca: Henry Y. Gamble, Jr., “Christianity: Scripture and Canon” dalam Frederick M. Denny dan Rodney L. Taylor (eds.), The Holy Book in Comparative Perspective, hlm, 37.
[53] Fromm Erich, Loc.,Cit, hlm, 30-31. Ada satu hal yang menarik dari pembahasan teologi negatif ala Maimodes ini, bahwa memiliki kesamaan dengan konsep tauhid dzati dalam tradisi filsafat Syiah dan konsep tassawuf Ibnu Arabi.
[54] Al-Fayyadl Muhammad. 2012. Teologi Negatif Ibn’ Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan, Yogyakarta:LkiS. hlm. 97.
[55] Agustinus. 1997. Pengakuan-pengakuan, terj. Winarsih Arifin & Dr. Th. Van den End. Yogyakarta: Kanisius cet. I, hlm, 31.
[56] Draft Nilai Dasar Perjuangan HMI tahun 1969, hlm. 8
[57] Levinas, Emanuel. 1998. Of God Who Comes to Mind, terj. Bettina Bergo. Stanford: Stanford University Press hlm. 67
[58] Levinas, Emanuel. 1969. Totality and Infinity: An Essay in Exteriority, terj. Alphonso Lingis, Pitsburg: Duquesne University hlm. 104
[59] Al-Fayyadl, Muhammad. Teologi Negatif,Loc.,cit., hlm,  145-146
[60] Hidayat, Kommarudin. 2011 Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika, Bandung: Mizan.
[61] Ghazali Abd Moqsith, Assyaukanie Luthfi dan Abshar-Abdalla Ulil, loc.,cit., hlm, 25-26
[62] Misalnya antara ayat-ayat yang menganjurkan untuk membunuh kaum kafir dimana saja kaum Muslim menjumpai mereka (QS (2):191), dengan ayat yang melarang pembunuhanmanusia (QS 17:33).
[63] Misalnya ayat tentang kisah “Ashabul Kahfi”, tentang “Alexander the Great” dan ayat tentang “Penghancuran Kakbah oleh Abrahah”.
[64] Nasr, Hamid Abu Zaid. 1993. Mahfum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Quran. Kairo: Al-Ha’iah Al-Mishriyyah al ‘Ammah li al-Kitab. hlm. 11
[65] Nasr Hamid Abu Zaid, Mahfum al-Nash, hlm. 12.
[66] Roxanne L. Euben. 1999. Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalisme and the Limits of Modern Rationalism, Princeton: Princeton University Press.
[67] Hanafi, Hasan 2003 Oposisi Pasca Tradisi, judul asli: Humum Al-Fikr Al-Watan, terj: Khairon Nahdiyyin. Yogyakarta: Syarikat Indonesia.
[68] Lihat dalam karangan M. Amin Abdullah, Arkoun dan kritik Nalar Islam, Meuleman, Johan Hendrik. 2012. Membaca Al-Quran Bersama Mohammed Arkoun, Yogyakarta: LkiS. Hlm, 19-20.
[69] Hanafi, Hasan. 2000. Dirasat Islamiyah. Mesir: Maktabah al-Anjelu al-Mishriyah. Hlm, 71.
[70] Arkoun, Mohammed. 1997. Berbagi Pembacaan al-Quran, terj. Machasin. Jakarta: INIS. hlm. 80. Ini penting dikemukakan oleh karena bahasa – tak terkecuali bahasa Arab al-Quran – adalah ciptaan manusia, karena ia direfleksikan dari konvensi sosial hubungan antara suara dan makna. Inilah sebabnya mengapa kaum Mu’tazilah bersikeras megnatakan tentang kemakhlukan al-Quran, tatkala al-Quran itu hadir dalam bungkus bahasa manusia. Dengan lantang kaum Mu’tazilah berujar bahwa bahasa adalah produk manusia. Oleh karena yang disasar adalah Tuhan adalah amanusi, abahsa Tuhan harus mematuhi bahasa manusia, agar firman-firman-Nya mudah dipahami oleh manusia juga. Allah berfirman, wa ma arsalna min rasulin illa bi lisani qawmihi li ybayyina lahum (QS Ibrahim: 4). Ibnu Khaldun mengakan “inna al-Quran an nazala bi lughat al’Arab wa ‘ala asalibi balaghatihim.
[71] Keterlibatan Muhammad dalam hal ini berlangsung dalam dua level. Pertama, proses pengkalimatannya dalam bahasa Arab. Kedua, penjelasan Nabi Muhammad atas al-Quran yang selanjutnya disebut hadits.
