Absrtak
Gerakan-gerakan feminisme adalah
gerakan yang mengutamakan kebebasan perempuan dalam hubungannya dengan
laki-laki di ruang publik. Dahulu, ketika kaum permpuan sudah tidak lagi mampu
untuk menahan dera dan amarah karena dipaksa dalam agenda domistifikasi, dimana
perempuan diisolasi di ruang privat dan ruang publik hanyalah milik laki-laki;
pada saat itulah angin perlawanan berhembus. Kaum perempuan mulai menyadari
bahwa ada yang ganjil dalam sistem sosial dan sistem kepercayaan yang dianut
turun temurun. Perlahan-lahan, paradigma perempuan mulai terbuka dan begitu
juga laki-laki. Bahwa hingga hari ini, masih umat manusia masih begitu sangat
dihegemoni budaya patriarki. Era Neo-Globalisasi bergulir bak bola salju yang
dengan liarnya bergelinding menanduk siapapun yang berada di depannya. Era ini
menandakan satu hal, bahwa keran-keran informasi telah terbuka dan arus lalu
lintas perputaran gagasan begitu pesat. Beberapa pemikir menyebut fenomena ini
sebagai transgresi. Melanggengnya budaya patriarki dalam ruang publik dalam
artian secara realita maupun hyper-realita, telah menuntun kita ke pertanyaan:
bukankah gerakan-gerakan feminisme sudah cukup alot dan gencar untuk
meluluhlantakkan semua dominasi maskulinitas? Hingga hari ini, terlampau banyak
aliran-aliran feminisme yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Dari opsi-opsi
yang ditawarkan oleh kelompok feminisme tersebut, rupanya seringkali terjadi
gap dengan kondisi lokalitas sosio-historis dan sosio-kultural masyarakat.
Sehingga, diperlukan basis nilai yang bersifat Universal, yang bisa diresapi
oleh semua corak individu-masyarakat. Gerakan Tauhid Feminisme adalah
alternatif – dan kalau boleh dikatakan – terakhir.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG PERMASALAHAN
Sejarah umat
manusia telah membentangkan semacam tali merah yang menandai bangkit dan
runtuhnya peradaban. Jejak-jejak tersebut bisa kita lacak bersama dalam
kacamata waktu, baik secara naratif, literal, maupun arkeologis. Pelajaran yang
telah tertuang dalam pengalaman kita sebagai umat manusia terlepas dari
diferensiasi ras, suku, bahasa, pulau, negara secara teritorial, budaya, dan
keturunan, telah mengajari kita bagaimana bumi yang hari ini kita tinggali,
mulai kekenyangan dengan berbagai problematika sosial hingga moral.
Manusia bukanlah
sekedar mahkluk yang hidup demi makan, barangkali begitulah sabda Sokrates.
Logika telah mengajarkan bahwa kita secara esensial dibedakan (differentia) dengan mahkluk lain sejenis
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Akal yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa,
telah mendorong manusia untuk memiliki kehendak bebasnya (free will / free act )
sendiri. Tidak dibatasi oleh sekedar dorongan hewani. Dibanding anjing yang
mencari mangsanya dibawah kuasa nafsu atau misalnya kucing yang sedang
bersetubuh di tempat umum. Manusia memiliki kesadaran (consciuosness) sehingga dengan penuh kuasa atas kehendaknya,
manusia dapat merepresi dorongan tersebut.
Kemampuan
dasariah itulah yang memposisikan manusia sebagai subjek peradaban. Lihatlah
burung yang bertengger di pepohonan. Sejak zaman dahulu hingga sekarang, hanya
meninggali sarang dari susunan jerami atau ranting-ranting kecil. Tetapi
manusia berbeda, manusia berkreasi; menciptakan teknologi. Kita bisa menggali
literatur lewat keberhasilan ilmu sejarah ilmiah dan arkeologi, bahwa manusia
dahulunya tinggal di dalam goa. Perlahan-lahan, manusia mulai belajar bagaimana
caranya bertahan hidup dengan mengembangkan rumah sebagai tempat tinggal.
Kemudian muncullah rumah yang terbuat dari kayu, besi, logam, hingga hari ini
kita tercengang telah berdirinya gedung-gedung pencakar langit. Yang sekali
lagi tidak mungkin bukan tanpa potensi akal atau rasio.
Potensi tersebut
senantiasa berkembang dari zaman ke zaman. Herakleitus (dari zaman
pra-sokrates) berujar, kita tidak bisa datang ke sumur yang sama dua kali
dengan kondisi yang sama. Secara garis besar, dapat kita tarik bahwa
Herakleitus mengatakan satu-satunya yang kekal adalah perubahan. Barangkali
karena hal demikianlah, beliau dijadikan referensi paling kuno bagi penganut
dinamisme. Namun manusia menolak berlaku pasif atas perubahan. Manusia meraih
posisi sebagai pelaku aktif yang mendominasi gerak sejarah peradaban.
Sebagai pelaku
aktif dari perubahan, manusia senantiasa menciptakan sesuatu dari yang bersifat
fisik maupun yang non-fisik (semacam sistem, aturan, norma). Dalam perspektif
Eksistensialisme, manusia lahir dari sebuah momen keterlemparan. Sejak saat
itu, mereka menciptakan sistem nilai sebagai upaya interpretasi atas realitas.
Meskipun menyepakati Hugo de Groot, bahwa disamping nilai yang diciptakan
manusia, terdapat juga nilai-nilai yang sudah ada secara natural (paham naturalisme) yakni hukum Tuhan
atas realita (keharusan universal). Manusia kemudian membentuk sistem norma
yang mengatur hubungan antar manusia (habluminanass)
dari kelompok paling kecil yakni keluarga hingga kelompok paling besar yakni
masyarakat global (global village);
sistem sosial.
Norma tersebut
mengikat tiap manusia dan memendam semacam konfigurasi berkenaan dengan apa
yang harus dan tidak harus dilakukan dalam ruang publik hingga ruang privat. Perilaku
manusia dalam laku bermasyarakat terkontrol dan diproses oleh sistem sosial yang
merasuk ke alam bawah sadar tiap individu. Sistem tersebut menjadi titik acu
atas pola interaksi antar individu (mikro-sosial)
maupun antar kelompok sosial (makro-sosial).
Sebagai suatu tatanan norma yang hidup dan melekat secara turun temurun, lewat dialektika
dan diskursus maupun pengawasan dari para pemegang otoritas tertentu, norma
tersebut disepakati, atau bila kita (berani) berasumsi: dipaksa untuk
terberlakukan.
Kualitas manusia
selaku mahkluk yang berpikir, senantiasa hadir dan memenuhi episode-episode
sejarah dalam rangka merepreduksi wacana di ruang publik. Bukan hanya bangunan,
infrastruktur, aspek-aspek fisik dan arsitektur saja yang dihasilkan oleh
perbuatan kreatif kita. Gagasan-gagasan yang bahkan bersifat metafisik (logos), telah memancing ketertarikan
kita. Argumen demi argumen silih berganti, mewarnai pluralitas wacana yang
beberapa sudah usang dan lainnya masih begitu hangat menembus dialektika dan
ruang diskursus.
Salah satu
wacana yang begitu hangat dan masih menjadi pekerjaan rumah yang begitu dahsyat
hingga hari ini, adalah tentang bagaimana kita meletakan posisi perempuan di
ruang publik. Wacana ini telah mengaras dan senantiasa memperoleh posisi dalam
tiap episode peradaban. Berbagai respon menghujani ruang-ruang diskursus maupun
dialektika dalam menanggapi perkembangannya. Banyak yang menempatkan diri
mereka di kubu pendukung maupun penolak secara radikal.
Wacana ini
dibahas dalam berbagai macam bingkai persepsi. Bila kita menggunakan analisis
ala Jacques Derrida, setiap wacana pasti memendam semacam oposisi biner yang
bisa diolah dalam upaya penelanjangan alam bawah sadar para penafsir. Misalnya
kenapa kemudian konsep tentang wanita senantiasa dijadikan objek, dan lelaki
merupakan subjek. Antara sistem patriarkal dan matriarkal. Siapakah yang
berlaku pasif dan aktif. Pelaku dan korban. Para penjaga tradisi dan para
pejuang modernisasi. Semuanya memiliki benturan-benturan mereka sendiri. Namun
demikian, tidak kemudian menjadikan seorang semua pejuang feminisme adalah
wanita dan tidak memutlakan bahwa pengkritiknya selalu kaum lelaki.
Paradoksikalitas serta kontradiksi (dalam penggunaan Giddens) selalu berputar
mengelilingi solusi sebagai poros perdebatan wacana ini.
Posisi
Perempuan dari Zaman ke Zaman
Dengan menilik
realitas hari ini, maka akan merupakan suatu keharusan bagi kita untuk menengok
kembali apa yang telah terjadi di belakang setelah diringkus oleh sang waktu.
Meningat perkataan Hegel, bahwa dunia hari ini merupakan gema dari zaman yang
telah terhadulu.[1]
Sejak zaman dahulu,
status ontologis wanita senantiasa diperdebatkan. Para filsuf di era Yunani
klasik yang sedang pada puncaknya merupakan pelaku bagi ide-ide tentang
diskriminasi pada perempuan. Plato menulis: “saya bersyukur kepada dewa-dewa
atas delapan berkat”, salah satu berkat itu adalah tidak terlahir sebagai
wanita. Bila kita membaca seksama literatur-literatur Plato, akan kita maklumi
sifatnya yang begitu maskulin lewat ide-ide dan gagasan tentang otoriterianisme
yang tercermin dari republik. Pun,
sama halnya dengan pemikiran Aristoteles, murid Plato. Dia mengutarakan,
perempuan sebagai lelaki yang terlahir tidak sempurna. Lahir sebagai perempuan,
akan memberikan citra yang jelek terhadap keluarga. Sebagai pesohor dan pemikir
terkemuka di zaman mereka[2],
semua argumentasi tentang segala sesuatu memiliki kekuatan yang menyihir para
pendukungnya untuk menerimanya selaku doktrin.
Bukan hanya di
Yunani hal serupa terjadi. Di Cina kuno misalnya, seorang lelaki dapat serta
merta dan tanpa larangan dari siapapun untuk memaksa perempuan yang dia
inginkan menjadi istri atau dengan istilah yang lebih mudah diidentifikasi –
melihat perilaku mereka secara langsung – sebagai selir di rumah. Ketika
seorang perempuan telah mengikatkan dirinya sebagai isteri bagi lelaki, maka kebebasannya
dipegang total oleh sang suami. Kebiasaan lainnya yang berlaku saat itu, lelaki
dapat dengan mudah menjual istrinya tanpa ada sanksi sedikitpun.
Lain pula yang
terjadi di Afrika. Bagi bangsa Ashanttes, Raja memiliki kekuasaan prerogatif
istimewa atas banyak hal. Raja mewarisi seluruh kekayaan warganegaranya yang
meninggal dunia. Wanita yang tidak kawin ataupun sudah ditinggalkan oleh
suaminya, dapat dengan leluasa diangkat oleh Raja sebagai miliknya secara
pribadi. Dan lelaki yang ingin menikah dengan perempuan tersebut, harus meminta
izin Raja agar dapat dijadikan istri. Perempuan kemudian – meminjam istilah El
Shadaawi – berada pada titik nol.
Di India,
perempuan adalah bayangan pria. Mereka yang menikahi seorang pria, ketika
suaminya meninggal maka dia diwajibkan untuk bunuh diri. Orang-orang pada masa
gelap tersebut memiliki sistem kepercayaan bahwa istri yang menjanda harus mati
untuk mengikuti arwah suaminya dan melayani suaminya di dunia yang lain, dunia
metafisik. Wanita yang melanggar adat tradisional ini akan dikucilkan, dan
meninggal dalam kesepian. Orang Inggris yang menyaksikan fenomena ini, membujuk
suami orang yang akan melakukan bunuh diri yang berdiri disampingnya namun sama
sekali tidak acuh, karena dia memiliki banyak isteri di rumah. Seringkali
duapuluh wanita terlihat menceburkan diri mereka bersama-sama ke dalam sungai
Gangga, dan di pegunungan Himalaya seorang Inggris mengadakan perjalanan
menemukan tiga wanita mencari mata air sungai Gangga, dalam rangka mengakhiri
hidupnya di sungai suci ini.[3]
Pada era dimana
masyarakat Arab masih terjebak dalam arus periode Jahiliyah (Zaman Kebodohan),
perempuan merupakan kelas yang sangat rendah dan tidak luput dari diskriminasi
yang tidak kurang keji halnya dengan negara-negara yang sudah dibicarakan. Tiap
kali bayi perempuan lahir, maka sang orangtua bisa dengan bebas untuk membunuh
dan atau mengubur bayinya hidup-hidup. Sama halnya dengan paparan Aristoteles,
bahka perempuan merupakan citra buruk bagi keluarga. Di Arab saat itu, perempuan
adalah sumber dari rasa malu dan kelemahan keluarganya. Agaknya
dilatarbelakangi oleh profesi perempuan yang banyak berprofesi dalam dunia
prostitusi. Meskipun tidak berlaku mutlak. Kita mengetahui bahwa Khadijah
adalah seorang pedagang yang sukses dan dihormati di sukunya pada saat krisis
moral tersebut. Tampaknya juga inilah yang melatarbelakangi poligami sebagai
budaya massa (mass culture) bahkan
setelah Muhammad saw muncul.[4]
Bila seorang
anak perempuan terlahir di keluarga di Mesir, dan tidak digendong oleh ayahnya,
maka anak tersebut bebas untuk dibuang di jalanan atau di tempat-tempat dimana
ritual diadakan. Setiap orang bebas untuk memunggut bayi yang baru lahir
tersebut, dan akan menjadikannya sebagai budak untuk selama-lamanya. Diskriminasi
dan pembatasan atas hak-hak perempuan di Mesir masih bertahan bahkan hingga
abad ke 14 Masehi. Tepatnya setelah terpicunya amarah kelompok yang berkuasa,
pemimpin Mesir lalu membatasi agar perempuan tidak boleh keluar rumah bahkan
apabila itu ke pasar sekalipun. Tidak sedikit penampakan perempuan dicambuk di
tempat umum karena melanggar aturan itu.
Lalu skarang di
era modernisme dan menjelang abad posmodernisasi / paska modernisme, diskriminasi-diskrimanisi
tersebut berlanjut dengan wajah dan rupa yang berbeda. Bila sebelumnya
eksploitasi terhadap harga diri dan martabat wanita terjadi secara fisik dengan
konfigurasi yang represif, maka hari ini citra wanita dieksploitasi dengan cara
yang halus dan manipulatif. Setelah upaya perlawanan wanita mengemuka di Mesir
dan peristiwa Revolusi Industri di Perancis, para pelaku kekerasan simbolik
mulai memutar otak untuk mencari gaya hegemoni baru yakni lewat kuasa
kapitalistik atas kemajuan informasi dan rekayasa paradigma dalam dunia virtual
– sebagai konsekuensi arus globalisasi yang begitu lebat. Jean Baudrilliiard
menggambarkannya secara jelas dalam simulacra.
Melacak
Problematika Secara Holistik; Meretas Alternatif
Fakta-fakta
historis telah bicara, akhirnya kita mahfum bersama, terdapat problematika yang
musykil dihadapi di depan. Pendiaman atas wacana ini, hanya akan memelihara
konflik tersebut untuk tumbuh besar dan menggurita. Pada akhirnya, secara tidak
langsung kitalah para penangguh masalah dan diskriminasi turun temurun. Dengan
memilih untuk berdiam diri, kita akan keasyikan menonton bola liar konflik ini
berdiaspora. Selain itu bagi mereka yang memilih untuk berjuang dalam misi suci
pembebasan atas segenap diskriminasi dan perjuangan demi memecahkan jalan
keluar, harus selalu memikirkan langkah-langkah cerdas dan konkrit tanpa
meninggalkan pertimbangan intelektual-moral. Harus selalu diadakan
kontekstualisasi dan reformulasi mengingat satu masalah tidak akan pernah dapat
diselesaikan dengan cara-cara yang selalu sama. Telaah kritis baik secara teoritis
maupun metodologis mesti senantiasa menjadi pisau analisa atas hal-hal yang
mengkhawatirkan tersebut.
Kenapa harus
selalu ada upaya reaktualisasi dan kontekstualisasi? Satu masalah, senantiasa
memiliki dimensi yang beragam. Dalam hukum misalnya, seorang penegak hukum
tidak bisa sekedar menggunakan persepsi hukum yang pure positif (aliran hukum murni Hans Kelsen). Penyelidikan serta
analisa terhadap hukum senantiasa bersinggungan dengan disiplin ilmu lain.
Hukum membutuhkan disiplin ilmu psikologi dalam hal penyelidikan. Di sisi lain,
disiplin antropologi berguna untuk mengungkapkan karakter budaya suatu
masyarakat dan menentukan watak hukum adat yang berlaku di dalamnya (living law). Pada buku Thomas Kuhn,
secara gamblang dipaparkan bahwa revolusi sains, bahkan telah berkembang secara
menyeluruh dan berlaku integratif serta interkonektiv terhadap jaringan ilmu
pengetahuan (consilience). Paradigma
Newtonian-Kantian telah merebah, menjamah lapak hukum dan sosiologi (dalam
bidang positivisme). Kita juga belajar bersama, bagaimana bapak biologi sebelum
Edward Talson, Charles Darwin telah memperkenalkan konsep evolusi yang begitu
dikagumi seorang Karl Marx telah menjadi basis teoritis bagi kelahiran
komunisme. Paradigma Sains sebagai ilmu pasti (exact) telah memberikan kontribusi besar atas kelahiran-kelahiran
ilmu sosial sebagai ruangan yang diliputi keserba relatifan dan dinamisme.
Hal ini
mengingat apa yang dikatakan Karlina Supeli, bahwa manusia senantiasa terikat
pada cakrawala pengetahuan seberepapun jauhnya kita mendorong cakrawala itu.[5]
Ketahanan pangan, misalnya, adalah masalah yang tidak mungkin diselesaikan
hanya oleh ilmu tentang pangan, sekaligus menuntut keketatan metodologis ketika
pengetahuan tentang kualitas tanah, perubahan iklim, akses ke air dan kualitas
air, polusi, distribusi kekayaan global, sosiologi, hukum dsb, memberikan
kontribusi trans-disiplin bagi masalah pangan dunia. Demikianlah masalah
perempuan di ruang publik yang harus kita urai secara teliti dan mendalam
mengenai strukutr wacananya. Yang apabila kita lihat dari atas (helicopter view) memiliki sistem
jejaring yang saling berkaitan, bertubrukan, berhimpitan, berdempetan dan
mempengaruhi satu sama lain.
Gerakan-gerakan
pembebasan tentunya berawal dari suatu pandangan umum atas dunia entah itu
Ilahiah ataupun materialistis. Pada kelompok pertama kita mengenal para pejuang
Logos, metafisika, supra-empirik yang
sangat sering dijumpai pada benak-benak sufi, mistikus, altruis, Buddhism[6],
dan HMI salah satunya juga. Kelompok kedua adalah para serdadu yang berada
di garda depan (avant garden)
pembebasan sosial, yakni Marxian, Syariatisme, Sosialisme, Giddenisme, dan lain
sebagainya. Bahkan Adam Smith sebagai bapak kapitalisme, juga memimpikan
tentang surga kebebasan. Bedanya adalah, kebebasan yang ditawarkan olehnya
adalah kebebasan individual sehingga terbatasi pada ruang privat.
Pada intinya,
pandangan dunia (world view/weltanchaung)
akan bermuara pada ideologi yang meringkus kesadaran atas realitas.
Selanjutnya, mempengaruhi kita untuk menentukan pikiran serta tindakan
berkenaan dengan apa yang harus atau tidak harus, sesuai titah ideologi dan
hati nuraninya membawa. Alur itulah yang mengantarkan kita pada sikap yang
paling konkrit demi membahas sesuatu.
Paradigma yang
demikian, tidak boleh bersifat tertutup. Dia harus terbuka dan adaptif. Gagasan
itu harus bersifat universal dan diterima pada setiap waktu maupun tempat.
Senantiasa memiliki ruang dalam harapan-harapan individu. Bukan yang orang
kaya, Mike Tyson, presiden yang mampu berhasil; yang adaptiflah yang akan
berhasil. Gagasan itulah yang barangkali telah menuntun Francis Fukuyama
bernubuat perihal kemenangan kapitalisme di ufuk sejarah. Tetapi – apabila kita
baca dengan cermat – dalam buku yang dia maktubkan, terdapat semacam isyarat,
bahwa gagasan universal tersebut tidak hanya dipendam oleh ideologi
kapitalisme. Diam-diam, ada gemuruh, ada kekuatan besar yang sedang asyik
menjadi bayangan peradaban. Gagasan tentang “keadilan sosial” adalah mimpi umat
manusia, itulah yang terus menerus didengungkan oleh dunia Islam.
Islam
Sebagai Alternatif
Tatkala itu,
dunia sedang dihempas oleh kekeringan ide, gagasan, pemikiran, kreatifitas
serta lusuhnya spiritualitas. Pada masa-masa yang kelam tersebutlah, teks
sejarah menandai itu sebagai abad kegelapannya Eropa (Dark Ages). Paska ditumpaskannya Yunani, berdiri tegaklah Peradaban
Romawi yang pada awalnya meminjam potongan-potongan budaya Yunani sebagai
identitasnya. Ironis, harus berujung pada watak asli bangsa mereka; bangsa yang
bar-bar, tribalisme akut, primitif, yang hasrat kekuasaannya dan kekuatannya
sudah cukup untuk membinasakan diri mereka sendiri.[7]
Pada masa itu, Eropa tidak lebih daripada gurun tandus – metafora dari
keringnya gagasan – yang apabila kita ingin membayangkan seuatu yang lebih menawarkan
harapan daripada itu, maka tengoklah ke sebelah Timur dunia. Rupanya, di
jazirah Arab sedang terjadi golakan, tentang sebuah harapan baru umat manusia
yang dapat kita pahami hanya ketika mengingat bahwa itu adalah tahun gajah;
hari dimana Muhammad SAW dilahirkan dari rahim Aminah binti Wahab bin Abdul
Manaf dan benih ‘Abdullah bin ‘Abdul Muttalib bin Hasyim.
Abad ke-7 Masehi
merupakan jembatan besar yang mengantarkan umat manusia kepada zaman pencerahan
(Renaisains). Abad-abad itu begitu
banyak inovasi yang berhasil dicetuskan sang nabi demi dunia. Gagasan-gagasan
lama yang sudah usang, dengan begitu cepat diganti baru. Watak bangsa Arab yang
dulunya bar-bar, tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat menjadi
berbudaya, tidak ayal lagi; beradab. Piagam Madinah (Madinnah Carter’s) diakui sebagai konstitusi dalam arti modern jauh
sebelum konstitusi Amerika lahir abad 16; Hukum Humaniter Islam yang bahkan
sangat ramah lingkungan dibanding Hukum Humaniter Internasional versi PBB;
konsep tentang memanusiakan manusia terutama ketika sang Nabi memberikan Bilal
(seorang budak) sebuah kehormatan sebagai pendengung adzan untuk pertama kali
atau bisa kita saksikan manakala Muhammad mengangkat Zaid bin Harits sebagai
anak angkat meninggalkan predikat budaknya[8],
dan (terutama); wanita diberikan posisi yang terhormat, memanusiakan perempuan
dan mengeluarkan mereka dari liang kehinaan. Pun, tidak kemudian menjadikan
Rasulullah Muhammad yang notabene adalah dari kaum lelaki untuk disifati
sebagai inferior, karena tokoh dari kehormatan wanita itu sendiri bukanlah
baginda nabi tetapi akan lebih pantas kita sandingkan pada Siti Khadijah dan
atau Siti Aisyah.
Sistem serta
corak berpikir dalam Filsafat Islam merupakan air segar bagi oase pemikiran
dalam kaitannya dengan perjuangan keadilan gender telah menjadi tantangan serta
peluang baru untuk memberengus dan mengimbangi wacana keperempuanan yang secara
global didominasi oleh pemikiran-pemikiran Barat. Dari hari ke hari, perjuangan
kebebasan perempuan di ruang publik memendam tendensi untuk luruh ke gerakan
radikalisme dan anarkis karena corak liberalisme Amerika – sebagai lokus dari sistem demokrasi dan kebebasan
global yang begitu bebas bahkan dari nilai-nilai dan moralitas yang begitu
kontradiktif dari budaya Timur yang sejatinya beradab dan menjunjung adat
kesopanan. Dunia Islam sebagai salah satu domain kekuatan peradaban-peradaban
Timur, harus memberikan sumbangsih berupa alternatif terhadap wacana feminisme
dengan gaya serta pola yang mampu diterima. Karena tiap benua dan samudera
tumbuh dari alam sadar masyarakat dan kesadaran kultural yang berbeda, maka
produk pemikiran suatu peradaban belum tentu akan cocok dengan peradaban lain.
Apabila misalnya model feminisme Barat diaplikasikan ke peradaban Asia Selatan
misalnya, fenomena yang muncul dan terjadi adalah pemaksaan diterimanya budaya
(Westernisasi) dan merenggus identitas-identitas pribumi sebagai kekayaan atau
kearifan lokal. Padahal Cak Nur (sapaan akrab mendiang Nurcholis Madjid) telah
mengisyaratkan bahwa modernisasi itu bukan semangat westernisasi, akan tetapi
rasionalisasi.[9]
Lebih parah lagi, adanya tendensi bahwa globalisasi dalam imperialisme nudaya
tidak lain adalah Amerikanisasi sebab sejak berakhirnya perang dunia ke II,
distribusi kekuatan global terpusat di Amerika Serikat.[10]
Harus disepakati
bersama, bahwa Cak Nur merupakan pionir penting dalam gerakan modernisasi dan
purifikasi Islam telah membimbing bangsa kita Indonesia dan menginspirasi
pemikiran-pemikiran Islam nasional dan internasional dalam beberapa hal. Tak
sulit untuk menyepakati bahwa Cak Nur adalah seorang pemikir Muslim modernis,
lebih tepat Neomodernis – meminjam peristilahan yang sering ia sendiri
lontarkan. Maka melanjutkan para perambah modernisme klasik di masa-masa
lampau, Nurcholis Madjid bahwa Islam harus dilibatkan dalam
pergulatan-pergulatan kontemporer kekinian. Meski berbeda dengan para
pendahulunya, semuanya itu tetap harus didasarkan pada khazanah pemikiran Islam
yang telah mapan. Di segi lain, sebagai penganjur neomodernisme, ia cenderung
meletakan dasar-dasar keislaman dalam konteks kearifan lokal – yakni
keindonesiaan.
Meskipun makalah
ini sedikit banyak berangkat dari keterpesonaan penulis terhadap misi luhur
mendiang Cak Nur, tidak menutup ruang untuk mengelaborasi wacana yang
ditawarkan dengan gagasan-gagasan tokoh lainnya sebagai bahan elaborasi dan
tidak jarang akan dibenturkan demi memeras ide-ide baru bahkan radikal – bukan
dalam konotasi yang negatif tentunya. Bahkan bila itu harus meminjam doktrin
serta ide para filsuf Barat dan diluar Islam tentunya sebagai bahan evaluasi
dan poin untuk menguji tesis yang dipersembahkan. Maka dengan latar belakang
pemikiran yang demikian, dengan rendah hati tanpa dijejali rasa angkuh
sedikitpun, dengan tegas ingin diutarakan bahwa masih ada harapan dan masih ada
celah bagi Islam untuk ikut bergabung dalam arena wacana posisi perempuan tanpa
meninggalkan nilai-nilai Tauhid. Sehingga Tauhid feminisme, diharapkan bisa
menjadi basis pemikiran yang inovatif dan segar setelah berhasi dibongkarnya
kekerasan simbolik terhadap perempuan di ruang publik.
B.
IDENTIFIKASI
MASALAH
Dengan prawacana
tadi, akhirnya pokok permasalahan telah mengerucut dari masalah umum (general) ke sekup masalah yang lebih
khusus. Sehingga nantinya dengan analisa serta deduksi, telah terjabarkan
pokok-pokok permasalahan yang sekiranya krusial serta mendesak untuk dibedah
dalam beberapa poin, yakni:
1. Mengurai
kekerasan simbolik terhadap perempuan ruang publik
2. Membongkar
hegemoni patriarki dalam sistem sosio-kultural
3. Reinterpretasi
Tafsir Teologis tentang keperempuanan
4. Dari
dekontruksi ke rekontruksi ; Tauhid sebagai basis nilai
BAB II
PEMBAHASAN
A. MEMBONGKAR KEKERASAN SIMBOLIK
TERHADAP PEREMPUAN DI RUANG PUBLIK
Menjelang era
posmodernisme ini, wacana-wacana filsafat ssedang diuji. Sebagaimana doktrin
evolusi, hanya yang kuatlah yang mampu bertahan dan yang kuat tersebut adalah
yang paling adaptif menyesuaikan dan fleksibel terhadap tantangan zaman (zeitgeist). Rupanya kelahiran modernisme
yang telah mengantarkan Eropa pada pencerahan (renaisaince), sedang mengalami krisis dan berpretensi digilas zaman
agar nantinya wafat sebagaimana pendahulu mereka. Setelah para pemikir besar
yang tercerahkan (aufklarung/rausyanfikr) menyumbangkan gagasan serta
ide-ide besar tentang perubahan dan dunia sebagaimana harusnya (das sollen), muncullah para penantang
yang menguji pemikiran tersebut untuk tidak eksis sebagai basis pemikiran lagi.
Hal tersebut
sangat maklum apabila kita mengingat teori loncatan paradigma (revolusi) Thomas
Kuhn. Bahwa semua paradigma yang lahir di belakang waktu, akan diterima oleh
tatanan masyarakat ilmiah untuk selanjutnya diuji. Pada akhirnya, muncullah
situasi dimana paradigma lama mengalami titik kritis dan membuka peluang bagi
munculnya paradigma baru sebagai anti-thesis – meminjam terminologi pemuja
materialisme dialektika historis. Pada rentang jarak antara ilmu kritis dan
paradigma baru inilah revolusi terjadi.[11]
Dan bukan hanya teori metodologis Kuhn saja yang bisa dipaparkan untuk
menjelaskan fakta pergantian paradigma, kita juga bisa melihat itu dari
perspektif Karl Propper.[12]
Dalam falsifikasionisme Properrian, dijelaskan bahwa suatu ilmu atau proposisi
analitik akan difalsifikasi secara terus menerus secara empiris dan
rasionalistis. Apabila tesis tersebut bertahan dari bencana kritik, maka akan
diterima oleh tatanan masyarakat ilmiah. Tetapi apabila ditolak, maka pencarian
masyarakat atas tesis yang lebih dapat diterima akan berlanjut untuk kemudian
diuji secara terus menerus.
Benih-benih
posmodernisme sebenarnya sudah menyeruak ketika sang filsuf pembunuh Tuhan –
Nietzche memproklamirkan kelahiran Nihilisme sebagai filsafat yang membiaskan
kebenaran dan sistem nilai. Beliau bersabda bahwa “tidak ada yang namanya
fakta, yang ada hanyalah interpretasi”. Meskipun akhirnya proposisi demikian
menyimpan paradoksikalitasnya sendiri, lantas apakah yang diutarakan oleh
Nietzche tersebut? Bukankah proposisi tersebut juga berangkat dari fakta?
Meskipun tidak sedikit sanggahan dan tanggapan kritis berupa penolakan terhadap
karya-karyanya, harus diberikan aplause kepada
beliau yang berhasil membuka keran-keran pemikiran lama bertransisi menuju
pemikiran baru yang lebih kritis. Sebagai filsuf, pemikirannya terbukti
mendahului zaman. Barangkali hal tersebutlah yang membuat seorang Ali Harb
mengagumi sosok beliau. Di era yang lebih muda, yakni beberapa puluh tahun
silam, muncul seorang pujangga dari Perancis. Jacques Derrida sebagai pemikir
yang kontroversial di kalangan masyarakat ilmiah Perancis, mengutarakan dengan
berani bahwa logos sebagai sistem
metafisik telah mati.
Berbagai kritik
dan telaah ulang terhadap realitas secara ontologis telah mengenyahkan batas-batas
antara realita dan ide. Konsep-konsep tentang matinya penulis (the dead of author), relevansi teks dan
realitas, hermeneutika kritis, teori interpretasi Ricouer, posstrukturalisme
dan dekontruksinya Derrida, berakhirnya sejarah dan lain sebagainya. Telah
merambah batas-batas dunia, batas-batas teritorial antar negara. Realitas
secara ontologis mulai dipertanyakan. Kaum-kaum empiris mulai gelisah di
hadapan para filsuf pembunuh realitas. Bagai efek domino, konsekuensi dari
industrialisasi dan perkembangan IPTEK telah menggelindingkan bola panas yang
disebut globalisasi. Penyebaran informasi yang tidak terkendali menjelma
sebagai perahu dan dayung yang membawa virus-virus posmodernisme dan nihilisme
melintasi kota dimana mereka lahir menuju ke kota tetangga dan begitupula seterusnya
hingga merambah ke seluruh umat manusia. Memperkuat gagasan serta kerangka
berpikir haruslah menjadi sebuah prioritas untuk tetap menjaga kewarasan agar
kita tidak tenggelam di dunia hyperrealitas atau realitas semu.
Fenomena
globalisasi diawali dengan dua hal secara fundamental yakni penyempitan ruang
dan menyingkatnya waktu. Apa yang terjadi di London akan sangat mungkin
memberikan dampak yang cepat secara tidak langsung pada Indonesia. Kita lihat
bagaimana keruwetan Yunani menghadapi krisis ekonomi dan kebangkitan Amerika di
pasar modal telah mempengaurhi bargaining
mata uang Rupiah milik Indonesia yang hari ini mencapai empat belas ribu
per dolar. Apa yang terjadi di bagian Barat (negara-negara Amerika Serikat) dan
Utara (negara-negara Eropa dan Amerika Latin) akan sangat mungkin mempengaruhi
kelangsungan warga yang berada di Timur (negara-negara Asia) dan Selatan
(negara-negara Afrika) dan begitu juga sebaliknya. Dalam contoh yang lebih
sederhana, kita bisa melihat bagaimana media sosial seperti facebook, twitter,
instagram, path, dan lain sebagainya yang mempertemukan kita rakyat Indonesia
dengan orang-orang dari benua lain. Kita bisa dengan mudah chatting dengan seorang pelajar di asrama Harvard dalam sekejap,
meskipun dihalau oleh bentang jarak ribuan kilometer, hanya lewat layar laptop
atau smartphone. Tidak ayal lagi,
kita telah tinggal dalam kondisi yang sebagaiamana diilustrasikan Yasraf Amir
Piliang; Dunia yang dilipat.
Akan sangat
penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu lapangan penyelidikan, yakni
pemahaman akan realitas[13]
dalam pusaran globalisasi ini. Apabila ditelaah secara historis, paling tidak
realitas dapat dilihat dari beberapa sudut pandang sebagai berikut: Pertama, dimana realitas adalah sesuatu
yang hanya dapat ditangkap lewat kapasitas akal budi (ide, gagasan, esensi).
Pemikiran ini menguasai betul mereka yang berada di bawah payung pemikiran
idealisme, misalnya Plato, pada masa Yunani Kuno dan idealisme lebih modern
seperti Hegel. Kedua, yaitu bahwa
realitas berkaitan dengan sesuatu yang bersifat aktual, nyata, ada dan
objektif, yang hanya dapat dikenali dan dipahami lewat mekanisme intuisi dan
indra. Pandangan yang berada di bawah payung pemikiran empirisme seperti Bacon,
atau seorang sosiolog positivistik seperti Durkheim.
Apakah hanya
itu?[14]
Tidak, karena masih ada realitas lain, yaitu sebuah realitas yang muncul ketika
sains dan teknologi dengan kecangguhannya mampu menciptakan sebuah dunia artificial[15],
karena realitas ketiga itu bersifat melampaui batas-batas realitas yang
ada, kemudian oleh Baudrillard dan Umberto Eco disebut sebagai dunia
Hiperrealitas, atau dunia yang melampaui realitas (hyper-reality).[16]
Sebagaimana dijelaskan Baudrillard: “semua
yang mengelilingi Los Angeles dan Amerika tidak ada lagi yang nyata, tetapi
suatu tatanan Hipperealitas dan tatanan simulasi”. Baudrillard
kadang-kadang menggunakan tema simulasi dan Hiperrealitas secara bergantian: “hiipperrealitas seratus persen terdapat
dalam simulasi”[17],
“hiperrealitas... tidak diproduksi, tetapi ia siap selalu direproduksi”. Tegasnya
sebagaimana, ia adalah sebuah simulasi yang nyata dari yang nyata, lebih cantik
dari yang cantik, lebih elok dari yang elok.[18]
Kesadaran atas
adanya hyper-realitas, membuat kita mesti menelaah kembali tentang batas-batas
ruang publik (public sphere) dan
ruang privat (private sphere). Apakah
itu ruang publik? Meskipun pertama kali diangkat ke permukaan oleh seorang
sosiolog dan ekonom Jerman yakni Marxilian Carl Emil Weber, akan tetapi Jurgen
Habermaslah[19]
yang patut untuk dijadikan referensi utama mengenai teori ruang publik ini.
Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai ruang demokratis atau wahana
dimana warga negara dapat berbagi opini-opini, kepentingan-kepentingan dan
kebutuhan-kebutuhan secara diskursif. Interaksi tersebut dapat terjadi degnan
berbagai macam model entah itu secara horizontal (interaksi rakyat kecil dan
rakyat kecil) ataupun vertikal (interaksi rakyat kecil dan pejabat elit).
Warung kopi, pusat perbelanjaan (meskipun tidak mutlak sebagaimana kritik
Jurgen Habbermas), taman perkotaan, situs-situs sejarah, ikon pariwisata dan
lain sebagainya adalah contoh konkrit daripada ruang publik ini.[20]
Namun di era
posmodernisme ini, mengingat kembali bola liar bernama globalisasi tengah
mengelinding sehingga menyebabkan polarisasi informasi dan pada akhirnya muncul
realitas ketiga; hiper-realitas. Kemudian pertanyaannya, dimanakah posisi ruang
publik dalam hiper-realitas ini? Dengan pengayaan-pengayaan ini, maka perlu
disadari bahwa teori kritis tentang ruang publik akan beradaptasi dengan
kehadiran realitas baru ini. Apabila dalam realitas empiris-inderawi, mekanisme
ruang publik bekerja secara interaktif, langsung dan bersifat fisik. Misalnya
saya bersama-sama dengan anda yang saat ini tengah membaca teks ini sedang
bercakap-cakap berhadap-hadapan di dalam ruangan warung kopi di Ternate, itulah
yang disebut dengan kehadiran secara fisik yang memungkinkan interaksi satu
sama lain. Dalam konteks hiper-realitas, ruang publik tidak lagi dipahami sebagai
ruang dimana interaksi fisik dapat berlangsung secara nyata, akan tetapi
membutuhkan bantuan sensorik lewat kecanggihan teknologi. Dalam demonstrasi
pada beberapa paragraf terakhir, telah jelaslah bahwa komunikasi dan interaksi
dapat terjadi antara dua orang yang berada di ruang yang berbeda dalam waktu
yang sama lewat chatting di media
sosial ataupun webcam lewat Skypea.
Dunia virtual atau dunia maya inilah yang dinamakan sebagai Cyberspace oleh Mark Slouka yang
ditempati oleh netizen[21].
Secara tidak langsung, dunia virtual ini telah menjadi ruang publik baru – atau
mengikuti frasa “semu” dalam hiper-realitas, merupakan ruang publik yang semu
juga. Lewat internet dan jaringan informasi yang dipantulkan satelit, kita
dapat melakukan kontak dengan berbagai orang di berbagai wilayah dalam waktu
yang singkat. Batas-batas teritorial lantas memudar.
Sekarang dalam
kaitannya dengan wacana keperempuanan di ruang publik, perlu kita pahami
bersama terlebih dahulu bahwa sebuah wacana terlahir dari telaah serta penggiringan
opini-opini publik yang kemudian diterima secara sukarela oleh masyarakat lewat
tahap-tahap pengujian tertentu. Sebuah wacana lahir dari proses diskursif
tertentu yang diproses lewat diskusi atau perdebatan kritis, radikal serta
objektif di ruang publik. Wacana tentang keperempuanan senantiasa dibahas
secara diskursif dan mereproduksi dirinya sendiri dari hari ke hari. Lewat
basis pemikiran atas lahirnya tesis ini, sudah diuraikan panjang lebar mengenai
sejarah perempuan, tidak lebih dari sejarah diskriminasi dan hegemoni patrarki
atas perempuan yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi, zaman
ke zaman, peradaban ke peradaban.
Bergulirnya
fakta mengenai diskriminasi gender ini dari waktu ke waktu senantiasa berganti
wajah dan rupa. Bila pada dulunya, tatkala realitas dipahami sebagai sesuatu
yang nyata, empirik, dapat disentuk oleh persepsi inderawi dan bersifat fisik,
maka diskriminasi saat itu dipegang kendali oleh diskriminasi fisik dan
psikologis. Lihatlah kemalangan perempuan Mesir yang dicambuki di pasar, dua
puluh istri seorang pria India yang tidak punya pilihan lain selain bunuh diri
di sungai Gangga, atau perempuan yang disetubuhi secara ramai-ramai oleh bangsa
Arab Jahiliyah tanpa ada sanksi sosial sedikitpun, atau bisa juga kita
perhatikan pada Cina terdahulu yang menjadikan perempuan sebagai bayangan
lelaki semata. Diskriminasi fisik dan psikologis tersebut ternyata selaras
dengan pemahaman umat manusia tentang gagasan dan ide mengenai realitas yang
juga bersifat fisik.
Maka tentunya,
pada era ruang publik semu atau hiper-realitas, sejarah diskriminasi tersebut
tetap berlanjut dan menyesuaikan diri dengan gaya yang lebih modern dan sangat
manipulatif serta persuasif. Apabila gaya lama mempraktekkan legitimasi
otoritas yang berkuasa untuk berlaku secara represif, maka dalam
hyper-realitas, diskriminasi bekerja bak invisible
hand yang merambah dan membongkar struktur kesadaran sosial secara dan
membentuk sistem-sistem simbolik yang mendiskreditkan citra perempuan di ruang
publik. Citra perempuan diberhalakan lewat propaganda-propaganda media.
Kecantikan serta keelokan fisik sengaja direkayasa oleh para bos-bos media agar
bisa menyihir wanita untuk lebih mengikuti fantasi pasar informasi. Citra
perempuan dalam ruang publik yang semu ini, merupakan objek diskriminasi atau
kekerasan simbolik yang terjadi perlahan, persuasif, bagai pembunuh berdarah dingin
yang memangsa tawanannya dalam kesenyapan malam.
Apa yang
dimaksud dengan citra perempuan yang direproduksi tersebut, merupakan sifat
universal yang melekat pada perempuan. Bahwa kita tidak melihat “perempuan”,
secara individual-partikular tetapi dalam artian yang abstrak-universal. Kartini
adalah seorang yang memiliki sifat keperempuanan, akan tetapi, Perempuan
bukanlah predikat yang dimiliki oleh Kartini seorang. Perempuan adalah sifat
universal yang dapat kita identifikasi dan kenali dari sosok-sosok selain
Kartini misalnya ibunda anda, Cut Nyak Dien, Bunda Theresa, Fatimah Az-Zahra,
Siti Maryam dan lain sebagainya. Artinya citra perempuan adalah sifat umum yang
telah menjadi simbol atas bagaimana kita menjelaskan identitas objek tersebut.
Perempuan merupaan citra yang kita kenal dengan feminim, penyayang, lembut,
perasa (melankolis), emosional, anggun, dan lain sebagainya. Ketika kita
membicarakan tentang hal-hal yang bersifat feminim misalnya, maka lokus atau
pusat dari kata itu akan secara tidak langsung kita tujukan pada citra
perempuan. Begitu pula bila kita membicarakan aspek lain yakni penyayang,
emosional, perasa lembut dan lain sebagainya.
Dalam konteks
ruang publik yang semu, hiper-realitas telah menjadi lahan yang menyembunyikan
kedok baru dalam agenda keji yakni uapaya kekerasan simbolik terhadap wanita. Citra
wanita terus diperas dari feminim yang masih bersifat kodrati menjadi citra
yang lebih rendah bahkan pada titik yang paling ekstrem, citra perempuan telah
menjelma tiada bedanya dengan komoditas-omoditas yang diperjual belikan seperti
uang atau harta benda. Media, informasi, dan gerakan dalam ruang publik semu
atau dunia virtual bergerak dan mereproduksi fantasi-fantasi tentang citra
perempuan yang lebih ideal. Citra perempuan yang awalnya bersifat metafisik dan
lebih kaya dengan kecantikan batin direduksi dan mengalami degradasi menjadi
daya tarik visual dan fisik yang bersifat inderawi. Dunia hyper-realitas
menjadi arena yang tepat dan kondusif untuk menciptakan ilusi-ilusi kecantikan
yang dipaksakan harus menjadi dambaan tiap perempuan.
Dalam teori
Simulasi dari Jean Baudillard, beliau mengatakan simulasi adalah penciptaan
kenyataan melalui model konseptual atau sesuatu yang berhubungan dengan mitos
yang tidak dapat dilihat kebenarannya dalam kenyataan. Model ini kemudian
menjadi faktor yang menentukan pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang
dapat menarik minat manusia – seperti seni, rumah, kebutuhan rumah tangga,
kecantikan, elitisme, eksklusifisme, popularitas, dan lainnya – ditayangkan
oleh berbagai media dengan model-model yang ideal, disinilah batas antara
simulasi atau ilusi dengan kenyataan bercampur baur sehingga menciptakan
hyper-realitas dimana batas-batas antara kenyataan dan ilusi semakin memudar
dan membias. Perempuan merupakan salah satu komoditas atau sasaran yang paling
empuk dalam agenda setting rekayasa mindset
publik ini.