[72] Lihat wawancara M Taufik Rahman dan Much Nur Ichwan dengan Nashr Hamid Abu Zaid, “Tafsir Tak Pernah Berhenti”, dalam Panji Masyarakat No. 30 Tahun I, 10 November, 1997, hlm. 12-14
[73] Syar’iah disini harus selalu dipahami sebagi jalan-jalan dar kehendak untuk mengimplementaskan nilai-nilai pokok agama Islam. Sebagai sebuah jalan, syariat yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul selalu saja berbeda-beda, mengikuti perbedaan ruang, waktu dan tingkatan peradaban umat pengikutnya. Dengan demikian, syariat bersifat tentatif dan relatif, sehignga wajar kalau di kemudian hari dianulir kembali oleh syariat-syariat yang datang sesudahnya.
[74] Maka bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang. Katakanlh, “Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara kalian dan taatlah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara kaliandan taatlah kepada Allah dan rasulnya sekiranya alian adalah orang-orang yang beriman”. (QS al-Anfal (8):1)
[75] Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid. Katakanlah, “haid itu adalah kotor. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari perempuan istri ketika haid. Janganlah kalian mendekatinya hingga perempuan itu suci kembali. Sekiranya mereka telah suci, maka gauilah mereka seperti yang dperintahkan Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri.” (QS al-Baqarah (2):222)
[76] Binasalah dua tangan Abi Lahab dan sesungguhnya dia pasti binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bedanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan amsuk ke dalam api yang bergejolak. Dan begitu pula istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dan sabut. (QS al-Lahab (111):1-5)
[77] Ghazali Abd Moqsith, Assyaukanie Luthfi dan Abshar-Abdalla Ulil, Metodologi Studi Al-Quran, loc.,cit., hlm, 146-147
[78] Menurut Barbara Johnsosn, dekontruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah de-konstruksi sendiri sebenarnya lebih dekat dengan pengertian etimologis dari kata “analisis”, yang berarti: “mengurai, melepaskan, membuka” (to undo) ketimbang pengertian etimologis kata “desruksi”. Kalau kita membuka Websters’s Unabidged Dictionary, akan kita temukan pengertian analisis sebagai “the separating of any material or abstract entit into its constituent element”, yang berarti “to break down into constituent parts”. Kedekatan etimologis ini menunjukan bahwa dekonstruksi lebih dimaksudkan sebagai stratefi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks ketmbang operasi yan merusak teks itu sendiri. Tujuan dekonstruksi adalah mengkap oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam teks. Karena itu, jika sebuah teks didekonstruksi, yang dihancurkan bukanlah makna, tetapi klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadp teks lebih benar ketimbang pemaknaan lain yang berbeda. Selengkapnya baca: Johnson, Barbara. 1981/ “Translator’s Iintroduction” dalam, Derrida, Dissemination, terj. Dan anotasi Barbara Johnson. Chicago The University of Chicago Press. hlm. xiv
[79] Iyubenu Edi AH. Berhala-berhala Wacana: Gagasan Kontekstualisasi “Sakralitas Agama” secara produktif-kreatif, Loc.,Cit., hlm, 24-25
[80] Ibid, hlm, 25.
[81] Draft Nilai Dasar Perjuangan HMI, tahun 1969, hlm, 13.
[82] Lebih lengkapnya baca Umar Nasarudin. 2001. Argumen Kesetaraan Jender dalam Al-Quran. Jakarta: Paramadina. hlm. 248-262
[83] Rakhmat, Jalaludin. 1999, Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi?, Bandung: Remaja Rosdakarya.
[84] Ibid
[85] Hegel, Georg Wilhelm Friedrich. 1956. The Philosophy of History, Dover Publicatio. hlm. 490
[86] Carlyle, Thomas. 1963. On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History.  London: Oxford University Press.
[87] Muthahhari, Murthada. 2012 Masyarakat dan Sejarah: Pandangan Dunia Islam tentang Hakikat Individu dan Masyarakat dalam Gerakan Sosial Berbasis Agama. Diterjemahkan dari: “Man and Society”  dalam Man and Universe. Rausyanfikr Institute: Yogyakarta. Hlm. 217
[88] Rakhmat, Jalaludin,Loc.,Cit.,
[89] Rakhmat, Jalaludin.  Loc.,Cit.,. Hlm. 167-171
[90] Ibid. Hlm. 172-173
[91] Ibid.
[92] Madjid Nurcholis, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan, Dian Rakyat: Jakarta, 2010. Hlm, 45-46