Akselarasi serta
kemajuan teknologi yang mengantarkan umat manusia ke era industrialisasi akut
hari ini hanya membuktikan satu hal yang krusial dan urgent untuk disadari: kebudayaan industrialisasi telah menyamarkan
jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan enterteiment (hiburan publik), antara entertaiment dan ekses-ekses
politik bahkan. Masyarakat kerap kali tidak sadar akan kuasa serta pengaruh
simulasi dan tanda (sign/simulacra) hal ini membuat mereka
acapkali dan ingin – mencoba hal baru yang ditawarkan oleh simulasi – membeli,
memilih, bekerja dan macam sebagainya.
Hyper-realitas
menciptakan suatu kondisi yang di dalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian;
masa lalu berbaur dengan masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa;
tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran.
Kategori-kategori kebenaran, kepalusan, kenyataan, issue, realitas seakan-akan
tidak berlaku dalam dunia seperti itu. Sehingga kenyataan dan kenyataan yang
dikabarkan, seakan-akan identik dan bahkan serupa dengan demikian kenyataan
yang diabarkan diangap telah menjadi kenyataan itu sendiri. Dalam salah satu
teori agitasi-propaganda, semakin sering suatu kebohongan itu diutarakan kepada
publik lama-lama akan membuat kebohongan tersebut diyakini sebagai suatu
kebenaran. Misalnya saya mengatakan bahwa di Bandung adalah kota yang aman,
secara terus menerus, hingga tertanam di alam bawah sadar orang-orang
kecenderungannya orang-orang Ternate yang mendengar omongan saya akan meyakini
bahwa Bandung memanglah kota yang aman. Padahal kenyataannya, yang seringkali
luput dari media adalah Bandung sangat marak dengan premanisme, pencurian,
maling, perampokan, gank motor, dan lain sebagainya. Contoh konkritnya adalah
dalam film dokumenter the war on
democracy (perang dalam demokrasi), yang mengungkapkan fakta bahwa
pemberontakan massa pendukung Hugo Chaves di Venezuela melawan Amerika yang
mencoba menggulingkan rezim Chaves dengan mempengaruhi opini publik lewat
rekayasa intelejen dan manipulasi media massa. Media massa malah memotong
kepingan-kepingan fakta, sehingga akhirnya kebenaran tersebut buyar dan yang
tersebar tinggallah kebohongan-kebohongan yang ironisnya itulah yang dipercayai
oleh publik. Kepercayaan publik atas fakta palsu tersebut digunakan oleh
pemerintah Amerika sebagai legitimasi atas intervensi mereka di Venezuela dalam
konspirasi menggusur kekuasaan Chaves yang notabene menghambat
kepentingan-kepentingan Amerika Serikat.
Kembali lagi ke
topik, yakni membongkar selubung mekanisme simulasi dalam ruang publik di hiper-realitas.
Baudrillard sangat menerima konsekuensi radikal tentang yang dilihatnya sebagai
sangat merasuknya kode dalam masa modern akhir. Kode ini jelas terkait dengan
komputerisasi dan digitalisasi, juga cukup mendasar dalam fisika, biologi dan
ilmu-ilmu lainnya dimana ia memberikan kesempatan berlangsungnya reproduksi
sempurna dari suatu objek atau situasi; inilah sebabnya kode bisa mem-bypass sesuatu yang real membuka
kesempatan bagi munculnya realitas yang disebut Baudrillard sebagai
hyper-realitas.[22]
Keadaan dari
hiper-realitas ini membuat masyarakat modern menjadi berlebihan dalam hal
mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Simulasi dan hiper-realitas
telah menjadikan gaya hidup, trend, popularitas, dan kecantikan sebagai Tuhan
digital yang diberhalakan oleh umat manusia. Kebanyakan masyarakat mengkonsumsi
sesuatu bukan karena kebutuhan hidupnya, tetapi karena untuk memnuhi hasrat
keinginannya agar selaras dengan selera publik atau citra palsu yang sengaja
diciptakan media massa lewat mekanisme simulasi. Mereka lebih concern dengan gaya hidupnya. Kehebatan
dari realitas palsu ini adalah bahwa seseorang bisa saja menempatkan kekayaan,
popularitas, dan kecantikan yang ditawarkan oleh simulasi sebagai kebutuhan
primer baginya tidak lagi kebutuhan tertier (mewah).
Industri
mendominasi banyak aspek kehidupan, industri tersebut menghasilkan banyak
sekali produk-produk mulai dari kebutuhan primer, sekunder sampai tersier.
Ditemani oleh kekutan semiotika dan simulasi membuat distribusi periklanan
produk menjadi lebih gencar dan massif tambah lagi teknologi informasi yang
telah mapan yang memungkinkan para pelaku modal (kapital) untuk mendapatkan
informasi seperti apakah kebutuhan serta fantasi masyarakat yang dihadapi, dan
konsumen lebih banyak menerima informasi tentang produk yang tidak masuk
kategori dibutuhkan tetapi diinginkan dengan penuh hasrat. Asumsi-asumsi yang
terbentuk dalam pemikiran manusia dan keinginan ini membuat manusia tidak bisa
lepas dari keadaan hiper-realitas ini.[23]
Perempuan
sebagai sasaran empuk simulasi, telah membuktikan bahwa perempuan merupakan
mahkluk yang mendambakan keindahan dan dipuja oleh bukan hanya lelaki saja,
tetapi agar perempuan lainpun bisa iri padanya. Para aktor-aktor simulasi, yang
tidak lain tidak bukan adalah para pelaku kapitalistik menyadari hal tersebut.
Bahwa dalam diri tiap manusia, terdapat suatu ego yang besar. Dalam terminologi
Plato, sesuai dengan apa yang saya kutip di buku Francis Fukuyama bahwa manusia
terdiri dari tiga hal. Yakni hasrat , akal dan thymos. Thymos merupakan hasrat untuk menjadi bermartabat, hasrat
untuk meraih kehormatan, penghargaan, menuai pujian dan kebanggan, kekuasaan,
atau pada diri wanita secara spesifik adalah menuntut untuk meraih kecantikan.[24]
Thymos perempuan merupakan kecantikan sebagai lokus dan pusat kehidupan mereka.
Pengetahuan atas itu telah merangsang otak-otak para kapitalis untuk membuat
suatu upaya kreatif, bagaimana caranya mengorek pundi-pundi dollar atau rupiah
dengan memainkan fantasi perempuan akan kecantikan yang mereka damba-dambakan.
Para pelaku
kapital kemudian memainkan sebuah permainan dalam ruang publik semu yakni dunia
informasi sebagai kampung global modern, dengan mereproduksi produk-produk
kosmetik, lotion pemutih badan,
tas-tas cewek yang kekinian, sepatu high-heels[25],
program peninggi badan, program diet yang sarat dengan kimiawi, propaganda
bahwa rambut adalah mahkota wanita, mempertebal alis, membuat bulu mata lentik,
lipstik, bedak pemutih wajah, parfum, perhiasan, bikini, g-string,
pakaian-pakaian yang mengekspos tubuh wanita secara terbuka, tubuh langsing dan
ramping[26],
balutan pakaian yang minim yang menampakkan paha serta lekuk-lekuk tubuh wanita
tertentu (fetishisme), dan lain
semacamnya. Kapitalisme sengaja mereproduksi simbol-simbol tersebut sebagai
seakan-akan adalah apa yang didambakan dan dipuja oleh perempuan-perempuan
dengan hasrat ingin diakui kecantikannya di mata dunia. Seakan-akan harga diri
perempuan itu adalah kecantikannya sendiri. Atau jangan-jangan saking akutnya
hasrat akan kecantikan ini, ada wanita yang rela mati bila dia menyadari
kenyataan bahwa sepanjang sisa hidupnya dia akan selalu tampil tidak cantik dan
bahkan sangat kontradiktif dengan kecantikan yang ideal di mata perempuan
kebanyakan.
Salah satu
contoh yang paling konkrit dari simulasi ini adalah diciptakannya
panggung-panggung serta arena pertunjukan dan kompetisi kecantikan untuk
membentuk paradigma wanita bahwa wanita yang ideal pada zamannya, yang dapat
menaklukan dunia, yang superior di atas segala-galanya adalah tipikal wanita
yang demikian. Kompetisi kecantikan seperti katakanlah pemilihan putri
kecantikan, pemilihan putri dunia (miss
universe), putri waria, putri sejagad dan lain sebagainya. Hanyalah alat
bagi kapitalis untuk menciptakan mindset bahwa
kemulusan tubuh, tubuh yang sintal seperti gitar Spanyol, pakaian, kharisma,
panjang rambut, putih, eksostisme harus dia miliki sebagaimana yang dimiliki
oleh wanita-wanita yang mengikuti kontes-kontes semacam itu. Meskipun harga
yang harus dibayar oleh perempuan adalah pengorbanan berupa penyiksaan atas
diri sendiri (masokisme) tidak
masalah, yang penting penderitaan dan kesengsaraan tersebut akant terbayar
lunas oleh kecantikan yang dia peroleh. Tidak jarang perempuan harus menyiksa
diri mereka sendiri untuk tidak makan seharian, diet yang ekstrem ini dengan
sukarela dipraktekkan demi memuaskan nafsu perempuan dalam mengejar kecantikan
sempurna. Tidak jarang wanita harus melatih kaki mereka sakit kram karena
menahan dera sakit di tumit akibat siksaan high-heels.
Tidak sedikit wanita yang harus menyiksa diri ketika melingkarkan sliming swuit yang super ketat di perut
mereka hanya demi terlihat langsing dan cantik. Tak jarang wanita mengorbankan
wajah serta kulitnya untuk dieksploitasi oleh bahan-bahan kimiawi yang
berbahaya didalam produk-produk kosmetik, padahal efeknya untuk beberapa puluh
tahun yang akan datang sangat bersifat destruktif bagi tubuh. Diketahui bahwa
bibir wanita yang terlampau sering diolesi lipstik ketika muda, maka akan
terlihat pucat dan sangat tidak sehat ketika tua.
Produk-produk
kecantikan instant yang digemborkan oleh para kapitalis di ruang publik hanya
menjelaskan satu hal, bahwa mereka rela perempuan itu menyiksa diri mereka
sendiri karena telah terbius denga angan-angan kecantikan sempurna yang
disuguhkan kapitalis. Dan perlu disadari bersama, ketika perempuan sedang
menahan dera dan sakit karena mempercantik diri, diam-diam dompet mereka
terkuras, saldo di rekening mereka akan semakin menipis dari hari kehari,
akumulasi modal kemudian mengalami akselarasi dan menumpuk pada mereka yang
berlaku sebagi aktor simulasi; kapitalisme.
Itulah yang
disebut dengan kekerasan simbolik, yakni tindakan kekerasan yang dilakukan
dalam ruang publik di realitas artifisial / hyper-realitas, lewat perantara
simbol dan manipulasi pardigma massa dan penciptaan kondisi pasar. Kapitalisme selaku
desainer atau tokoh intelektual (intellectual
dadder) yang merancang masterplan ini, harusnya dikategorikan sebagai
penjahat kerah putih atau pelaku the
perfect crime (kejahatan sempurna) meskipun bukan dalam artian yang
seharfiah itu. Tetapi harus diakui strategi dan pola yang mereka lakukan telah
membawa dampak buruk dan negatif yang bisa kita kaji dan bedah bahkan lewat
analisis ekonomi, moral, sosial, budaya, politik, pendidikan dan lain-lain.
Kapitalisme berakting bak pesulap yang menipu para penonton sebagai penikmat
produk sulap yang dia pamerkan, dan ketika kapitalisme berucap abrakadabra, saat itu produk yang dia
tawarkan telah menjelma seorang wanita yang jelek menjadi rupawan, menawan dan
anggun. Para penonton memang bertepuk sesudah itu tercengang-cengan serta kagum
melihat aksi kapitalisme, tetapi dibalik semua itu, mereka tidak tau betapa
besarnya penderitaan serta dampak psikologis yang begitu traumatik yang harus
dijalani terlebih dahulu oleh sang wanita, agar dapat dibayar dengan applause
itu. Sementara itu, setelah pertunjukan usai, penonton yang telah berhasil ditipu ini, keluar
berdesak-desakan ke jalanan sambil memuji-muji takjub pada kemahiran kapitalis
yang menciptakan ilusi sempurna itu, akan sang pesulap yang tertinggal sendirian
dalam ruang pertunjukan sedang menertawai mereka sambil mengomel-ngomel dalam
hati rasain lu kena tipu!! Terimakasih
telah membayar kebodohan kalian dengan kekayaanku.
Lewat uraian
tadi semoga kesadaran dan keinsyafan tumbuh dalam benak kita, bahwa selama kita
memanjakan fatasi tentang kecantikan yang sengaja diciptakan oleh hanya akan
membuat benih-benih kapitalisme tumbuh subur dan semakin tidak lekang oleh
kekuasaan dan kekayaan sedangkan masyarakat-masyarakat harus menonton euforia
kapitalisme dalam mengorek pundi-pundi kekayaan, ironisnya masyarakat tersebut
menonton dalam keadaan perut yang keroncongan, daya tahan tubuh lemah karena
rawan penyakitan di lingkungan mereka yang kumuh dan dekil dan tidak punya uang
membeli obat di apotek yang kian hari kian mahal. Lewat penalaran deduktif yang
sederhana saja kita dapat menyimpulkan bahwa setiap lahir satu orang kaya raya,
maka disisi lain dunia hanya akan menciptakan satu orang yang luar biasa
melarat diluar sana, entah siapa orang malang tersebut. Selaras dengan
pernyataan Ali bin Abi Thalib: “tidak ada orang yang berfoya-foya kecuali ada
hak orang lain yang dirampas.”
Percepatan
kemajuan teknologi dan industrialisasi telah melahirkan poros setan besar yang
secara terselubung bersembunyi di tengah reriuhan umat manusia, tengah berdiri
tegak sesosok iblis yang bernama “pabrik kecantikan”. Polusi yang ditebarkan
adalah polusi fisik yang bergerayangan secara halus dan hampir tembus pandang,
pada alurnya yang tertentu akan sangat mungkin menyebabkan peta masalah yang
terstruktur dan masif yakni permasalahan sosial dan berujung pada problematika
moral. Maka apa lagi yang perlu kita pikirkan tatkala sadar akan ini, selain
perlunya gerakan perlawanan atas kekerasan simbolik terhadap perempuan di ruang
publik ini. Dalam latar belakang penulisan teks ini, telah diketahui bahwa
penulis ingin meyampaikan gagasan Tauhid sebagai solusi atas permasalahan yang
berkecamuk atas. Akan tetapi ada beberapa variabel yang penting untuk diurusi
dulu, yakni, tentang siapakah yang berkewajiban dan pantas untuk menerima
kehormatan untuk melakukan perlawanan atas kekerasan ini?
Bila kita
telusuri secara general, teks ini mungkin adalah sebentuk dekontruksi terhadap
realitas sosial yang terjadi, yang secara tidak langsung adalah menawarkan
uluran tangan kepada kaum perempuan yang dieksploitasi di era hiper-realitas
ini. Perempuan merupakan korban dalam akumulasi modal pribadi. Bisa saya
katakan juga, bahwa dalam konteks ini perempuan adalah kaum-kaum musthad’afin (kaum yang tertindas). Lalu
apakah kemudian secara gamblang kita mengasumsikan bahwa perjuangan pembebasan
dan spirit feminisme ini hanyalah terbatas pada kaum-kaum perempuan saja? Dan
apakah benar juga bila kita secara tidak langsung harus berasumsi bahwa kaum
laki-laki tidak berhak dan tidak perlu untuk ikut berjuang melawan dalam kubu
perempuan ini? Tentu saja tidak. Bukankah rasulullah Muhammad SAW mengatakan
perempuan adalah pendamping yang paling baik untuk lelaki, dan begitu juga
sebaliknya bahwa lelaki adalah pendamping paling baik untuk perempuan. Maka
lelaki juga berkewajiban untuk memperjuangan apa yang diperjuangkan oleh
pendampingnya (baca: perempuan). Wacana feminisme, meskipun isu sentral yang
diangkat adalah tentang pembebasan perempuan dari jerat-jerat kapitalisme,
bukan berarti bahwa kewajiban perjuangan ini secara ekslusif diemban oleh kaum
perempuan saja. Buktinya Muhammad SAW merupakan seorang feminisme sejati,
karena telah membebaskan wanita-wanita di zaman Jahiliyah dari kebodohan dan
kehinaan. Lelaki juga mampu dan berkewajiban untuk membela kaum perempuan dalam
konteks ini, karena perjuangan ini bukanlah perjuangan ekslusif tetapi haruslah
menjadi gerakan kolektif.
Dalam bukunya,
Mohammad Guntur Romli menyebut laki-laki yang mengambil peran di perjuangan
feminisme ini sebagai male feminist.
Meskipun tidak sedikit gagasan ini diterjang dan dihempas oleh badai kritik
sebab konsekuensi dari suatu gagasan yang kuat adalah dia harus bertahan hidup
goncang-gancing kritik publik. Guntur Romli memaparkan pada akhir bukunya
bahwa: “kontribusi para laki-laki dalam wacana perempuan sangat tepat
ditempatkan pada ranah male feminist... lalu
datanglah hujatan. Gelar-gelar yang kontra-produktif misalnya sebutan ‘pembela
pempuan’, ‘pelopor pembebasan perempuan’ atau ‘bapak feminisme’.
Sebutan-sebutan ini secara tak sadar telah mengungkapkan adanya kesenjangan
jender: derajat laki-laki dianggap lebih tinggi dari perempuan...”[27] Secara
tidak langsung, terdapat satu gagasan yang tumbuh subur dalam alam bawah sadar
masyarakat yang didominasi oleh kebudayaan patriarkhi ini. Sejak zaman dahulu
sampai sekarang, lelaki selalu memegang peran seakan-akan posisinya lebih tingg
dari permpuan. Hal itu yang kemudian menghambat pembebasn perempuan dalam
kekerasan ruang publik ini. Fenomena ini saya sebut sebagai ego gender, hanya
menimbulkan kesenjangan sosial dan berpotensi memendam problematika moral
apabila tidak diatasi. Sehingga dalam proyek besar liberalisasi dan emansipatif
ini, sebelumnya perlu bagi kita untuk membongkar terlebih dahulu mitos-mitos
yang menjerat citra perempuan sebagai mahkluk kelas dua. Akan kita bongkar
issue ini dari dua dimensi yakni dimensi teologis-transedent dan antropologis-imanent.
Akan tetapi karena yang dibahas dalam konsep dimensi teologis-transedental
adala aspek mengenai tafsir terhadap posisi perempuan, sedangkan dalam teori
tafsir/hermeneutika, bahwa hasil interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh
kondisi historis dan kultural dimana sang penafsir berkecimpung, maka akan
lebih sistematis apabila kita membongkar terlebih dahulu dimensi
antropologis-imanen untuk meruntuhkan mitos-mitos superioritas patriarki atas
kaum perempuan.
B.
PERSPEKTIF
ANTROPOLOGI BUDAYA[28];
SEBUAH PROYEK DEKONSTRUKSI
Dalam perspektif
antropologi budaya, manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa simbol
sama sekali sehingga sering dikatakan bahwa manusia adalah binatang yang
membutuhkan simbol (anymal symbolicum)
oleh E. Cassirer atau yang akrab di telinga yang menggeluti hermeneutika dan
semiotika adalah makhluk penafsir (interpreter
being). Manusia adalah makhluk yang senantias menggunakan perantara simbol
untuk saling berinteraksi dengan alam sekitarnya. Sistem tanda dan simbol
berfungsi untuk menjadi media komunikasi agar bisa saling memahami makna.
Professor Van Peursen melukiskan hal ini secara komprehensif dalam strategi
budaya beliau, bahwa umat manusia barangkali telah melewati tiga fase
kebudayaan yang besar. Yakni primitif – ontologis, dan – fungsionalis.[29]
Perubahan tersebu merupakan hasil dari interpretasi umat manusia terhadap kuasa
alam di sekitarnya.
Kata
“kebudayaan” sendiri berasl dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an
dapat diartikan ebagai hal-hal berkaitan dengan akal. Ada sarjana lain yang
mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti daya dan budi.
Karena itu mereka membedakan budaya dan kebudayaan. Demikianlah budaya adalah
daya dan budi berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil
dari cipta, karsa dan rasa itu. Lebih tepatnya, menurut Koentjaningrat
kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.[30]
Diskriminasi dan alienasi terhadap perempuan dalam ruang publik sejatinya
memendam landasan pemikiran serta tindakan yang bersenyawa dalam perjalanan
budaya umat manusia. Sehingga sangat perlu bagi kita pertama-tama untuk melacak
akar ada hal ikhwal diskriminasi ini.
Hanya saja
memang dalam upaya itu, akan mengalami kesulitan referensial dalam
perjalanannya. Yang terlampau sering dijadian referensi tunggal, malah adalah doktrin
dari Friedrich Engels tentang asal-usul keluarga. Namun dengan segala
keterbatasan itu, upaya pemaparan data serta asumsi harus terus digalakan.
Telaah dan diskursus mengenai konteks ini begitu minim dan sukar referensinya
dalam bidang antropologi. Agaknya dilatarbelakangi oleh ciri-ciri bahwa masih
begitu sedikit tokoh-tokoh perempuan yang menjadi pelaku penyelidikan
antropologi budaya. Sehingga bahkan, untuk mencari asal muasal dikotomi budaya
patraiarkal dan matriarki masih begitu kesulitan.
Pada
masa sebelum munculnya kepemilikan pribadi dan kelas-kelas, kedudukan sosial
perempuan dan lelaki adalah setara. Pada masa yang disebut sebagai masa Komunal
Primitif, dengan corak masyarakat yang disebut masyarakat pemburu dan pengumpul
(hunter-gatherer societies), produksi
sosial ditata secara komunal dan hasilnya dibagi rata. Inilah masa bentuk
pertanian belum ditemukan. Memang ada pembagian tugas yang berdasarkan umur
atau jenis kelamin, tetapi semua orang melebur dalam satu kelompok sosial.
Tiada basis material untuk adanya hubungan sosial yang eksploitatif.
Keadaan
mulai berubah, ketika cara pertanian mulai ditemukan. Kaum perempuan lah yang
sebenarnya mulai menemukan cikal bakal pertanian: mereka yang bertugas
mengumpulkan buah-buahan dan biji-bijian melihat bahwa benih dari tanaman yang
mati dapat menumbuhkan tanaman lain yang hidup. Cara atau proses ini bisa
dilakukan secara sengaja. Ditemukannya teknik pertanian -yang diikuti dengan
penemuan cara peternakan- segera mengubah sistem sosial dalam masyarakat.
Mulailah muncul keinginan untuk memperoleh dan menyimpan hasil yang
sebesar-besarnya. Keinginan itu pada mulanya baru berwujud dalam bentuk
kelompok sehingga terbentuklah suku-suku, klan atau marga; tetapi lama kelamaan
keinginan tersebut mewujud dalam bentuk individualistik.
Pada
masa munculnya suku-suku, manusia menemukan cara untuk memperbesar hasil
produksi pangan dengan cara ekstensifikasi, yakni memperbesar jumlah orang yang
bekerja di bidang pertanian. Semakin banyak orang yang bekerja, maka akan
semakin banyaklah lahan yang bisa dikerjakan, otomatis, semakin besarlah pula
hasil yang didapat. Cara apa yang bisa dilakukan untuk memperoleh tenaga kerja
yang sebanyak-banyaknya? Caranya ialah, perempuan sebagai kunci reproduksi,
digeser perannya sebagai "pemroduksi" anak. Inilah masa sistem sosial
yang memaksa perempuan harus tinggal di rumah untuk membesarkan anak.
Lama-kelamaan,
sejalan dengan semakin besar hasil yang diproduksi, pola kepemilikan secara
suku bergeser menjadi kepemilikan pribadi. Peran perempuan semakin tergeser, ia
sekarang menjadi "properti" milik suami dan dijerembabkan ke dalam
sistem yang bernama keluarga. Sistem keluarga inilah yang semakin meminggirkan
peran perempuan, di mana peran perempuan hanya sebagai penghasil keturunan,
pemelihara anak dan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik (rumah tangga).
Mulailah suatu periode di mana ketertindasan perempuan dilembagakan dalam
sistem keluarga. Bahkan kata family (keluarga) asal mulanya dari bahasa Latin
yakni famulus yang berarti budak
dan familia, yang berarti jumlah keseluruhan budak yang dimiliki oleh
seorang lelaki.[31]
Meskipun
begitu, sebagaimana menurut Engels, penindasan dan diskriminasi terhadap
perempuan tidak selalu muncul dalam sejarah.[32]
Benar bahwa bahkan di awal sejarah manusia di suatu periode yang disebut
“komunisme primitif”, dimana kondisi-kondisi keterbelakangan berarti suku-suku
harus bekerjasama demi memenuhi kebutuhan dasar, dan juga tidak ada nilai lebih
untuk menghasilkan laba-kerja laki-laki dan perempuan dibagi berdasarkan jenis
kelamin. Untuk alasan-alasan biologis perempuan perlu merawat anak-anak dan
dengan demikian peran mereka dalam produksi pangan berdasarkan pengumpulan
dekat tempat tinggal sementara laki-laki berburu. Bagaimana pun juga terlepas
dari pembagian kerja, kaum perempuan tidak dipandang sebagai kaum yang inferior
atau lebih lemah dibandingkan kaum laki-laki dan status mereka terbantu dengan
fakta bahwa keluarga dilacak melalui garis ibu, karena tanpa pernikahan dan
ketaatan sebagai norma sosial mustahil memastikan siapa bapak dari seorang
anak.
Revolusi
Neolithic memunculkan alat-alat dan domestifikasi binatang yang muncul pertama
kali dalam sejarah manusia, sehingga tidak hanya memungkinkan pemenuhan
kebutuhan dasar namun juga penciptaan nilai lebih. Penciptaan nilai lebih
menandai awal masyarakat kelas yang baru karena kini mustahil bagi beberapa
orang untuk menjual nilai lebih untuk laba, maka mulai memunculkan perbedaan
antara yang kaya dan miskin. Sedangkan sebagian mulai menimbun kekayaan mereka
juga mulai membeli budak dan membayar orang lain untuk menggarap tanah;
sehingga disini kita menyaksikan contoh awal dari penggarap dan tuan tanah.
Proses
ini mengakibatkan kaum perempuan dinilai sebagai kaum inferior atau lebih lemah
dibandingkan laki-laki di masyarakat, karena melalui kerja laki-laki, lah, laba
dihasilkan. Penciptaan nilai lebih juga memunculkan hak waris. Semakin tinggi
status seseorang berarti bahwa keluarga tersebut dilacak melalui garis
keturunan laki-laki, yang kemudian mengharuskan pemaksaan kepatuhan perempuan.
Disinilah kita menyaksikan asal-usul pernikahan. Dan disinipula kita memahami
hal ikhwal dominasi patriarkal dan superioritas maskulinisme yang mewabah dan
menjerat kehidupan kaum perempuan.
Perlakuan
serta kebiasaan yang dipraktekkan sejak saat itu, telah membelukar dan
menyebabkan sejarah panjang atas diskrimiasi wanita sebagi mahkluk kelas dua.
Apabila dianalisis maka laki-laki adalah prioritas sedangkan perempuan
belakangan; laki-laki adalah yang pertama sedangkan perempuan terakhir;
laki-laki adalah subjek seksual sedangkan perempuan adalah objek seksual;
laki-laki kuat secara fisik sedangkan perempuan sangat lemah; laki-laki sangat
identik dengan kekuasaan sedangan perempuan sangat identik dengan kelemahan;
laki-laki adalah sumber dari harga diri sedangkan perempuan adalah sumber dari
rasa malu; laki-laki adalah kepala rumah tangga, dalam artian bahwa makna
“kepala” menandakan lokus dari segenap raga. Dominasi tersebut akhirnya
menggurita, melahirkan sejarah seksualitas yang kelam lewat praktek-praktek
masyarakat kuno seperti yang saya bicarakan pada permulaan teks.
Sedangkan
oposisi dari budaya patriarkal ini adalah budaya matriarkal yakni budaya dimana
perempuan lebih mendapatkan posisi yang baik di dalam masyarakat. Lebih
jelasnya patriarkhi adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki
selaku sosok otoritas utama yang sentral dalam organisas sosial. Sosok ayah
memiliki otoritas dan kendali penuh terhadap isteri, anak-anak serta harta
benda. Kebanyakan sistem patriarki adalah juga bersistem patrilinear. Patriarki
adalah konsep yang berekses ke distribusi keuasaan dimana laki-laki memiliki
keunggulan dalam satu atau lebih aspek, seperti penentuan garis keturunan
(keturunan patrilineal ekslusif dan membawa nama belakang), hak-hak anak
sulung, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik,
dan politik atau agama atau atribusi dari berbagai pekerjaan pria dan wanita
yang ditentukan oleh diferensiasi kerja secara seksual. Sedangkan dalam sistem
budaya matriarkal, yang terjadi adalah sosok ibu merupakan sentral dari
masyarakat. Contohnya, adat di Padang, bahwa subjek yang melamar dalam konteks
menginginkan pernikahan adalah dari pihak perempuan. Sayangnya asal muasal dari
kelahiran budaya patriarki dan matriarkal ini susah untuk dilacak kebenarannya
secara ilmiah, dikarenakan mungkin sangat sedikit para pelaku antropologi
budaya dari kalangan perempuan.
Kelanggengan
posisi laki-laki yang lebih mendominasi agaknya telah menyelinap dan tertanam
teguh bak implan yang tertancap di alam bawah sadar hampir seluruh peradaban
yang pernah ada. Kekhasan peradaban yang menanam gagasan patriarki secara total
telah menyerahkan kekuasaan pada laki-laki dan perempuan – secara tidak
langsung – terpaksa hidup dalam ketertundukkan. Foucault menyebut kekhasan yang
terimplan itu sebagai episteme. Dan
satu-satunya cara untuk membedah episteme
itu hanyalah dengan cara arkeologis. Metode arkeologi ini menuntut peneliti
untuk mencermati “artefak-artefak” peradaban layaknya kerja seorang arkeolog
meneliti setiap detail peninggalan purbakala. Sebab, menurut Foucault, episteme bukanlah apa yang muncul di
permukaan peradaban, tetapi apa yang tersembunyi dibaliknya, yang gelap, rapat,
dan dalam. Episteme adalah “sistem
tersembunyi” dari dominasi pengetahuan pada masa tertentu itu.[33]
Dominasi
maskulin atau kelaki-lakian dalam panjangnya perjalnan umat manusia, telah
membuktikan bahwa perempuan senantiasa berada pada posisi yang terkebelakang,
terisolir secara penuh, meskipun memang ada segelintir masyarakat yang sempat
meloloskan kelegaan wanita di rang publik dengan semangat keadilan gender.
Ketertindasan yang berlarut-larut telah membuat seorang perempuan asal Perancis
Simone de Beauvoir menuliskan pengalamannya sebagai perempuan di dunia modern
Eropa dan berhasil membaca episteme masyarakat
patriarkal. Istilah yang hendak diajukan Beauvoir sebagaimana menjadi judul
bukunya, “kelamin kedua” (the second sex)
telah menimbulkan pemahaman yang menggerakkan bahwa perempuan memiliki
syarat-syart yang cukup untuk berada setara dengan laki-laki dalam berbagai
aspek dan kegiatan manusia.
Makhluk
manusia yang disebut perempuan itu bukan
semata sebuah perhiasan yang disediakan oleh dunia ketika mereka sudah menjadi
dewasa. Berperean dalam berbagai profesi dan keahlian, tapi tetap dianggap
sebagai warga kelas dua. Akibat dari konstruk yang mendalam terhadap peran
kelamin kedua itu, posisi perempuan tereksploitasi sedemikian rupa degnan
perkembangan modernisasi dunia. Mulai dari pencitraan tubuh dalam kosmetologi,
periklanan, industri hiburan sampai prostitusi serta budaya massa (mass culuture) pada umumnya, telah
memerangkap peran perempyan bukan lagi sebagai subyek seks yang setara. Akan
tetapi telah berkembang mejadi subyek seks yang diobyektifikan dengan berbagai
produk teknologi dan industri. Dengan kata lain, subyek seks perempuan menjadi
etalase budaya hedonis yang cukup renyah dan nikmat untuk dinikmati. Karena itu
pemahaman kelamin kedua secara sengaja telah dijadikan perbendaharaan
pengetahuan lain terhadap relasi-relasi subyek seksualitas yang kompleks dan
bermuara pada nilai-nilai kenikmatan belaka. Seolah-olah seksualitas perempuan
menjadi obyek seks yang dapat dimanipulasi secara semena-mena.[34]
Secara tidak
langsung, apabila kita meminjam terminologi Foucault yakni, sejarah
seksualitas, mungkin akan lebih memudahkan kita untuk memperoleh keyakinan
bahwa sejarah seksualitas tidak lebih dari tumpukan pengetahuan dan kekuasaan
yang mendominasi sistem historis. Menelisik dokumentasi atas pemikiran Foucault
oleh Heremy Carette, telah menyumbangkan pengetahuan bahwa Foucault membongkar
sejarah seksualitas yang pada awalnya berjalan di atas aras seni erotis pada
era Yunani Kuno. Hingga akhirnya, pada era dimana Kristen berselingkuh dengan
sistem Monarki, maka diciptakanlah mitos-mitos tentang seksualitas sehingga
akhirnya seksualitas adalah hal yang tabu untuk dibicarakan di ruang publik.[35]
Kenyataan ini berhasil membentuk episteme
yang kokoh selama berabad-abad lamanya, hingga pada suatu hari Freud
mencoba membongkar tabir misterius tersebut demi kepentingan psikoanalisanya.
Tidak ayal lagi, bahwa paradigma seksualitas Eropa pada abad-abad dimana sistem
Teokrasi berjaya, seksualitas dikendalikan oleh kekuasaan-kekuasaan pastoral.
Mitos-mitos kemudian dimunculkan sebagai upaya kontrol atas ketertundukan
manusia pada kehendak Gereja.
Yang perlu kita
ambil disini adalah bahwa untuk melanggengkan kekuasaan dan melemahkan posisi
tawar perempuan di ruang publik, maka diciptakanlah mitos-mitos tertentu
tentang perempuan untuk mengontrol jalannya dominasi maskulin dan inferioritas
perempuan. Misalnya yang begitu populer di masyarakat kita adalah bahwa tugas
perempuan itu hanya tiga saja secara mendasar yakni sumur, dapur dan kasur.
Pada konteks ini, perempuan tidak dibedakan lagi dengan semacam robot,
komoditas atau benda yang dapat menghasilkan kenikmatan bagi para laki-laki.
Perempuan diobjektivikasi sedemikian rupa sehingga direduksi posisinya sebagai
objek seksual dan lebih meneguhkan perkataan Simone tadi; kelamin kelas dua. Lewat
mitologisasi perempuan digiring untuk hanya berdiam diri dirumah dan diasingkan
kesempatannya dalam ekonomi, pendidikan, budaya, politik, militer, dan lain
sebagainya.
Inferioritas
perempuan terus menerus diproduksi oleh budaya manusia. Trend-trend isolasi
berkembang dengan wajah dan doktrin yang kian hari kian hebat serta memukau.
Agitasi Propaganda disebarkan di ruang publik bahwa perempuan adalah sumber
rasa malu, dosa, kehinaan, keterpurukan, kelemahan, ketundukan, kepasifan, dan
lain sebagainya. Seakan-akan semua yang melekat pada diri perempuan itu
hanyalah citra-citra dengan konotasi negatif saja. Sedangkan laki-laki adalah
sebaliknya, mereka adalah sumber dari harga diri, martabat, pujaan, kebangkitan,
semangat, kekuatan, kekuaaan, keaktifan dan lain sebagainya yang bersifat
positif. Maka oleh karena itu laki-laki berada satu kelas di atas wanita, lebih
superior dalam berbagai aspek. Gagasan inilah yang diam-diam tertanam
dalam-dalam dan tumbuh sekekar-kekarnya hingga ke angkasa, yang telah
bersenyawa dengan episteme dunia.
Sekarang,
dikaitkan dengan konteks pembahasan kekerasan simbolik di ruang publik rupanya
sangat menyimpan relevansi yang erat tautannya dengan konteks budaya ini. Bahwa
salah satu cara mengakhiri kekerasan simbolik terhadap perempuan di ruang
publik ini adalah dengan membongkar terlebih dahulu mitos-mitos yang mengontrol
alam bawah sadar umat manusia, yang telah menciderai level perempuan hingga ke
titik yang selalu negatif dan terkebelakang. Gerakan perlawanan ini harus
didahului dengan membongkar episteme, mengobrak-abrik
mitos-mitos tersebut dan menawarkan suatu gagasan sebagai pengganti gagasan
lama yakni apa yang disampaikan oleh para penganut Feminisme Barat sebagai
Kesetaraan Gender.
Hal ini telah
memancing reaksi emosional Simone yang sudah tidak bisa tertahankan lagi. Dia
lalu melakukan gerakan perlawanan terhadp dominasi patriarki dan penciptaan
mitos-mitos yang mengkungkung perempuan. Dengan menyederhanakan gerakan itu
sebagai peran, pandangan filsafat vitalisme Albert Camus dapat dirujuk sebagai
“reaksi kesadaran” perempuan dengan ungkapan yang sangat dikenal: “berontaklah,
aku ada” atau dengan bahasa yang lebih radikal :”lawanlah, maka kehadiranku
diakui”. Sebagai gerakan pemikiran, filsafat pemberontakan yang diambil alih
oleh gerakan feminisme telah mewadahi salah satu fungsi kritik (ginotrika) yang menjadi hak perempuan
dalam mengutarakan subyek kehadirannya. Pada akhirnya, feminisme dapat
dilecutkan sebagai filsafat hidup perempuan yang hendak menyarakan kembali
posisi dan peran serta eksistensi mereka dalam berbagai lapangan kehidupan.
Kekuatan
feminisme ini bergerak dalam berbagai macam issue menyangkut keperempuanan.
Kaum feminisme telah berhasil membuktikan bahwa mereka itu berhak untuk
diperlakukan setara dengan laki-laki agar supaya stratifikasi kelas berdasarkan
jenis kelamin tersebut bisa runtuh hingga berkeping-keping. Kaum feminisme
mampu membuktikan bahwa perempuan memiliki syarat-syarat yang cukup untuk berada
setara dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Bahkan, menurut
Hillary Clinton, semakin banyak perempuan memenuhi kuota di parlemen, maka
tingkat korup dan kejahatan administratif (abuse
of power) terkikis dalam artian berkurang. Perempuan juga harus diberikan
ruang dalam lapangan budaya, pendidikan,militer, politik, ekonomi dan
lapangan-lapangan lainnya yang berserakan di ruang publik kita. Perempuan tidak
lagi sekedar objek seksual dan komoditas laki-laki yang berfungsi untuk
menyerahkan dirinya sepenuhnya demi kepuasan laki-laki. Perempuan tidak harus
bekerja di dapur dan sumur tatkala dia mampu dan mempunyai pembantu rumah
tangga,atau tugas tersebut digantikan atau diambil alih oleh sang suami. Dalam
urusan kasur, perempuan bukan lagi sekedar mainan seksual (sex toys) laki-laki yang hanya digunakan ketika diingikan dan tidak
dipedulikan ketika sudah orgasme. Perempuan juga mempunyai hak untuk menuntut
kebahagiaan seksual dan tidak dijadkan objek seksual oleh laki-laki. Perempuan
juga telah berhasil memecahkan mitos bahwa permpuan adalah makhluk yang lemah,
buktinya tidak sedikit perempuan yang bisa kungfu, silat, tinju dengan badan
kekar berotot yang seringkali mampu mematahkan lengan atau rahang laki-laki
manapun.
Gerakan
perempuan dalam upaya pembebasan ini akhirnya menyeruak ke publik. Satu persatu
problematika mereka kaji secara teliti dan mendetail demi solusi yang cerdas,
kritis, kreatif dan inovatif. Sudah tercatat betapa banyaknya issue yang mereka
perjuangkan dalam konteks ini. Issue-issue yang telah menjadi tema sentral dan
memporos dalm gerakan feminisme misalnya adalah tentang maraknya tempat
prostitusi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang notabene banyak dilakukan
oleh laki-laki, pemerkosaan oleh ayah (incest),
jaring-jaring traficking (perdagangan
manusia), Fesyen (fashion) atau
jebakan gaya hidup, objek pornografi, aborsi, kuota dalam parlemen, dan lain
sebagainya. Issue-issue tersebut bergerak, beriringan dengan yel-yel kebebasan
perempuan dan euforia akan karena kenyataan tentang kesetaraan dan keadilan
jender rupanya lebih indah dari patuh dan tunduk total pada laki-laki.
Disamping semua itu, radikalitas serta sikap kritis kaum perempuan tetap
menjalar. Bahan mencoba untuk menguak dan melakukan kritik tajam atas pembacaan
kitab suci yang selama ini selalu kita asosiasikan sebagai hal yang sakral.
Setelah mitos-mitos perempuan telah rampung terbahas, maka barulah kita pantas
untuk membongkar satu lagi gembok yang memenjarai kebebasan perempuan, yakni
problematika teologis dalam khazanah tafsir agama-agama dunia.
C.
TELAAH
DOKTRIN TEOLOGIS TENTANG KEPEREMPUANAN; MERINTIS REINTERPRETASI
Sebagaimana yang
telah diuraikan sebelumnya pada akhir sub-bab satu, bahwa pembicaraan tentang
tafsir teologis terhadap perempuan tidak afdol
apabila tidak didahului oleh pembahasan mengenai perempuan dalam relevansinya
dengan kebudayaan. Sebab penafsir sangat dipengaruhi oleh kondisi
spasial-temporal (ruang-waktu) dimana ia tinggal dan mengada saat itu. Dengan
demikian, dikarenakan sejak zaman dahulu budaya manusia telah menanamkan ke
alam bawah sadar peradaban (episteme).
Lantas dengan episteme tersebutlah
yang menjadi cikal-bakal dari lahirnya tafsir-tafsir teologis atau doktrin
serta dogma tentang perempuan yang perlu kita sadari rupanya posisinya sangat
sempit dihimpit oleh dominasi maskulinitas.
Posisi perempuan
sejak zaman kuno selalu dijadikan pembicaraan belakangan dan kepentingan mereka
dinomorduakan setelah kepentingan publik. Satu doktrin yang paling mengakar dan
terbukti jelas menjadi basis pemikiran dan legitimasi atas superioritas
maskulin, adalah tentang drama kosmos (kosmogoni) penciptaan manusia untuk
pertama kali; ayahanda dan ibunda seluruh umat manusia; Adam dan Hawa. Narasi
ini menjadi narasi besar dan mengandung daya terik magis tersendiri. Narasi
tentang penciptaan manusia dalam kitab-kitab suci agama, yang dalam hal ini
agama-agama Semitik/Ibrahimistik/Samawi/monotheisme (Yahudi, Nasrani dan Islam)
memiliki kesamaan struktur dan morfologi penuturan yang sangat besar. Bahwa
Tuhan menciptakan manusia pertama, yaitu Adam, dari tanah, kemudian
diciptakannya isterinya pula dari tulang rusuk Adam, lalu dibiarkan hidup dalam
surga penuh kebahagiaan, namun dilarang mendekati sebuah pohon tertentu dalam
surga itu. Adam dan istrinya, Hawa, melanggar larangan tersebut dengan akibat
manusia diusir dari Surga.[36]
Doktrin kosmogoni ini telah menjadi faktor yang sangat sering dikutip dan
diyakini oleh manusia, dan dalam beberapa hal tertentu, ada orang-orang yang
menuding menyalahkan Hawa karena telah menghasut Adam untuk memakan buah
terlarang. Mereka berkata, “karena Hawalah, seluruh umat manusia dipenjara di
Bumi, dan diusir dari surga yang nyaman itu”. Selain itu, menumbuh suburkan
stereotip bahwa perempuan merupakan makhluk pelengkap atau makhluk sekunder (the second creation) dan laki-laki
adalah makhluk utama atau makhluk primer (the
first creation).
Disisi lain,
yang sering menjadi pembelaan kaum laki-laki terhadap superioritas dirinya
dalam hal ini adalah doktrin bahwa perempuan adalah makhluk sekunder sedangkan
lelaki adalah makhluk primer. Karena mereka pikir, Tuhan sengaja menciptakan
manusia dari lelaki terlebih dahulu tanpa mempertimbangkan penciptaan perempuan.
Diketahui bahwa Adam merasa kesepian ketika pertama kali diciptakan, maka
kemudian Tuhan menciptakan pendamping Adam dari tulang rusuknya. Kenapa Tuhan
menciptakan Hawa dari tulang rusuk telah merangsang kaum laki-laki untuk
membuat sebuah filosofi “perempuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki yang
notabene terletak di dalam lindungan tangan, adalah menandakan bahwa lelaki
harus melindungi perempuan”. Filosofi ini kemudian secara tidak langsung telah
menjustifikasi perempuan sebagai makhluk yang lemah dan mudah rapuh sedangkan
lelaki adalah makhluk yang kuat serta perkasa. Laki-laki secara kodrati (fitrawi) berkewajiban untuk melindungi
perempuan yang lemah nian ini, dan perempuan memiliki hak asasi untuk
dilindungi. Kelemahan yang telah terlanjur melekat pada citra perempuan ini,
seringkali dijadikan alasan serta pembenaran untuk mengekang kontribusi dan
kesetaraan kesempatan yang sama bagi perempuan di ruang publik dalam hal
hubungannya dengan pria. Perempuan kemudian diisolasi dan diasingkan posisi
mereka di ruang privat saja yakni hanya punya kewajiban dalam mengurus rumah
selebihnya tidak ada. Sebagaimana mitos tentang sumur, dapur dan kasur tadi
yang sudah kita hancurkan berkeping-keping.
Sehingga yang
barangkali menjadi penting untuk dibedah dan titik awal kita berpijak dalam
rangka menelusuri dominasi maskulinitas dan inferioritas feminim dalam konteks
teologis, pembacaan ulang dan membangun tafsir baru serta membudayakannya
merupakan agenda besar yang tidak dapat ditolak sama sekali. Pembacaan ulang
serta perumusan ulang atas filosofi kosmogoni ini harus dirasakan ramah akan
kesetaraan jender, tidak mendiskreditkan kaum perempuan dan juga tidak
menanamkan keangkuhan kepada kaum laki-laki sebagai makhluk yang pertama kali
diciptakan. Pembacaan ulang atas doktrin kosmogoni dan mencari titik retak (diskontinuitas) yang telah
menyelewengkan tafsir yang harusnya murni objektifitas lalu tercampur baur
dengan kepentingan subjektif laki-laki untuk menyandarkan superioritas
kelaki-lakian mereka, adalah keharusan mengingat betapa pentingnya kritik
terhadap pengekangan peremuan di ruang publik ini. Tafsir teologis yang
mendominasi pikiran alam bawah sadar manusia, telah menjadi episteme yang kuat dan mengakar secara
fundamental dalam tatanan sosial. Sebab agama dianggap sebagai hal yang begitu
sakral, suci, luhur, agung, serta rigid (kaku)
yang seakan-akan anti-kritik. Maka ketika dogma teologis sudah menerima
kritikan dan menerima potensi untuk dibaca ulang, maka kaum perempuan telah
menemukan semacam titik terang dalam upaya memberantas konspirasi umat manusia
yang menyerahkan superioritas kelamin kepada laki-laki. Yang semua itu akan
kita awali dengan menggusur tafsir lama atas kosmogoni.
Upaya
tafsir ulang atau melacak akar dari salah paham ini kemudian digalakan oleh
banyak pemikr-pemikir teologis yang dalam uraian ini adalah dari
kelompok-kelompok muslim. Penyelidikan ini menuntut keterlibatan
pemikir-pemikir yang kritis dan diawli dengan pembacaan ulang Al-Quran sebagai
kitab suci dan sumber kebenaran tertinggi dalam epistemologi Islam. Metode
hermeneutika atau lebih populer dengan takwil[37]
terhadap sistem sintaksis dan gramatikal serta kontekstual ayat (asbab al-nuzul) dalam Al-Quran. Dengan
merujuk kepada beberapa ayat Al-Qur’an, penciptaan manusia dapat dikategorikan
kepada empat macam cara: (1) Diciptakan dari tanah (penciptaan Nabi Adam AS);
(2) Diciptakan dari (Tulang Rusuk) Adam (Penciptaan Hawa); (3) Diciptakan
melalui seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa ayah secara biologis
(penciptaaa nabi ‘Isa AS); dan (4) Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya
ayah secara biologis dan hukum, atau minimal secara biologis semata (penciptaan
manusia selain Adam, Hawa dan ‘Isa). Berikut ini adalah beberapa ayat yang berbicara
tentang empat macam cara penciptaan di atas: pertama, penciptaan Nabi Adam,
ayat yang menceritakan penciptaan Adam yaitu;Al-Fathir 35:11, ash-Shaffat
37:11, Al-Mukminun 23:12, Al-Hijr 15:26, Ar-Rahman 5:14, dan Ali
Imran 3:59.Kedua, penciptaan Hawa, ayat yang menjelaskan hal tersebut
adalah; An-Nisa, 4:1, Al-A’raf 7: 189, dan Az-Zumar 3:
196.Ketiga, penciptaan Nabi Isa, yaitu surat Maryam 19 :16-22. Keempat,
penciptaan Manusia lewat proses reproduksi, ayat yang menceritakan proses
tersebut adalah:As-Sajadah 32: 7-9, Al-Mukminun 23 12-14,
Al-Mursalat 77: 20-23, Ath-Thariq 86: 5-7, dan Al-Qiyamah 75: 36-40.
Menurut
Quraish Shihab, ungkapan dalam penggalan teks
tersebut tidak mempunyai kemungkinan lain, kecuali dalam pengertian
Adam. Atas dasar analisis munasabah
antara ungkapan kata itu dengan ungkapan “wa
batstsa minhumâ rijâlan katsîran wa nisâ`” yang jika dilihat dari tema
pokok ayat ini tentang perkembangbiakan manusia tidak mungkin dipahami di luar
konteks perkembangan manusia berasal dari pasangan Adam dan Hawa. Namun,
meski frasa penciptaan pertama mengacu kepada Adam, tidak berarti
bahwa Hawa diciptakan dari Adam sendiri, melainkan dari “jenis” Adam, karena
sebagaimana dikutipnya dari pendapat al-Thabâthabâ’î tidak ada petunjuk sama
sekali dalam nash ayat tersebut bahwa Hawa diciptakan dari Adam. Sedangkan,
hadis yang menjelaskan keterciptaan perempuan dari tulang rusuk bengkok hanya
secara metafor – perumpamaan bahwa Hawa diciptakan dari bahan yang sama (tanah)
dengan Adam. Atas dasar ini, penafsiran Quraish Shihab tentang nafs wâhidah memiliki persamaan
dengan penafsiran mayoritas ulama, seperti al-Biqa’i, al-Suyuthi, dan Ibn
Katsîr. Akan tetapi, pada kata minha,
penafsirannya berbeda dengan penafsiran kelompok ulama ini, dan memiliki
persamaan dengan al-Thabathaba’i, ‘Abduh, Abû Muslim al-Ishfahani, dan salah
satu takwil yang dikemukakan oleh al-Qaffâl.
Patut
dicatat bahwa penafsiran Quraish Shihab tampak mengalami pergeseran. Dalam
“Membumikan” al-Qur’an, kata nafs
wâhidah ditafsirkan sebagai “jenis yang sama”. Sedangkan dalam Tafsir
al-Mishbâh kata ini ditafsirkannya sebagai Adam as.dan kata “minha” sebagai jenis penciptaan yang
sama dengan Adam. Posisi pemikiran Quraish Shihab ini sama dengan penafsiran
al-Thabâtha’i. Bahkan, basis argumennya tentang korelasi kata nafs wahidah dengan ungkapan wa batstsa minhumâ rijalan katsîran wa nisa`
yang bertolak dari tujuan surah dan argumennya berkaitan dengan kata “minha” sebagai “jenis” yang sama dengan penciptaan Adam as. ditimba oleh Quraish
Shihab dari tokoh ini. Jadi, pemikiran Quraish Shihab yang semula sama
dengan ‘Abduh bergeser ke al-Thabâthabâ’î. Yang secara fungsional telah
menyeret khazanah tafsir atas penciptaan Adam dan hawa ke dalam ruangan yang
objektif murni dari tendensi subjektifitas kaum laki-laki dalam melegitimasi
superioritas jender. Dengan demikian tertolak juga filosofi bahwa perempuan itu
selau diasosiasikan dengan kelemahan karena diciptakan di balik lindungan
lengan laki-laki.
Selain itu
wacana yang begitu kritis dan menyimpan daya tarik begitu dalam selain tentang
kosmogoni ini, adalah wacana tentang antropoformis yang mengartikan teks-teks
Al-Quran sangat harfiah. Sosok Tuhan yang sejatinya bersifat
immaterial/transenden/tidak terbatas kemudian lalu ditubuhkan secara fisik (jism). Karena pembacaan atas
karakteristik Tuhan itu hanya dapat diperoleh lewat wahyu[38].
Upaya membongkar pemaksaan terhadap sifat kelaki-lakian Tuhan dapat dilacak dan
dibongkar dengan analisis kontekstual terhadap pemaknaan dan tafsir atas kitab
suci. Dawam Rahardjo mengupas akar persoalan ini dengan sangat tajam dan
fundamental pada pendahuluan buku Metodologi Studi Al-Quran.[39]
Bahwa permasalahan para mufasir ternyata berusaha memahami konteks sosial dan
konteks sejarah dari teks itu sendiri ketika diturunkan. Sebab, dalam ilmu
tafsir al-Quran dikenal pengertian asbab
al-nuzul, sebab-sebab atau latar belakang turunnya suatu ayat atau surat.
Contoh yang populer adalah penafsiran surat al-Ashr sebagaimana dilakukan oleh
Allamah Thaba’thaba’i dalam tafsir Al Mizan. Tuhan memang tidak memiliki
konteks sosial, tapi teks itu sediri memiliki konteks sosial. Dari pengertian inilah
lahir konsep tafsir kontekstual yang mempelajari konteks sosial dan historis
ketika suatu ayat atau surat itu diturunkan, dan kemudian diproyeksikan,
melalui metode analogi atau qiyas dengan
melihat perubahan sosial ketika ayat atau surat itu ditafsirkan atau dipahami
maknanya atau esensinya, misalnya memahami ayat mengenai riba, poligami atau
relasi jender pada zamankontemporer. Hasilnya memang bisa merupakan pemahaman
baru untuk memecahkan masalah-masalah kekinian. Di sini, kontroversi ilmu
tafsir dan hermeneutika bisa direkonsiliasikan.
Lain halnya jika
ilmu mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu fenomena sejarah, sebagamana telah
ditulis Karen Armstrong.[40]
Disini Tuhan dipandang sebagai fenomena sejarah yang lahir atau dilahirkan pada
suatu waktu dan tempat tertentu. Dalam artian Tuhan bukanlah wujud objektif
tapi hanyalah akumulasi dari perkembangan gagasan manusia. Teori evolusi
Durkheim mengatakn bahwa Tuhan itu dalam konsep monoteisme lahir pada masa
peradaban agraris. Diramalkan bahwa di masa peradaban industrial Tuhan tidak
lagi dipercayai eksistensinya. Hal ini hampir senada dengan pernyataan Weber
bahwa dasar makna hidup (the ground of meaning)
yang ditawarkan agama, dianggap tidak populis pada masyarakat modern yang
notabene tidak bersifat religius tetapi rasional.[41]
Dalam konteks pandangan ini, Tuhan diproyeksikan kepada seorang yang dianggap
sebagai pengarang wahyu, yaitu nabi. Di sini, sebagaimana dibahas oleh Eric
Fromm, Tuhan dalam injil Perjanjian Baru bahkan berbeda dengan Tuhan dalam
Perjanjian Lama.[42]
Tuhan
Musa adalah Tuhan yang keras dengan hukum-hukum-Nya yang direpresentasikan oleh
sepuluh perintah Tuhan di gunung Sinai (ten
commandments). Sedangkan Tuhan Perjanjian Baru di masa Yesus adalah Tuhan
yang lembut dan penuh kasih sayang. Tuhan di situ mempunyai latar belakang sosial
dan historis yang konkret. Namun dalam koteks pandangan ini, latar belakang
yang dicari bukanlah latar belakang Tuhan, melainkan latar belakang kelahiran
wahyu yang diturunkan pada seorang nabi. Betapa kita akan tercengang ketika
menyadari bahwa personifikasi atas wujud Tuhan atau penubuhan (jism) sangat dipengaruhi oleh konteks
sosial-historis, sosio-kultural, aspek psikologis dan kepentingan subjektif
masyarakat terkadang. Misalnya bagi seorang yang concern terhadap wacana syariat
dan fiqh dalam Islam, maka sosok
Tuhan menjelma seakan-akan selaku hakim yang kaku, keras dan tegas. Sedangkan
bagi yang concern pada permasalahan
makrifat, Tuhan dipersonifikasi sebagai kekasih, candu, cinta, belas kasihan,
ekstase dan penyayang. Golongan kedua ini banyak kita temukan pada kelompok
sufistik dan mistisme. Mereka seringkali membuat tari-tarian, musik serta puisi
dalam mengekspresikan kecintaan pada Tuhan sebagaimana seorang pujangga yang
mabuk cinta kepada gadis pujaan dambaan hatinya. Lihatlah seperti Jalaludin
Rumi misalnya. Di samping kedua itu, bisa juga kita melihat sosok Tuhan yang
menjelma seakan-akan sebagai teroris yang berhasil direpresentasian oleh
kelompok radikal ISIS dan Al-Qaeda. Kita juga bisa melihat bagaimana FPI bisa
mempraktekkan keislamannya seakan-akan Tuhan adalah bos mafia atau bos preman
yang mengintruksikan mereka melakukan penggerebekan, diskriminasi, perusakan,
penghancuran dalam mengganggu keamanan serta ketentraman publik.[43]
Pembahasan
mengenai hubungan wahyu dan konteks itu berlanjut pada masalah hubungan antara
agama dan peradaban. Dalam kaitan ini, Nurcholis Madjij pernah mengutip pendapat
mantan menteri kebudayaan AS, John Garner yang pernah mengatakan bahwa semua
peradaban besar di dunia itu selalu berasal dari agama. Dari perkataan Garner
itu secara implisit terkandung pandangan yang membedakan agama dan peradaban.
Agama berasal dari Tuhan, sedangkan peradaban dan kebudayaan adalah hasil
ciptarasa dan karsa manusia. Dalam kaitan ini tersimpula pula pendapat bahwa
semua peradaban besar itu bersumber atau berakar dari suatu sistem kepercayaan
atau agama tertentu. Pandangan ini berkebalikan dengan pandangan sementara
kalangan antropolog, semacam Clifford Geertz bahwa agama itu merupakan bagian
atau bentuk, dan karena itu berasal dari kebudayaan tertentu. Pandangan ini
bertolak dari pengertian bahwa agama merupakan kebudayaan itu adalah suatu
sistem nilai atau sistem simbol yang kemudian mempengaruhi sistem kepercayaan
dan sistem sosial dalam masayarakat tertentu. Dengan kata lain, ketika
antropologi dan peradaban manusia berusaha sekuat tenaga menerjemahkan
hubungan-hubungannya dengan alam, agama malah memberikan jawaban tentang
hubungan-hubungan tersebut serta hal-hal yang terpendar di balik hubungan itu,
sesuatu yang bersifat metafisik, supraempirik, supranatural dan ghaib.
Proses memahami
dimensi-dimensi keagamaan tersebut akhirnya akan memberikan kita keinsyafan dan
kesadaran bersama, bahwa agama langit tidak melulu bicara tentang hal-hal yang
bersifat transendental, luhur, ghaib, tidak terlihat (invisible), batin, ukhrawi, yang
berada dalam hubungan vertikal manusia dan Tuhan (habluminallah). Tetapi juga mengatur tentang yang profan, imanen,
fisik, materialistis, ekonomi, budaya, etika, sistem sosial, negara, indvidu
dan masyarakat, peradaban dan lain semacamnya dalam diskursus mengenai hubungan
antar individu dengan individu, individu dengan masyarakat, individu dengan
kelompok sosial, kelompok sosial dengan kelompok sosial lain (outgroup), kelompok sosial dengan
masyarakat, dan masyarakat dengan masyrakat lain (the others) yang termaktub dalam relasi horizontal (habluminannass). Disamping itu juga
terdapat wacana tentang relasi manusia selaku mikrokosmos dan alam raya sebagai
makro-kosmos (hablu min bi’ah). Hal
ini yang mengantarkan Cak Nur untuk meyakini bahwa manusia adalah makhluk dua
dimensi dalam konteks memiliki hubungan vertikal dan horizontal. Ilustrasi yang
digambarkan beliau adalah perihal shalat, dimana shalat diawali dengan takbir sebagai representasi hubunga
vertikal dengan Tuhan dan diakhiri dengan salam sebagai representasi dari pola
hubungan antar manusia (horizontal).[44]
Pola
hubungan vertikal dan horizontal dalam makhluk dua dimensi
Dalam diskursus
filsafat Islam atau Islamic Studies, sesungguhnya
sudah bukan hal yang asing lagi bila kita mendengar terminologi dimensi
esoterisme dan eksoterisme. Dimensi Esoterisme adalah dimensi nilaiv (value) yang berintikan nilai-nilai
kebenaran, kebaikan, keindahan, keadilan, ketentraman, kedamaian dan lain
sebagainya. Dimensi ini berunsurkan nilai-nilai yang transedental, suci, luhur,
agung dan murni yang hanya dapat dirasakan lewat penikmatan batin, penghayatan
dalam penyembahan serta penyucian jiwa (tazkiyah
al-nafs) yang tidak akan pernah cukup dipelajari secara rasional dan
empiris. Sedangkan dimensi eksoterisme adalah dimensi fisik dan sosial yang
bersifat aplikatif, demonstratif dan implementatif sebagai konsekuensi dari
penghayatan-penghayatan batin. Contohnya adalah dimensi ritual, haji, shalat
dalam artian sosial, zakat, waris, dan lain semacamnya. Dimensi esoteris adalah
dimensi primer sedangkan eksoterisme merupakan dimensi sekunder. Sebagaimana
dengan demonstrasi yang sudah dipaparkan sebelumnya, bahwa shalat diawali
dengan takbir (representasi tentang perlu diawali oleh dimensi esoterisme) dan
diakhiri salam (representasi tentang perlu diakhiri dengan dimensi eksoterisme)
Karena Yahudi
dan Nasrani[45]
adalah Islam dalam arti yang sesungguhnya, maka terdapat keteraturan dan
kesinambungan antara satu dan lainnya. Dalam ruang lingkup nilai (value), harus diakui bersama bahwa
tujuan agama-agama Samawi atau Ibrahimistik ini sama yakni mengajarkan pada
kebenaran, kebaikan, keadilan dan lain sebagainya. Selain itu kesinambungan
antara tiap agama ini ditunjukan dengan adanya isyarat-isyarat akan kedatangan
agama dan nabi selanjutnya. Yesus mengatakan setelah kematiannya, dia akan
mengirimi murid-muridnya seorang Comforter
atau Paraclete (Roh Kudus), yang
akan mengingatkan mereka pada segala yang telah diajarkan dan membantu mereka
memahaminya.[46]
Dalam peprebedaharaan kata Syria, “Paracle” diterjemahkan sebagai munahhema, yang setelah kejadian itu,
menjadi terdengar seperti “Muhammad”. Orang Kristen Arab lainnya membaca periklytos, bukannya “Paraclete”, yang
dalam bahasa Arab diterjemahkan sebagai Ahmad.
Ini nama umum di Arab dan, seperti “Muhammad”, ini berarti “yang terpuji”.
Muhammad menyadari terjemahan itu karena Al-Quran merujuk pada kepercayaan
bahwa Yesus telah menceritakan adanya Nabi lain bernama “Ahmad” akan datang
setelah dia, dan akan mengonfirmasi pesannya.[47]
Argumentasi-argumentasi
tersebut melukiskan bahwa hubungan antara dimensi Esoterisme dan Eksoteris
adalah hubungan mutual affirmatif.[48]
Bahwa dimensi esoterisme tidak akan pernah berguna tanpa adanya dimensi
eksoteris dan begitu juga sebaliknya. Lalu yang terpenting dalam kajian ini
adalah, bagaimana kita bisa memahami nilai dalam kedua dimensi tersebut? Dalam
dimensi esoteris, nilai itu bersifat mutlak/absolut dan universal dalam artian
tidak dapat berubah (abadi) dan selau relevan dengan setiap waktu dan tempat
(spasio-temporal). Sedangkan sebaliknya, dimensi eksoteris bersifat relatif dan
partikular dalam artian selalu berubah-ubah sesuai kondisi zaman dan tempatnya
masing-masing. Sebagaimana yang dikatakan Ayatullah Muttahhari bahwa pada
hakikatnya hanya ada satu agama, yakni Islam. Agama Yahudi dan Nasrani[49]
pada awalnya adalah agama Islam, tetapi karena didistorsi oleh umatnya sehingga
Islam harus datang sebagai agama pelengkap. Semua agama tersebut sejatinya
mengajarkan hal yang sama, yakni Tauhid. Aka tetapi ritualisasi tauhid tersebut
dipraktekkan dengan cara-cara yang berbeda sesuai dengan kapasitas dan kesiapan
mental umat.
Logika
esoterisme dan eksoterisme tersebut juga tidak hanya berlaku secara ekslusif
dalam tataran agama Samawi tetapi juga bisa kita lihat dalam semua agama entah
itu agama langit (atau agama wahyu/monotheisme) maupun agama bumi (politheisme,
animisme, monotheisme primitif, paganisme, totemisme, dsb). Dalam prinsip
pluralisme agama, semua agama sejatinya mengajarkan tentang kebaikan yakni
nilai-nilai transedental sebagai upaya manusia mengharapkan jawaban atas bentuk
interaksinya dengan alam fenomena dan noumena. Hanya saja dimensi
ritualisasinya yang beragam-ragam. Buddha, Taoisme, Kong Hu Cu, Nasrani,
Yahudi, Baha’i, Islam dan semacamnya menghendaki perbuatan baik serta
kemanusiaan. Hanya saja implementasi atas nilai-nilai transedental tersebut
diekspresikan dengan cara yang tidak sama.
Begitupula
apabila kita melihat keadaan internal Islam yang terpecah dan terdiaspora
menjadi berbagai macam mahzab atau aliran pemikiran. Hanya saja harus diakui
bahwa semua itu sebenarnya bermuara pada satu nilai yang sama, yakni nilai
tauhid. Meskipun kita terbagi-bagi ke dalam berbagai jenis mahzab seperti
Sunni, Syi’ah, Khawariz, Wahabi, Muktazillah, Asy’ariah, Mujassimah, dsb, akan
tetapi satu prinsip luhur dan pasti yang dipegang oleh semua mahzab demikian
adalah Tuhan Allah itu Esa dan Muhammad merupakan utusan Allah selaku nabi
akhir zaman. Hanya saja ekspresi tauhid tersebut yang berbeda-beda. Ekspresi
itu dapat kita lihat dari pluralnya pemikiran di bidang fiqh, syariat,
makrifat, tareqat dan hakikat.
Kembali ke
konteks tentang feminisme, bahwa yang kita bahas sekarang ini adalah permasalah
maskulinitas Tuhan di mata agama. Dengan memahami secara sadar dan insyaf
paparan panjang lebar tadi, sesungguhnya paradigma maskulinias Tuhan, itu
berada pada dimensi Eksoterisme, yakni dimensi fisik. Dalam artian, gagasan
tentang Tuhan yang berwatak maskulin nilai kebenarannya bersifat relatif dan
tidak absolut sehingga masih sangat terbuka dan mungkin untuk dibaca ulang,
ditafsir kembali, agar nantinya mampu direkontekstualisasi dan reaktualisasi
selaras dengan kondisi kontemporer yang tentunya dalam judul makalah ini akan
menjadikan konsep tentang wajah Tuhan lebih ramah terhadap keadilan gender.
Mengenai persoaln wajah Tuhan di tiap agama dan mahzab, itu juga dipengaruhi
oleh bahasa serta sistem sosio-kultural dan sosio-historis tiap agama dan
mahzab pada saat itu. Yahudi melihat sosok Tuhan sebagai sosok yang keras,
karena tipikal Mesir pada zaman itu dibawah kekuasaan Firaun yang berwatak
otoriter dan diktator dalam pemerintahannya. Sehingga pemahaman masyarakat
Yahudi terhadap sosok pemimpin atau yang diagungkan, itu bersifat keras, tegas
dan lantang. Sedangkan Tuhan Nasrani bersifat cinta kasih dan penyayang, karena
sifat masyarakat Nasrani pada masa itu yang lemah lembut, yang butuh sosok
pemimpin atau sosok yang dituakan yang lebih bersifat pengasih lagi penyayang
terhadap masyarakat yang malam itu, yang diusir dari satu tempat ke tempat
lain. Sehingga datanglah Yesus sebagai pujaan mereka, telah memberikan
kesegaran dan pengasihan diri. Di tangan Yesus kemudian masyarakat Nasrani
merasa nyaman karena merasa telah dicintai lagi. Karena itulah Tuhan Nasrani
lebih bersifat cinta kasih.
Dalam konteks
Tuhan yang maskulin ini, sesungguhnya sangat terikat dan dipengaruhi oleh
kondisi budaya masyarakat Arab pada zaman itu. Sebagaimana yang telah
diuraikan, tipikal masyarakat Arab pra-Islam begitu didominasi oleh ego
kelaki-lakian yang kental serta akut. Sebagaimana yang terabadikan dalam
An-Nissa, tentang kebiadaban masyarakat Arab Jahiliyah. Mereka tega untuk
membunuh bayi perempuan yang baru lahir bahkan hidup-hidup, bagi perempuan yang
menjanda, maka anak pertamadari suaminya akan menjadi suami pengganti bagi sang
janda, dan bagi perempuan terdapat suatu tradisi amoral dimana perempuan
diperkosa ramai-ramai (gangbang)
hingga hamil. Posisi perempua mengalami dekadensi (bukan degradasi lagi!). Maka
bisa dengan jujur dan tanpa penyangkalan sekalipun, tradisi Jahiliyah atau
penerapan ideologi muru’ah pada masa kelam di Jazirah Arab saat itu sangat
maskulin-sentris, radikal, ekstrem atau marilah kita sebut sebagai patriarkhi
radikal.
Ekses-ekses
teologis dari akar budaya Arab, tercermin dengan gamblang dalam upaya antropoformisme
(penubuhan) sosok Tuhan yang sangat kelaki-lakian. Misalnya ayat yang
menggunakan kata huwa dalam bahasa
Arab, atau he dalam bahasa Inggris,
secara harfiah bermakna dia (laki-laki). Hal
ini menandakan bahwa pengaruh sosio-kultural dan sosio-historis telah
mempengaruhi sintaksis dan diksi (pemilihan kata) dalam teks al-Quran. Sachiko
Murata, berhasil menguraikan kesalahpahaman subjektif tersebut dalam Tao of Islam. Beliau mengatakan:
“Pemikiran tentang Tuhan berpusat pada nama-nama atau sifat-sifat Ilahi yang
diwahyukan dalam al-Quran, yang disebut sembilan puluh sembilan nama Allah (al-asma’ al-husna). Masing-masing dari
dua perspektif dasar itu – ketakterbandingan dan keserupaan – dikaitkan dengan
nama-nama atau sifat-sifat tertentu. Ketakterbandingan Allah mengingatkan kita
pada nama-nama seperti Mahakuasa, Maha Tak-Terjangkau, Mahabesar, Mahaagung,
Maha Pemaksa, Maha Pencipta, MAHATINGGI, Maharaja, Maha Pemarah, Maha Pembalas,
Maha Penghancur, Maha Pemusnah, dan Maha Penyiksa. Hadis menyebut kesemuanya
ini sebagai nama-nama keagungan (jalal),
atau hebat (qahr), atau adil (‘adl), atau murka (ghadhah). Dalam konteks ini, saya akan menyebut semuanya itu
sebagai “nama-nama yang”, karena
menekankan keagugan, kebesaran, kekuasaan, kontrol, dan maskulinitas...”[50]
Dengan pemaparan
yang panjang lebar dalam bukunya, Sachiko Murata berupaya untuk menetralisir
anasir-anasir serta asumsi bahwa Tuhan sejatinya berjenis kelamin laki-laki.
Meskipun prof Murata mengakui secara gamblang bahwa Tuhan yang dipersonifikasi
lewat bahas Al-Quran memiliki sifat-sifat maskulin (jalal), akan tetapi beliau coba untuk imbangi dengan argumentasi
bahwa Tuhan juga memiliki sifat-sifat serta citra feminim (jamal) yang inshaAllah akan dikupas tuntas pada bab selanjutnya.
Hanya saja sebelum kita mengakhiri pembahasa Tuhan yang maskulin ini, alangkah
lebih baiknya kita selesaikan proyek dekontruksi di sub-bab pembahasan ini.
Upaya dekontruksi tersebut bertujuan untuk membersihkan dahulu asumsi sesat dan
absolutisasi atas tafsir yang mengklaim Tuhan berjenis kelamin laki-laki. Hal
itu tidak bisa tidak kita upayakan tanpa menguraikan poin-poin sebagaimana
berikut: pertama, menelisik dan
mengkritik asal muasal antropoformisme dalam tradisi agama-agama, kedua, menghancurkan epistemologi
antropoformisme dengan nalar teologi negatif ala Ibnu Arabi, dan ketiga, mengkritik basis epistemologi
kelompok skriptualisme dalam rangka menawarkan metodologi hermeneutika
al-Quran.
Pertama,
upaya
untuk menelisik dan mengkritik asal muasal antropoformisme atau penubuhan Tuhan
adalah upaya yang strategis dalam agenda besar desakralisasi agama atau yang
lebih familiar dengan konsep sekularisasi ala Cak Nur.[51]
Selanjutnya, antropoformisme merupakan salah satu model dari sekurang-kurangnya
tiga model wahyu disamping berbasis pada konsep tanzil seperti di Islam dan bertunjang pada konsep “pendengaran”
seperti dalam tradisi Vedik (dari kata veda) di Hindu dan sejumlah agama Timur
lainnya yang non-teistik.[52]
Konsep tentang “penubuhan” firman Tuhan juga secara historis pada awalnya belum
diberlakukan pada Islam. Konsep ini sejatinya berakar dari tradisi politheisme
dan paganisme. Dimana orang-orang zaman dahulu menciptakan batu yang dipahat
dengan sedemikian rupa agar Tuhan mampu diinderai. Personifikasi tersebut
dilakukan karena manusia memiliki kecenderungan untuk berinteraksi secara
fisik. Kerinduan terhadap sosok Tuhan yang profan tersebut akhirnya
terkristalisasi dan menjadi mapan dalam tradisi-tradisi Shinto misalnya
(menuhankan matahari), Paganisme (menuhankan berhala), Buddha dan Hinduisme
yang mempersonifikasikan Tuhan lewat patung.
Tradisi seperti
ini sempat menggejala kembali pada masyarakat Yahudi semitik. Pada saat ketika
nabi Musa pergi ke gunung Sinai untuk menerima perintah Tuhan, masyarakat Mesir
saat itu pesimis dan skeptis karena ditinggalkan oleh sang messiah begitu lama.
Tumbuh keyakinan bahwa nabi Musa sudah meninggal dalam perantauannya.
Masyarakat Yahudi lalu membuat doktrin, interpretasi mereka sendiri, merombak
ajaran Musa lalu didirikanlah patung lembu emas untuk merepresentasikan sosok
Tuhan yang misterius. Kejadian tersebut terdokumentasikan pada surat al-Baqarah
(sapi betina). Setelah nabi Musa wafat, masyarakat Yahudi yang murtad kemudian
diusir. Lalu berabad-abad kemudian, peneguhan kembali atas sakralitas dan
penolakan atropoformisme Tuhan kembali menguat dalam masa dimana Maimonides
dmendapat otoritas untuk menjadi rabbi yang dihormati pada zamannya. Uraian
komprehensif tersebut terekam dengan jelas dan komplit oleh Erich Fromm[53],
bahwa saat itu telah muncul kecenderungan teologi negatif. Lewat ayat-ayat
tertentu dalam perjanjian lama dan kompilasi ceramah-ceramah rabbi Yahudi (kita
Talmud), dipaparkan bahwa segala sesuatu yang diberikan wujud, bahkan segala
sesuatu yang dapat kita kenali lewat nama, adalah berhala. Bahwa Tuhan yang
bernama, pasti bukanlah Tuhan. Agaknya hal itulah yang melatarbelakangi Tuhan
dinamakan YHWH, dan tidak boleh ditulis denga nama lengkap Yahweh. Sebab
apabila itu dilakukan, maka Tuhan telah bernama, dan apabila kita menyembah
Tuhan yang bernama tersebut tidak membedakan situasi dengan kita yang penyembah
berhala (paganisme).
Selanjutnya
setelah berabad-abad lamanya kecenderungan antropoformisme ini menghilang dari
peredaran masyarakat, kelak paham ini akan diwujudkan kembali di tangan
otoritas agama Nasrani. Lewat kajian-kajian kritis, dan upaya untuk menelaah
agama Nasrani agar memiliki model filsafat sendiri yang menjadi pembeda antara
agama itu dengan agama-agama selanjutnya, disusunlah suatu konsep yang kita
kenal dengan Trinitas. Trinitas adalah konsep bahwa Tuhan telah menjelma
sebagai Roh Kudus dan secara fisik oleh Yesus Kristus. Mereka beranggapan bahwa
Yesus merupakan anak Tuhan, yang lewat mukjizat (miracle), firman Tuhan adalah Yesus itu sendiri secara fisik dan
biologis. Konsep ini mengignatkan kita kepada agama-agama primitif terdahulu.
Rupanya di era kejayaan Nasrani tersebut, telah muncul kembali kerinduan untuk
berinteraksi secara fisik dengan Tuhan. Sehingga diciptakanlah sosok Yesus
sebagai simbol dan perantara untuk berdoa kepada Tuhan. Tetapi berbeda dengan
agama lain, malah Yesus sendiri bukanlah simbol perantara saja akhirnya,
akhirnya Yesus sendir sebagai simbol menjelma menjadi sembahan itu sendiri.
Karena hal
itulah, maka Muhammad menolak untuk dikultuskan seperti saudaranya itu, Yesus
(a.k.a. Isa as). Pada momentum perebutan kembali Mekkah oleh umat Muslim dalam
rangka meringkus kekuasaan kelompok Quraisy kafir, saat itu seluruh berhala di
dalam maupun luar Kakbah dihancurkan hingga berkeping-keping bahkan jadi abu.
Tatkala umat Muslim hendak menghancurkan gambar dan patung Yesus, langsung
dilarang oleh Muhammad. Sejak saat itu muncullah perintah dari sang nabi agar
nanti wajah atau bentuk fisiknya tidak didokumentasikan lewat literatur maupun
tidak dilukis atau patungnya tidak dipahat agar nanti kesalahan umat manusia
yang pernah terjadi pada Yesus tidak akan terulang kembali, kata sang nabi,
agar dia tidak dikultuskan sebagaimana para pendahulunya.
Nuansa teologi
negatif sangat kental terutama pada surat Al-Ikhlas, dimana pada saatitu Tuhan
melakukan deklarasi bawa Dia Esa, tidak diperanakan dan tidak memiliki anak,
dan lain sebagianya. Membuktikan bahwa Tuhan itu berbeda dengan manusia, Tuhan
itu tidak dapat dipersonifikasi atau ditubuhkan seperti manusia. Sedangkan pada
khazanah Islam, wacana tentang penubuhan Tuhan itu muncul setelah sang nabi
wafat dan terjadi peperangan interpretasi di dalam internal Islam. Perlu
diterangkan terlebih dahulu bahwa sejatinya sejarah Islam dan sejarah umat
Islam merupakan dua hal yang berbeda. Sejarah Islam adalah sejarah tentang
zaman kenabian dari era Adam sampai pada saat ketika Muhammad wafat. Sedangkan sejarah
umat Islam adalah sejarah paska Muhammad wafat, yang dipenuhi dengan konflik
internal antar mahzab, kemunafikan, pembantaian terhadap keluarga nabi,
perebutan kekuasaan, trabalisme akut dll. Namun kembali ke topik pembicaraan,
tepatnya dinamai sebagai aliran Al-Mujassimah,
adalh mereka yang memaknai teks Al-Quran secara harfiah dan menganggap
frasa-frasa seperti “Wajah Tuhan”, “Tangan Tuhan”, bahkan mereka mengakui klaim
Tuhan berjenis kelamin laki-laki.
Setelah kita
meahami proses dan hal ikhwal kelahiran antropoformisme dari rahim kesalah
pahaman umat, maka selanjutnya, kedua, bagaimana
teologi negatif akan menjadi mesin penghancur dogma yang sesat ini? Teologi
negatif sepreti yang tersirat dari namanya, adalah teologi dan pendekatan
ketuhanan yang memilih mengungkapkan apapun tentang Tuhan dengan cara negatif.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Rubenstein dalam sebuah artikelnya, teologi
negatif hanya bisa dipahami dalam relasinya – sebagai antitesis – terhadap
teologi yang ada selama ini: jika teologi biasa mengungkapkan Tuhan dengan
statemen yang positif (sebagai contoh: Tuhan dapat diketahui, Tuhan ad, Tuhan
dapat dipikirkan), teologi negatif sebaliknya sebalknya memilih mengungkapkan
Tuhan dengan statemen negatif (Tuhan tidak dapat diketahui, Tuhan tidak ada,
Tuhan tidak dpaat dipikiran) atau – lebih radikal lagi – bahkan memilih tidak
mengungkapkannya.[54]
Tradisi berpikir
Al-Mujassimah, sejatinya berakar dari
paham teologi positif. Teologi positif adalah kebalikan dari teologi negatif,
bahwa ketika teologi negatif berbicara Tuhan dengan pandangan negatif maka
teologi positif membicarakan kemukinan Tuhan dapat diketahui. Paham ini memiliki
tiga ciri penting yang menjaditipikal sistem metafisika ketuhanan tersebut
yakni The matization of being (bahwa
Tuhan dapat dipahami secara total), positivity
of being (bahwa Tuhan dapat dipersonifikasi secara sifat atau fisik), dan economy of being (bahwa makhluk dapat
sejajar dengan Tuhan). Al-Mujassimah ini termasuk dalam golongan kedua. Pada
level yang lebih halus dari penubuhan Tuhan yang menunjukkan sdikit kerumitan
yang lebih tinggi adalah sekelompok aliran teologi yang disebut-sebut sebagai al-Msyabbihah yang menyamakan Tuhan,
dari segi Dzat atau sifat-Nya, dengan Dzat atau sifat makhluk-Nya. Paham-paham
ini, seperti sudah ditebak, dicap sesat oleh mayoritas teolog da termasu dalam
paam-paham heretik (bid’ah) yang
dianggap menyimpang dari kebenaran.
Namun demikian,
penolakan terhadap doktrin antropomorfisme Tuhan tidak berarti menghindarkan
para teolog dari pola represntasi ointologis diatas; dalam level yang sangat
subtil, para teolog mayoritas – yang sering diidentifikasi sebagai Sunni – mau
tidak mau juga melakukan representasi ontologis tertentu dalam pemikiran
mereka. Kutipan dari al-Juwani tentang konsep mawjud membuktikan adanya jejak representasi tersebut. Perbedaan
pola representasi yang ditampilkan hanyalah pada perbedaan tingkat representasionalitas
masing-masing aliran teologi tentang Tuhan. Pada kelompok al-Mujassimah dan al-Musyabbihah,
representasi itu ditampilkan secara ulgar dengan mngidentikkan Tuhan dengan
tubuh atau materi, pada kelompokSunni, representasi itu ditampilkan secara
lebih halus dalam identifikasi Tuhan sebagai mawjud.
Untuk membongkar
teologi negatif tersebut, maka penting bagi kita untuk menggunakan
prinsip-prinsip teologi negatif. Salah satnya adalah prinsip infinity of being yang berarti
ketidakmungkinan Tuhan untuk dibatasi dalam pembicaraan apaun baik sebagai
“ada” (being) maupun sebagai yang-ada
(being). Ini berarti, bahwa Tuhan
adalah ia yang tak terbatas; ia adalah ia yang tak mungkin dibatasi. Ini
tercermin antara lain dalam salah satu doa St. Agustinus: “Kau yang mantap,
tapi tak terjangkau”[55],
yang menyiratkan bahwa Tuhan betaapapun ada dan keberadaan-Nya dapat
dipastikan, tidak dapat dipahami dala ada dan keberadaan sebgaimana yang dapat
dipahami. Ia adalah yang tak terbatas pada dirinya; Ia adalah ketakterbatasan
itu sendiri. Sebagaimana doktrin Buddha: Bagaimana bisa kita menjelaskan
sesuatu yang Maha Tidakterbatas dengan bahasa yang sangat terbatas? Untuk lebih
memperjelas lagi, Cak Nur dalam landasan pemikiran pada draft NDP berkata “...Allah itu
Allah, oleh karena Dia yang tidak bisa dipahami manusia. Tuhan itu adalah yang
tidak mungkin dipahami manusia, dan sebetulnya konteks mengenai misteri, laisa
kamitslihi sya’un (tiada sesuatu yang sebanding dengan Dia). Jadi Dia tidak
bisa digambarkan, tidak dapat dipahami. Sebab Allah itu mutlak. Perkataan
memahami Tuhan itu kotradiksi in terminus. Sebab memahami berarti
mengetahui batas-batasnya. Jadi kalau memahami Tuhan berarti sudah apriori
bahwa Tuhan itu terbatas, terjangkau oleh kita.”[56]
Lebih lanjut lagi, bahwa Ia yang tak
terbatas merupakan tanda atas Hasrat yang tidak final pada diri yang berelasi
dengannya. Seperti yang dikatakan oleh Levinas, yang tak terbatas adalah nama
lain dari Hasrat[57], hal
ini sejaln dengan apa yang dimaksud dalam teologi negatif sebagai Cinta. Hasrat
menginginkan kepenuhan namun semakin iamenginginkan kepenuhan, ia tidak dapat
mencapai yang dinginkannya, demikian pun dengan relasi dengan ia yang tak
terbatas: pikiran ingin mencapai yang tak terbatas, namun semakin ia
menginginkannya, Ia semakin tak dapat dicapai dan semakin jauh untuk dicapai.
Negativitas dalam ketaterbatasan adalah negativitas yang dibahasakan dam kritik
metafisika sebagai retakan (break)
atau disebut juga diskontinuitas oleh Foucault, yaitu momen keterbukaan dan
keterpancaran pada suatu esensi atau substansi metafisis. Levinas mengambarkan
momen ini sebagai hubungan yag terbuka antara totalitas dan yang-tak-terbatas[58],
hubungan yang mencuat daari ketidakmemadaian totalitas esensi atau substansi
metafisis di hadapan yang tak terbatas.
Ketakterbatasan
Tuhan membuat-Nya mustahil untuk dicandra sebagai totalitas metafisis seperti
yang diinginkan oleh teologi. Jika teologi seperti digambarkan di atas,
berusaha memahami Tuhan dalam keranga-kerangka esensi, substansi atau
identitas, maka teologi negatif adalah resistensi bagi kerangka-kerangka itu.
Resistensi itu merupakan pelepasan Tuhan dari pembatsan-pembatasan yang
diciptakan oleh gagasn tentang esensi, substansi atau identitas. Hasilnya,
tentu saja, bukannya menutup diri dari yang tak terbatasa, adnya dimensi
infinity of being pada teologi negatif justru sebaliknya justru membuka
seseorang kepada pengalamn yang tak terbatas bersama Tuhan. Keterbukaan ini
menandai transisi seseorang dari pengetahuan tentang Tuhan menjadi pengalaman
bersama Tuhan, yaitu pengalaman yang tak terbatasa bersama da Ia yang tak
terbatas.[59]
Dengan demikian marilah ktia secara bersama-samamengkritik aliran
antropoformisme terhadap Tuhan itu, bahwa menubuhkan Tuhan tidak ayal lagi
senada dengan menganggap Tuhan itu terbatas, sedangkan Tuhan yang dibatasi
pasti bukanlah Tuhan. Bahkan ketika kita mengatakan Tuhan itu tidak terbatas,
itu masih belum cukup menyatakan bahwa kita sudah memahami Tuhan, sebab
sebagaimana Cak Nur: memahami Tuhan adalah kontradiksi
interminus (kontradiksi dalam kata). Mari kita akhiri pembicaraa perihal
Teologi negatif ini dengan pernyataan Sachiko Murata: Tuhan yang dipahami,
dengan Tuhan yang sesungguhnya, itu adalah dua hal berbeda!
Ketiga,
bagaimanakah
kita akan menghancurkan basis epistemologis kaum skriptualisme? Sebagaiman
ayang kita mahfum, bahwa kelompok skriptualisme adalah merka yang menafsirkan
ayat secara harfiah. Tradisi Islam lebih condong terhadap tafsir dibandingkan
takwil. Hal inilah yang menyebabkan wajah Islam begitu kaku, rigid, konstan,
stagnan, alergi terhadap pembaharuan, dikuasai oleh otorititerianisme kekuasaan
dan cenderung fanatik dalam beragama. Wajah Islam yang bengis adalah Islam yang
kebanyakan lahir di mahzab skriptualisme ini. Mereka mengagungkan teks dan
membuang pentingnya konteks dalam memahami makna Al-Quran. Padahal al-Quran
selain memiliki teks-teks yang bersifat muhkamat
(non-interpretable), juga
terdapat ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat
(interpretable). Padahal apabila
kita merinci secara linguistik, akan didapati kata tafsir lebih sedikit bahkan
dari kata takwil.
Kecenderungan skriptualisme
ini, adalah absolutisasi penafsiran. Padahal Prof. Komarudin Hidayat sudah
memperingatkan lewat analisis beliau, hingga muncul kesimpulan: absolutisasi
penafsiran, hanya akan memukul lonceng kematian hermeneutika.[60]
Sedangkan absolutisasi penafsiran akan menjadikan umat lebih berwatak otoriter,
patuh, tidak kritis, bengis dan rentan konflik. Tidak heran hampir semua
pengikut skriptualisme adalah takfiri, mereka
yang terlampau sering meneriaki orang-orang yang berselisih paham dengan: bunuh dia, zidik, kafir, halal darahnya! Kaitannya
dengan bahaya terhadap gerakan feminisme, adalah susahnya kelompok feminis
untuk tumbuh kuat dalam bayang-bayang skriptualis yang notabene didominasi oleh
laki-laki dengan latar belakang budaya patriarkal. Akan sulit untuk
mensosialisasikan kehancuran wacana maskulinitas Tuhan yang sudah kita
bicarakan tadi. Sebab konsep maskulinitas Tuhan, telah terpatri dalam alam
bawah sadar mereka selama berabad-abad lamanya. Jangan sampai nanti, ketika
kita dengan gigih memperjuangkan feminisme di tengah peradaban Islam yang
dikuasai skriptualis ini, malh kita akan dimusuhi, diteriaki kafir, zindik dan bahkan halal darahnya! Satu-satunya cara
adalah, membumi hanguskan pemahaman skriptualisme ini dengan merombak basis
epistemologi mereka serta membangun budaya toleransi sehingga umat muslim lebih
bersikap moderat terutama terhadap perkembangan dan kemajuan zaman. Yang
demikian itu, apabila kita sudah bisa menawarkan metodologi hermeneutika
sebagai metode tafsir yang menggantikan metode lama.
Fenomena
skriptualisme ini disebut juga dengan gejala biblioatri. Kata bibioatry di sini secara harafiah berarti
“penyembahan Bibel”. Secara umum, kata itu berarti pengagungan kitab suci
apapun ecara berlebihan sehinga menyerupai penyembahn. Kata itu dipakai sebagai
padanan (dengan pengertian yang jauh lebih emndalam) dari “skriptualisme” yang
berlebihan. Kata itu dikutip dari buku T.H. Huxely, Science and Hebrew Tradition, . Kutipan lain yakni dari
Al-Gahazalidalam bukunya Jawahir
al-Quran. Terjemahannya: Rahasia Al-Quran dan intinya yang paling cemerlang
serta tujuannya ynag pokok adalah undangan untuk para amba menuju kepada Tuhan.
Secara historis, kelahiran virus biblioatri ini dapat kita pahami dari sejarah
tradisi tafsir yang didokumentasikan di khazanah pemikiran Islam atau Islamic studies.
Penulisan tafsir
memberikan peran yang sangat besar dalam menjadikan al-Quran kitab suci yang
sempurna. Sejarah penafsiran al-Quran sendiri telah ada sejak zaman Nabi. Tentu
saja, pada masa kini, upaya penafsian dilakukan secar verbal dan ddisampaikan
dalam halaqah-halaqah para sahabat Nabi. Beberapa sahabt Nabi seperti Abdullah
bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas dikenal sangat piawai dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran. Sejarah penulisan tafsir Al-Quran baru mulai semarak pada
abad ke-3 H/10 M, dimulai oleh Ibn Jarir al-Tabari (w.923 M). Pada mulanya,
tafsir adalah upaya untuk memberikan penjelasankepada ayat-ayat Al-Quran,
tapidengan semakin berkembangnya tradisi ini, tafsir menjadi sebuah ilmu
apologia untuk membentengi al-Quran dari kritik dan kecaman.[61]
Selama rentang
abad ke-10 hingga abad ke-20 M, tafsir berperan seperti Teologi (ilmu kalam)
dalam membentengi keilahian al-Quran. Peran tafsir sangat besar terutama dalam
menjelaskan berbagai kontroversi dan kontradiksi antar ayat-ayat Al-Quran.[62]
Tafsir juga sangat berperan dalammemberikan pembenaran terhadap ayat-ayat yang
terlalu irasional atau bertentangan dengan fakta historis.[63]
Inti dari semua ini adalah untuk menyatakan bahwa Al-Quran merupakan kitab suci
yang sepenuhnya datang dair Allah dan sesuatu yang datang dari Allah tidak
mungkin cacat.
Sebagai
informasi pelengkap dalam bahan kajian ini, seorang penulis Mesir, Prof. Nasr
Hamid Abu Zaid pernah mengutarakan sbuah pernyataan yang penting untuk kita
pertimbangkan disini, yaitu bahwa “wa
laisa min qabil al-tabsith an nashifa al-hadlarat al-‘arabiyyat al-Islamiyyah
bi annaha hadlarat al-nash”[64].
Bukan buat-buatan kalau kita katakan bahwa peradaban Islam dan Arab
sesungguhnya adalah peradaban yang berpusing-pusing di sekitar teks. Kedudukan
teks begitu sentralnya, sehingga teks menjadi semacam paradigma atau cetakan
yang mengkerangkakan hampir seluruh kehidupan umat Islam dala seluruh bentangan
sejarahnya. Budaya tekstual dan budaya tafsir tersebut menikah dalam upacara
supremasi kekuasaan untuk melanggengkan otoritas status quo. Pada saat-saat awal zaman paska wafatnya Nabi Muhammad
SAW, diam-diam jazirah Arab tengah bergejolak. Sebuah nafsu kekuasaan
berkobar-kobar membara, merambah gairah membuka tirai rezim teks.
Sudah tentu
gravitasi teks ini bukan semata-mata lahir karena konsepsi tentang teks yang
berlandasakan wawasan teologi yang ultra-teosentris. Ada sebab-sebab yang lebih
bersifat sosial politik yang melatari itiu semua. Mengutip kembali Prof Abu
Zaid, dalam sejarah Islam, supremasi teks yang sentral tidak bisa dipisahkan
dari konteks politk pada zaman itu. Sebagaimana kita tahu, proses pemantapan
mahzab-mahzab dalam Islam berlangsung sekitar abad 3-4 Hijriah. Inilah masa
yang dalam sejarah tasyr’i Islam
disebut sebagai periode taqnin, atau
kodifikasi mazhab. Pada periode itu mulai muncul ancaman disintegrasi polity ataua kepolitikan umat. Dinasti
Abbasiyah di Baghdad mulai terancam karena munculnya “duwailah” atau kerajaan-kerajaan kecil di wilayah pinggiran
imperium Islam. Peraaan insecurity
mulai muncul. Pada saat seperti itu, umat merasakan perlunya suatu rasa aman,
dan salah satu mekanisme pencarian rasa aman itu adalah dengan cara mengeakkan
otoritas teks sebagai pedoman yang dianggap absolut.[65]
Warisan inilay
yang kita langgengkan hingga sekarang, yaitu warisan mengenai pentingnya
ketaatan pada teks karena kekhawatiran akan munculnya disintegrasi umat yang
disebabkan oleh kekacauan penafsiran. Kata fitnah yang berarti kekacauan sosial
merupakan hantu yang membayangi sejarah sosial umat Islam. Penegakan supremasi
teks adalah semacam usaha untuk mengkompensasi (‘amaliyyah ta’widliyyah, istilah Prof. Abu Zaid) kekacauan itu
dengan cara mengokohkan otoritas teks.
Dalam cara yang
sama, Roxanne L. Euben, dalam Enemy in
the Mirror, menjelaskan kemunculan fundamentalisme modern. Dalam
fundamentalisme modern, discourse of
authencity bergitu kuat da menonjol. Sudah tentu, keotentikan disitu diukur
pertama-tama melalui ketaatan seseorang kepada bunyi dan ketentuan teks dalm
kitab suci. Wacana tentang keaslian berdasarkan teks ini, seperti diulas oleh
Euben, adalah lahir karena perasaan kecemasan yangmendalam dalam umat Islam
berhadapan dengan hegemoni negara-negara Barat yang dipandang melukai harga
diri mereka; dalam usaha mengatasi kecemasan itu, sesuatu yang bersifatpasti
dan kokoh diperlukan. Teks dikokohkan kemali untuk mengkompensasi perasaan
cemas ini.[66]
Singkatnya dalam
situasi krisis dimana umat Islam mencari pegangan yang kokoh untuk tambatan
agar tidak mengalami disintegrasi atau “fitnah”, seringkali seruan untuk
kembali berpegang kokoh kepada teks digembar-gemborkan secara reguler. Kita
masih ingat observasi yang dulu, di abad ke-19, pernah dikemukakan oleh seorang
intelktual Muslim masa kekhalifahan Utsmani, Muhammad Syakib Arsalan: kemajuan
bangsa Barat terjadi karena mereka meninggalkan Kitab Suci; tetapi kemajuan
umat Islam hanya akan terjadi kalau mereka kembali berpegang teguh kepada
al-Quran. Kitab suci atau teks, dalam pengamatan Arsalan, dipandang sebagai
sumber penyelesain masalah umat.
Masalahnya
sekarang, tidak mengherakan seorang pemikir orientalisme sekaliber Edward Said
mengatakan bahwa peradaban Timur menjelma menjadi peradaban yang barbar,
dikenal terkebelakang, kuno, bengis, tribal dan semacamnya. Peradaban Barat
memanfaatkan budaya teks-sentrisme Arab sebagai bahan untuk menghegemoni opini
masyarakat global (global civilition)
agar menghindari Arab serta stereotype Islamnya. Analogi yang sangat tepat
adalah, Peradaban Barat merampas peluru Peradaban Timur, lalu dengan begitu
antusias menembaki Peradaban Timr dengan peluru yang dia pinjamkan sendiri.
Mungkin pendapat
penulis secara pribadi agak berbeda dengan apa yang diamati oleh Arsalan. Bahwa
sejatinya, berpegangteguhnya umat Islam akan superioritas teks diatas segalanya,
tidak akan pernah menggiring umat Islam ke arah kejayaan peradaban sebagaimana
pada abad ke-7 Masehi. Kalaupun kekayaan, bargaining
politik negara-negara Arab, kekayaan budaya dan lain sebagainya dijadikan
bukti kejayaan, maka itu tidak lebih dari kejayaan semu. Sedangkan,
kebebasan-kebebasan individu sedang terkoyak-koyak dibalik diamnya media massa,
oligarki akut terus berkecambah patologi kekuasaan karena tumbuh suburnya
budaya dinasti politik. Tidak ayal lagi: rezim teks telah menyeret umat Islam ke
arah jurang yang mereka kira adalah dangkal dasarnya, bagi yang berpendapat
begitu, tidak pelak lagi kedangkalan jurang yang sesungguhnya itu curam
satu-satunya yang dangkal adalah pikiran dan hati nurani mereka mungkin.
Daripada disebut teks memberikan kekuatan dan kesatuan serta keamanan dan
kepastian bagi umat Islam, sebaiknya kita berjujur saja dengan rendah diri
bahwa Islam malah bertransmisi menjadi agama yang binal, cinta teror, cinta
perang, mencintai penjajahan (kolonialisme), munafik dan bengis. Otoriterianisme
teks telah menjadikan agama yang dibawa Muhammad di masa silam, yang awalnya
bersifat inklusif menjelma menjadi ekslusif dan kental kuasa oligarki. Tetapi
apalah artinya menghujat, karena sudah barang tentu benar yang diutarakan oleh
Hasan Hanafi: tradisi dan sejarah hanyalah tentang pertentangan pemikiran (ghawzul fikr), siapa yang memenangkan
perang tersebut, maka dialah menguasai tradisi[67],
dan mengutak-atik tradisi tersebut sesuka hati demi menjaga status quo dan nyamannya kursi empuk kekuasaan.
Kenapa teks
mudah menarik perhatian umat Islam, dan kenapa dalam situasi krisis identitas,
teks selalu dipanggil ke depan untuk menjadi pelindung dari ancaman kekacauan?
Ini semua tidak mungkin terjadi seandainya teks sendiri tidak menempati kedudukan
yang sentral dalam wawasan keagamaan umat. Dalam istilah Prof. Abu Zaid,
al-Quran dan Sunnah sebagai teks telah menjadi suatu “konsep aksial” (mahfum mihwary atau gaasan poros yang
begitu pentingnya sehingga umat selalu menoleh kesana dari waktu ke waktu. Jika
tidak ada suatu upaya untuk membongkar wawasan teologis yang menempatkan teks
dalam posisi sentral semacam itu, lingkaran setan pemahaman keagamaan yang alkitabiah atau skriptualistik tidak
akan bisa diatasi. Biblioatri akan mebayang sebagai ancaman yang tidak bisa
dihindarkan. Bahaya biblioatri adalah “hilangnya dimensi manusia” (ghayab al-insan; istilah Hasan Hanafi)
dalam modus keberagaman. Pengalaman manusia menjadi remeh dantidak
diperhitungkan. Manusia menjadi tidka ada harganya, baik sebagai pribadi maupun
sebagai kolektivitas sosial yang kaya akan pengalaman-pengalaman historis yang
konkret.
Sudah dikatkan
bahwa al-Quran mempunyai konsepsi yang cerah dan optimistis mengenai manusia.
Manusia disini tentu saja bukan suatu “wujud abstrak” yang diidealisasikan
tetapi adalh manusia yang riil dengan seluruh pengalaman konkret yang
dimilikinya. Pemuliaan atas manusia juga berarti mengakui kompelsitas
pengalamannya yang tidak bisa begitu saja ditundukkan kepada teks yang dianggap
universal. Wawasan teologi yang ultra-teosentris dan kemudian berujung pada
supremasi teks, dengan demikian mengakibatkan suatu efek alienasi atau
pengasingan, yaitu manusia diasingkan dari pengalamannya sendiri, dan
diperitahkan begitu saja untuk tunduk kepada kesakralan teks ang dianggap
mengatasi dan mengabstraksikan seluruh pengalaman konkret manusia.
Padahal kalau
boleh, kiranya perlu diajukan suatu konsep tentang wahyu yang hidup, yaitu
wahyu yang terdiri dari teks dan konteksnya sekaligus. Teks yang kita baca
dalam al-Quran sekarangini adalah sebagaian dari wahyu yang harus dilengkapi
dengan pemahaman atas konteks konkret tempat wahyu itu dahulu turun. Prof.
Arkoun mempunyai suatu analisa yang baik mengenai hal ini. Dia mengajukan suatu
istilah tajribah al-Madinah, atau
pengalaman Madinah. Wahyu yang diterima oleh Nabi adalah wahyu yang turun dalam
suatu konteks pengalaman yang konkret. Lebih lengkapnya, Arkoun berujar:
“..teks keagamaan, tidak muncul begitu saja dari langit. Teks tidak muncul dari
ruang “hampa” kebudayaan. Teks-teks dan naskah-naskah keagamaan, apapun
bentuknya, adalah dikarang, disusun, ditiru, diubah, diciptakan oleh
pengarangnya sesuai dengan tingkat pemikiran manusia saat naskah-naskah
tersebut disusun dan tidak terlepas sama sekali dari pergolakan sosial politik
dan sosial budaya yang mengitarinya. Bahkan tidak jarang dpengaruhi oleh
angan-angan sosial dari si penyusun ataupengarang naskah itu sendiri dalam
merespons tantangan zamannya (zeitgeist).
Sering kali juga terjadi, suatu naskah keagamaan dikarang dan disusunoleh
pengarangnya atas campur tangan dan pesan sponsor penguasa dan kekuatan politik
yang dominan saat itu.”[68]
Hasan Hanafi,
pemikir progresif Muslim dari Mesir, dalam bukunyayang bertitel Dirast Islamiyah menyaakan, “al-wahyu laysa kharij al-zaman tsabitan la
yataghayyaru, bal dakhl al-zaman yatathawwaru bi tathawwurihi (wahyu
bukanlah sesuatu yang berada di luar konteks yang kokoh tak berubah, melainkan
berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan)[69].
Pernyataan Hasan Hanafi tersebut menegaskan sebuah tesisi bahwa Islam bukan
wahyu yang jauh di langit yang terlepas sam sekali dari kenyataan konkret
masayarakat. Islam tidak memulai ajarannya dari lembaran kosong. Islam bukanlah
suatu creatio ex nihilo: ciptaan yang
meloncat begitu saja dari ruang kosong. Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu
adalah seseorang yang “diasuh” oleh lokalitas Arab waktu itu. Ia tidak
terisolasi dari konteks.
Meskipun
al-Quran merupakan kalam Tuhan, kenyataan menunjukan bahwa wahyu Tuhan itu
telah memasuki pemukiman yang historis. Al-Quran adalah bagian dari fakta
histori itu. Kaena kitab suci yan diyakini sebagai transkripsi firman Tuhan itu
telah turun ke bumi, ia adalah fakta atau teks historis yang tunduk pada hukum
kesejarahan. Pandangan di atas dikukuhkan oleh empat argumenberikut: pertama, Tuhan telah memilih bahasa
manusia (baca: bahasa Arb) sebagai kode komunikasi antara Tuhan dan Muhammad.Di
dalam proses komunikasi itulah pengujar menyatakan diri dengan cara pengungkapan
yang khas. Semua literatur mengenai i’jaz
– paling tidak sejauh menyangkut persoalan linguistik – menegaskan peran
menentukan dari cara pengungkapan ini
dengan munculnya suatu kesadaran akan kitab yang diwujudkan dari ruang pikir
masyarakat Arab dengan kelengkapan bahasanya itu.[70]
Kedua,
keterlibatan Nabi Muhammad sebagai penerima pesan di satu sisi dan sebagai
penafsir di sisi yang lain ikut menentukan proses pengujaran dan tekstualisasi
al-Quran. Muhammad bukan sebuah disket, melainkan orang yang cerdas, maka
tatkala menerima wahyu Muhammad ikut aktif memahami dan kemudian mengungkapkannya
dalam bahasa Arabnya sendiri.[71]
Karena itu, menurut Nashr Hamid Abu Zaid, tidak bertentangan jiika dikatakan
bahwa al-Quran adalah wahyu Tuhan dengan teks Muhammad (Muhammadan text).[72]
Ketiga,
prinsip
gradualisme dna keberangsur-angsuran (al-tanjim)
yang ditempuh al-Quran di dalam mencicil ajaran-ajarannya. Kalau kita amati
proses penurunan al-Quran sampai dalam benutknya sebagai korpus resmi yang
tertutup, proses-proses dialektika antara wahyu dan realitas kultural sangat
terang benderang. Dalam kasus pelarangan khamr,
misalnya, al-Quran menurunkan ayat yang berbeda sampai tiga kali dengan
karakter evolutifnya yang cukup khas. Demikian pula dalam formulasi syari’ah.
Adalah cukup beralasan jika dikatakan formulasi syari’a[73],
sebagaimana sistem perundang-udnangan lainnya, mengikuti tahap-tahap
perkembangan umat. Prinsip al-tadrij merupakan
indikasi kuat, betapa alQuran itu tidak hidup di ruang yang hampa sejarah.
Al-Quran hidup dalam air sejarah kemanusiaan yang khawadits. Tuhan berkarya dengan selalu mempertimbangkan
dimensi-dimensi rasional yang mengantarainya, bukan datang bercuap dari atas
bukit tanpa preseden. Bahkan prinsp al-tadrij
bukan hanya berlaku di dalam agama Islam secara terbatas, melainkan hampir
mengena pada sleuruh agama semitik yanglain.
Keempat,
sejak turunnya al-Quran telah berdialog dengan realitas. Banyak sekali
peristiway yang mengiringi turunnya ayat dan yang merupakan jawaban atas
pertanyaan umat waktu itu. Sangat sedikit ayat-ayat yang diturunkan tanpa
adanya sebab eksternal. Al-Quran hadir mengikuti peristiwa-peristiwa baru yang
muncul di tengah masayrakat. Respon yang diberikan kadang hanya satu potong
ayat, atau beberapa ayat, bahkan dalam satu surat al-Quran. Tidak jarang
al-Quran juga menjelaskan peristiwa khusus yang menjadi motif kehadirannya.
Misalnya permulaan surat al-Anfal yang menjawab pertanyaan umat Islam perihal
pembagian harta rampasa perang (ghazwu)[74].
Atau, seperti penjelasan al-Quran tentang darah haid perempuan yang menyebabkan
tidak bolehnya hubungan seksual dialkukan[75].
Juga respons al-Quran yang khusus menyikapi keangkuhan Abu Lahab dan istrinya.[76]
Kalau saja kita
jujur, terlampau banyak nomenklatur dan kosa kat al-Quran yangsecara terang
benderang menunjukkan latar lokalitas kehadirannya. Pengambilan contoh binatang
unta sebagai bahan perenungan eksistensial, begitu juga perumamaan sorga
sebagai aliran-aliran mata air yang jernih merupakan bukti kuat bahwa lokalitas
itu benar-benar tidak bisa disembunyikan. Unta adlaah binatang yang banyak
berkeliaran di Arab dan bukan binatang yang mudah berkembang biak secara
sempurna di tempat lain, Indonesia misalnya. Sementara penggambaran surga
dengan mata air di sebuah jazira yang tandus dan kerontang jelas merupakan
sesuatu yang menggiurkan. Namun, tidak dmeikian halnya bagi orang-orang yang
hidup di kawasan yang curah hujannya sangat tinggi. Sekiranya al-Quran turun di
daerah-daerah beriklim dingin, niscaya perumpamaan surga tidak akan begitu
adanya.[77]
Surga akan digambarkan sebagai sebuah pantai yang hangat, yang tiap harinya
selalu dipancari sinar matahari yang menyehatkan dan membugarkan, yang
merangsanga peluh keringat membasahi kulit-kulit tubuh yang lalu mengalir
mengikuti tuntunan gravitasi, begitu menyegarkan. Apabila al-Quran turun di
Meksiko misalnya, bisa saja semua redaksi unta itu diganti dengan kuda.
Dengan demikian
jelaslah bahwa sudah merupakan kebutuhan yang mendesak bagi kita umat muslim
yang tersadarkan lebih dulu agar mendobrak benteg kokoh yang dinamakan perisai
teks-sentrisme itu. Hanya dengan penghancuran dan perombakan kembali serta
menyeret nalar umat muslim ke semangat takwil dibandingkan tafsir, konteks
dibaningkan teks, maka peradaban Islam yang hari ini bersifat ekslusif bisa
perlahan-lahan menderapkan langkah menuju pintu inklusifisme, dimana wajah
Islam akan kembali ramah dan santun terhadap modernisasi dan
penyegaran-penyegaran tradisi. Hanya dengan cara ini, upaua merintis
reinterpretasi dimana posisi kaum perempuan akan kembali diangkat untuk sejajar
dengan laki-laki dapat tercapai. Sebab fenomena yang dimana nantinya akan
terlihat, tatkala umat Islam berani dan percaya diri meninggalkan belenggu
tradisi nenek moyang yang ternyata sama menyesatkannya dengan tradisi
Jahiliyah, maka pada saat itu secara tidak langsung pondasi istana
otoriterianisme teks, oligarki, fanatisme buta, esktremisme agama,
fundamentalisme Islam, serta hegemoni patriarki inshaAllah akan hancur dan kita
akan menyaksikan kebangkitan Islam sebagaimana kita akan bernostalgia di
masa-masa keemasan Islam bersamaan dengan runtuhnya satu persatu puing-puing
paradigma skriptualisme.
D.
DARI
DEKONSTRUKSI[78]
KE REKONSTRUKSI; MELETAKKAN TAUHID SEBAGI PONDASI NILAI
Henry Kissinger
berkata: untuk perdamaian, peperanganpun akan sangat mungkin terjadi. Mari
jangan kita maknai proposisi tadi secara harfiah, tapi itu adalah kiasan, bahwa
dalam rezim yang didominasi oleh bayang-bayang kuasa patriarki dan kuasa teks
atas umat manusia, rupanya secara tidak langsung telah mengkerangkeng gerakan
feminisme untuk tumbuh kuat dan mengimbangi poros setan budaya yang begitu
kejam. Perjuangan dalam upaya perlawanan harus senantiasa digalakan apapun
harga yang mesti dibayar. Apabila ini dikatakan gagasan ideologis, maka mari
kita sebut sebagai sebentuk ijtihad moral,
sebab tidak pelak lagi perempuan di ruang publik baik itu dalam realitas maupun
hyper-realitas, secara historis bahkan secara teologis, telah dicengkeram dan
dipenjarakan oleh kesesatan berpikir yang telah menyejarah. Tak ayal lagi;
perempuan yang dibicarakan diatas, adalah kaum-kaum musthad’afin, dan siapapun yang melekangkan penindasan serta
kesewenang-wenangan di atas penderitaan fisik dan psikologis terhadap wanita,
adalah mereka yang disebut thaghut,
mutakkabirun, firaun, al-mala’ (penguasa atau aristokrasi), al-mutrafun (yang hidup mewah), al-dzalim (penguasa sewenang-wenang)
dsb.
Maka dalam
gerakan besar mensederajatkan harga diri, kehormatan serta luhurya martabat perempuan
selaku manusia yang sama dengan makhluk laki-laki, upaya dekonstruksi menuju
rekonstruksi gagasan, gerakan serta model strategi harus dilakukan secara terus
menerus. Sebagaimana semangat zaman serta tantangan dan situasi serta kondisi
yang selalu relatif dan tidak pernah sama, yang senantiasa bergulir mengiringi
perubahan yang kekal (istilah Herakleitos), bahwa ide serta gerakan Feminisme
harus senantiasa bersifat fleksibel, ramah terhadap kearifan lokal, radikal
tetapi tidak fanatis seperti para takfiri,
kritis tapi tidak ahteist, objektif tetapi tidak absolutis. Gerakan
feminisme harus menjadi moderat, toleran, inklusif, persuasif, preventif dan
malah tidak bersifat bengis seperti aliran-aliran pemikiran yang dia hancurkan
sebelumnya. Sebab apabila itu terjadi, hanya akan membenarkan peribahasa:
“dunia telah keluar dari kandang singa, akan tetapi menuju masuk ke kandang
harimau”.
Reformulasi
strategi dan taktik, tentunya harus dirintis lewat dekonstruksi terlebih
dahulu. Upaya dekonstruksi berfungsi untuk mengurai problematika-problematika
yang berkecamuk dalam wacana yang dibicarakan. Bukankah kita tidak bisa
memberikan solusi tanpa masalah? Dalam arti yang lebih dapat dipahami: solusi
hanya mampu digali ketika kita memahami secara kritis, objektif dan radikal
masalah tersebut secara komprehensif, holistik hingga ke akar-akarnya yang
paling dalam. Semain mendalm upaya dekonstruksi, semakin tajam analisis yang
didapatkan, semakin kuat dan cemerlang konstalasi perumusan strategi dalam
agenda besar rekonstruksi kembali spirit perjuangan feminisme.
Sebagaimana yang
telah dibongkar lalu, bahwa dimensi epistemologis terhadap wacana kekerasan
simbolik terhadap perempuan berkisar pada dua bidang telaah yakni secara
kultural-historis dan secara teologis. Setelah kita hancurkan dogma-dogma yang
menjamur tadi, maka tugas selanjutnya adalah menanamkan terlebih dahulu
nilai-nilai Tauhid sebagai basis nilai Islam yang bersifat universal sebagai
pondasi baru atas gerakan Tauhid Feminisme. Akan tetapi sebelum kita kesana,
marilah kita bicarakan terlebih dahulu, gerakan feminisme yang sudah ada dan
populer terlebih dahulu dibanding gerakan feminisme Islam, yakni feminisme yang
lahir dari Liberalisme Barat.
Barangkali yang paling umum, adalah
momentum revolusi industri, tentang tonggak loncatan paradigma feminisme. Pada
sekitaran abad ke-18 itulah, perasaan muak perempuan sudah mencapai ambang
klimkas dan tak tertahankan. Melihat bagaimana pola tatanan sosial tentang
laki-laki dan perempuan yang mengalami gap
begitu tinggi. Kecemburuan memuncak, ketika wacana tentang laki-laki yang
telah sejak lama mendominasi ruang publik terutama sektor-sektor industri
sedangkan perempuan didomestifikasi di rumah. Ketidakberdayaan kaum
perempuan di tengah struktur dan kultur masyarakat industri inilah yang menjadi
inspirasi munculnya gerakan feminisme. Setiap gerakan feminisme slalu
mengandung suatu kesadaran feminis, yaitu kesadaran adanya perlakuan tidak adil
terhadap perempuan, baik dalam ranah publik maupun domestik, serta tindakan sadar untuk mengubah kondisi tersebut oleh kaum
laki-laki maupun perempuan. Sedangkan filsafat feminisme dapat dikatakan suatu cara
berfikir yang menekankan pada pengalaman, identitas, serta cara berada dan
berfikir perempuan dilihat sama seperti pria. Ataupun soal bagaimana
berfilsafat dari sudut pandang perempuan.
Terdapat
delapan ragam pemikiran feminisme, diantaranya : feminisme liberal, feminisme
radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme psikoanalisis dan gender,
feminisme eksistensialis, feminisme postmodern, feminisme multicultural dan
global, dan ekofeminisme. Feminisme liberal, memiliki tujuan umum untuk
menciptakan masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang.
Artinya hanya dalam masyarakat itu perempuan dan laki – laki dapat
mengembangkan diri. Pendidikan yang setara dalam feminisme liberal,
memungkinkan untuk mengembangkan kapasitas rasional dan moral. Selain itu,
feminisme liberal juga mempermasalahkan mengenai penyetaraan hak politik dan
kesempatan ekonomi antara perempuan dan laki-laki. Menurut Tylor, seorang
perempuan harus memilih antara istri dan ibu , atau bekerja diluar rumah. Atau
untuk menjadi partner dan bukan menjadi budak dari suaminya. Sehingga istri
harus mempunyai penghasilan dari pekerjaan luar rumah. Perempuan harus memiliki
hak pilih agar dapat menjadi setara dengan laki – laki . Feminisme liberal
berkeinginan membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif, yakni peran
yang digunakan sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang
lebih rendah , atau tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan baik
dalam akademi, forum, maupun pasar.
Masyarakat
patriarkal mencampur adukkan seks dan gender , dan menganggap hanya pekerjaan –
pekerjaan yang dihubungkan dengan kepribadian feminin yang layak untuk
perempuan, seperti : perawat, guru, pengasuh, asisten rumah tangga, dsb.
Pemikiran bahwa bekerja diluar rumah atau mencari uang adalah tugas laki – laki
sementara dirumah adalah tugas perempuan merupakan konstruksi gender dan bukan
merupakan takdir, dalam arti dapat dinegosisasikan. Anggapan feminisme
mendorong perempuan untuk single parent,
seks bebas, dsb. Pemikiran feminisme lahir dalam konteks tertentu (budaya,
agama , etnis, ras, sejarah) yang melingkupi perempuan yang hidup pada
masyarakat itu. Hal ini sama seperti argument kaum feminis radikal-kultural
yang menyatakan bahwa perbedaan seks/gender mengalir bukan semata-mata dari
biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau sejarah keseluruhan menjadi
perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal.
Selain
itu, ada anggapan bahwa feminisme berasal dari Barat, sehingga masyarakat
(dalam hal ini masyarakat muslim) tidak perlu meniru, dalam hal ini nilai
feminine nya yang berbeda. Dan perempuan harus credible diluar rumah, dan tetap menjadi ibu yang perfect (mengurus rumah, mendidik
anak, melayani suami) . Anggapan feminisme barat identik dengan perempuan
pecinta seks bebas, lesbianisme, bahkan membenci laki – laki. Hal ini
dikarenakan gagasan feminisme telah berakulturasi dengan budaya Amerika serta
Eropa yang memiliki kecenderungan rasional dan kurang menghormati sikap-sikap
moral. Sehingga apabila dipaksakan feminisme ala Barat ini di peradaban Timur,
sangat akan mungkin terjadi gap yang
besar karena perbedaan budaya. Potensi xenophobia
dan punahnya identitas peradaban sebagai kekayaan lokal, sangat mungkin
terjadi. Peradaban Islam harus memberikan satu alternaif lain yang lebih jitu.
Jangan sampai semangat feminisme Barat dijadikan referensi tunggal bagi
kelompok-kelompok pejuang keadilan gender.
Dalam
diskursus epistemologi, telah terpahami bahwa beda peradaban maka akan beda
paradigma yang tertanam dalam kepala mereka. Selama ini, dunia telah
terdikotomi oleh dua peradaban besar yang saling berebut dominasi global:
peradaban Barat dan peradaban Timur. Ciri peradaban Barat adalah mereka terdiri
dari negara-negara maju, memiliki teknologi yang mapan serta canggih. Sedangkan
ciri peradaban Timur adalah terdiri dari negara-negara yang mulia, memiliki
sistem etika dan kemapana moralitas yang dijunjung tinggi sebagai adab.
Indonesia tergolong dalam peradaban Timur ini, yang juga ternyata merupakan
negara dengan populasi mayoritas Islam. Diketahui bahwa Islam memegang peranan
yang begitu sentral dalam perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia hingga hari ini.
Lantas, bagaimana kemudian feminisme bisa digalakan di Indonesia, dan peradaban
Timur secara umum tentunya apabila ternyata secara episteme rupanya akar budaya dan akar historis Barat tidak sesuai
(tidak klop) dengan kita.
Wacana
peradaban in sangat menarik dan gamblang ditemukan pada pemikiran Michael
Foucault – terlepas dari kontroversi yang membanjiri sosok pribadinya. Yang
menakjubkan dari pemikiran Foucault di sini ialah apa yang disebutnya sebagai
“diskontinuitas” (patahan, ambang, keretakan, rupture, break). Foucault mengatakan bahwa setiap peradaban adalah
khas, unik, tersendiri, karena kekhasan episteme
itu. Dan, kekhasan setiap episteme dan
peradaban itu lahir karena gerakan “diskontinuitas” itu. Soal apakah
diskontinuitas itu menghasilkan sesuatu yang lebih baik atau tidak, titu bukan
poin utama Foucault. Tetapi hanya melaui diskontinuitas itulah, babakan
perdaban manusia terus bergulir.[79]
Dengan
kata lain, jika ada sebuah wajah kuat peradaban yang tidak menempuh
diskontinuitas itu, maka peradaban itu akan mati. Episteme-nya macet. Sehingga,
agar peradaban tidak mati, maka dibutuhkan diskontinuitas itu, yang dipicu oleh
menyeruaknya “diskursus”. Bagi foucault, diskursus bukanlah sekedar wacana,
tetapi pengetahuan-pengetahuan yang berbeda dengan arusutama episteme itu. Semakin menguat diskursus
itu, maka akan semakin mendorong lahirnya diskontinuitas. Seiring dengan
runtuhnya episteme lama akibat
desakan diskursus-diskursus yang memicu diskontinuitas itu maka diskursus itu
akan menduduki kursi episteme baru,
yang lantas menjadi peradaban baru itu pula. Inilah yang menjadian setiap babak
peradaban sedemikian unik dan khasnya.[80]
Bagaimana
lalu idealnya proses diskursif ini mampu merangsang diskontinuitas demi
terbukanya gerbang gerakan feminisme alternatif? Mari kita kembali menengok
pemikiran Cak Nur, dalam magnum opus yang
dipersembahkan secara khusus kepada HMI. Dalam Nilai Dasar Perjuangan, Cak Nur
berujar bahwa manusia adalah makhluk percaya (homo religius) maka dengan itu manusia mebutuhkan tata nilai untuk
menopang kehidupannya dalam tatanan sosial dan budaya. Tata nilai tersebut akan
melembaga dalam tradisi-tradisi. Tradisi-tradisi yang mengakar inilah yang akan
menjelma menjadi episteme dalam
terminologi Foucault. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap
mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam
kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan
peradaban dan kemajuan manusia. Di sinilah terdapat kontradiksi: kepercayaan
diperlukan sebagi sumber tata nilai guna menopang peradaban manusia, tetapi
nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru
merugikan peradaban.
Oleh karena itu pada dasarnya, guna
perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia
meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan
menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh merupakan kebenaran. Maka satu-satunya
sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran
merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan
Allah. Perumusan kalimat Persaksian
(Syahadat) Islam yang kesatu: Tidak ada Tuhan selain Allah mengandung
gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “tidak ada Tuhan”
meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “selain Allah”
memperkecualikan kepercayaan kepada satu kebenaran. Dengan peniadaan itu,
dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan
yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar
manusia hanya tunduk pada Ukuran Kebenaran dalam menetapkan dan memilih
nilai-nilai. Hal itu berarti tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta
segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut “Islam”.[81]
Sehingga
dalam rangka mengimbangi hegemoni paradigma feminisme Barat, feminisme yang
hendak kita tawarkan kepada dunia dan umat manusia tentunya adah feminisme
Islam, yang berpondasikan nilai-nilai dasar Tauhid. Teolog feminisme ini
selaras dengan gagasan teologi pembebasan, dimana perempuan dalam konteks ini,
merupakan kaum yang termarjinalkan (musthad’afin),
sedangkan Allah telah berjanji untuk selalu berada di pihak mereka yang
tertindas. Berangkat dari dekonstruksi dan pembacaan atas peta situasi global
maupun nasional hari ini, maka Tauhid Feminisme tidak ayal lagi merupakan suatu
hal yang mendesak.
Dalam
upaya perubahan sosial , maka yang pertama-tama perlu kita buat adalah road map perjuangan Tauhid Feminisme
dalam rangka memberantas kekerasan perempuan di ruang publik. Hal itu hanya
dapat dilakukan dengan, pertama, merancang
tata nilai sebagai basis acuan aksiologis; kedua,
melakukan rekayasa paradigma; ketiga,
merangsang atau mendorong kelahiran the
great intellectual giant beserta agen-agen perubahan sosialnya; keempat, pendekatan institusional; kelima, Hegemoni ruang publik; keenam, revitalisasi KOHATI sebagai
rumah perjuangan dan rahim gerakan Tauhid Feminisme: HMI beserta KOHATI harus
tampil selaku institusi yang memprakarsai Tauhid Feminisme.
Pertama, merancang
tata nilai merupakan hal yang krusial dan sangat vital. Bukankah tadi sudah
diingatkan oleh Cak Nur, bahwasanya tata nilai yang salah akan meahirkan
tradisi yang salah dan menghambat pembaharuan menuju kebenaran dan kebaikan.
Sehingga merancang kembali tata nilai sebagai landasan filosofis perjuangan
feminisme adalah urgent sifatnya.
Dikarenakan Tauhid Feminisme adalah gerakan yang berepistemologi dari Islam,
maka tata nilai yang dimaksud haruslah berasal dari Islam.
Gerakan
feminisme sejatinya merupakan gerakan yang menuntut keadilan jender. Sedangkan
paradigma Barat, memiliki kecenderungan menghendaki kesetaraan. Padahal
sesungguhnya, nalar kesetaraan dan nalar keadilan itu berbeda. Kesetaraan
adalah memberian semua orang hak yang sama terlepas dari diferensiasi kerja,
usia, maupun produktifitasnya. Contohnya: ayah memberikan jajan 5 ribu kepada
masing-masing anaknya yakni anak sulung di bangku perkuliahan dan anak bungsu
di bangku SD. Apakah itu setara? Tentu saja setar, akan tetapi apakah itu adil?
Tentu saja tidak. Adil itu sendiri menurut Ali bin Abi Thalib, adalah
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dikarenakan kebutuhan seorang anak SD dan
seorang mahasiswa itu jauh berbeda, maka harusnya jajan yang diberikan orang
tua juga berbeda nominalnya. Bisa saja uang 5 ribu itu cukup untuk jajan anak
SD, akan tetapi, mungkin saja akan sangat-sangat kurang bagi seorang mahasiswa
dengan kebutuhan perkuliahan serta kost-kostsan yang begitu tinggi.
Logika
feminisme Barat dibangun atas dasar nalar kesetaraan. Sehingga jangan heran,
apabila terkadang kalian melihat demonstrasi-demonstrasi feminisme Barat yang
terlalu radikal dan bahkan ekstrem di mata kita orang-orang peradaan Timur.
Contohnya adalah demonstrasi perempuan di jalanan New York yang menuntut kesetaraan,
dalam keadaan topless, atau dada
terbuka. Mereka beranggapan bahwa kalau laki-laki saja bisa berjalan di tempat
umum dengan tanpa baju, lantas mengapa perempuan tidak? Hal lainnya, misalnya
lihatlah berita pada hari perempuan internasional tahun lalu. Seorang perempuan
memanjat patung Bunda Maria dalam keadaan telanjang, sambil berteriak “Tuhan
adalah perempuan!” Hal ini dikarenakan pemberontakan feminisme Barat berakar
dari tekanan hegemoni patriarkal yang begitu represif, sehingga tekanan balik yang
dilakukan (feedback) itu kemudian
berlaku secara ekstrem dan kadangkala tanpa memperdulikan pentingnya tatanan
nilai. Sehingga tidak sedikit feminisme Barat yang melakukan contra-hegemoni
dengan cara balik mengeksploitasi dunia maskulinitas. Lantas apabila kita
mencemooh dominas maskulinitas adalah suatu hal yang buruk, kenapa kemudian
kita harus melawan dengan cara yang sama-sama jahat yakni malah balik
mendominasi serta mengeksploitasi maskulinitas?
Bukan
feminisme seperti itu yang hendak saya tawarkan kepada dunia. Feminisme Islam,
sebaliknya – atau mungkin kontras – lebih menitikberatkan pada konsep tentang
keadilan. Islam sebagai agama pelengkap peradaban sebelumnya, sangat
memperhatikan porsi keadilan dalam prakteknya. Namun secara lebih ringkas, mari
kita gunakan penegasan keadilan jender yang disimpulkan oeh Nasaruddin Umar[82]:
1. Laki-laki
dan perepmpuan sama-sama sebagai hamba. Salah satu tujuan penciptaan manusia
dan makhluk lainnya adalah mengabdi dan menyembah kepada Allah (QS Al-Nahl
(16):97).
2. Laki-laki
dan perempuan sebagai khalifah Allah di bumi.
Manusia diciptakan di bumi sebagai khalifah (pengganti, pengurus) Allah
untuk membangun dan memakmurkan bumi (Al-Baqarah (2): 30)
3. Laki-laki
dan perempuan menerima perjanjian primordial. Laki-laki dan perempuan sama-sama
mengemban amanah langsung dari Tuhan dalam perjanjian primordial. Firman Allah
menyebutkan perjanjian ini berlangsung antara “anak-anak Adam” dan Tuhan. Islam
tidak mengenalkan diskriminasi jenis kelamin, laki-lai dan perempuan sama-sama
menyatakan ikrar ketuhanan (QS al-A’raf (7):172).
4. Adam
(laki-laki) dan Hawa (perempuan) sama-sama terlibat secara aktif dalam drama
kosmis. Semua ayat yang menceritakan darama kosmis selalu menekankan kedua
belah pihak (Adam danHawa) secara aktif terlibat dengan menggunakan kata ganti
untuk dua orang (huma): (a) keduanya
diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas didalamnya (QS Al-Baqarah
(2):35); (b) Kedua-duanya sama-sama mendapat godaan dari syaitan (bukan
Hawa/perempuan yang menggoda Adam/laki-laki dan yang menybeabkan mereka
terjerumus) (QS al-A’raf (7):20; dan, (c) sama-sama memakan buah dari pohon
yang dilarang oleh Alah, pelanggaran ini dilakukan berdua atas dasar tipu daya
syaitan, bukan karena godaan dari Hawa (QS al-A’raf (7):22
5. Laki-laki
dan perempuan sama-sama berpotensi meraih prestasi, tidak ada kemuliaan dan
penghargaan yang didasarkan pada pertimbangan satu jenis kelamin (QS Ali-Imran
(3):195).
Langkah
selanjutnya adalah melakukan rekayasa paradigma, yakni pembentukan pola pikir.
Hal ini dilakukan dengan cara pencerdasan dan diskusi kritis yang intensif.
Dimulai dari kelompok-kelompok kecil terlebih dahulu, katakanlah itu Forum
Group Discussion (FGD). Jalaludin Rakhmat mengatakan bahwa sebelum dilakukannya
rekayasa sosial, masyarakat perlu untuk terlebih dahulu dijernihkan pikiran
mereka dari kesesatan-kesesatan berpikir (fallacy
of logic) dan mitos-mitos anti perubahan sosial (mitos deviant dan mitos trauma).[83]
Sasarannya tentu saja adalah masyarakat sebagai amunisi dari perubahan sosial
itu sendiri. Program rekayasa sosial ini juga bisa dilakukan dengan car-cara
seperti agitasi dan propaganda. Propaganda tidak hanya berkonotasi negatif
seperti yang seringkali dibicarakan. Propaganda bertujuan untuk mempengaruhi
massa baik dengan cara emosional, psikologis maupun rasional namun lewat
penyampaian yang sekompleks mungkin. Sedangkan agitasi adalah mempengaruhi
segelintir individu dengan ide-ide serta konsep yang lebih besar dan mendetail.
Ketiga,
teori
tentang great individuals (manusia-manusia
besar yang mengubah sejarh), sedangkan Murtadha Muthahhari menggunakan nama
teori peran besar intelektual (theory of
intelectual Giants), dikemukakan oleh beberapa orang. Thomas Carlyle adalah
satu dari beberapa orang tersebut. Thomas Carlyle memandang sejarah sebagai
biografi dari manusia-manusia besar. Dia mengatkan “sejarah universal merupakan
sejarah apa yang telah dicapai oleh umat manusia di dunia dan pada dasarnya
adalah sejarah manusia besar yangsudah bekerja di dunia”. Lebih lanjut, Carlyle
mengatakan bahwa manusia besar adalah jiwa dari seluruh sejarah umat manusia.
Pada salah satu bagian dari buku yang dia tulis, dia menulis tentang
Rasulullah, The Hero as The Prophet, Pahlawan
sebagai Nabi. Pada bagian ini Carlyle mengutip sebuah puisi:
Bagi bangsa Arab
Kelahiran Muhammad adalah kelahiran
dari kegelapan kepada cahaya
Arabia untuk pertama kalinya hidup
karena kehadirannya
Bangsa-bangsa gembala yang miskin
yang terasing di sahara sejak terciptanya dunia
Seorang nabi pahlawan dikirimkan
kepada mereka
Dengan firman yang mereka percaya
Lihat bagaimana gembala-gembala
yang tak dikenal menjadi penguasa dunia
Bangsa yang kecil tumbuh menjadi
bangsa yang besar
Dan dalam satu abad sesudah itu
Arabia memanjang sejak Granadha sampai New Delhi
Cemerlang dalam segala cahaya dan
kebesaran Arabia menyinari abad-abad panjang pada bagian besar dunia
Imam memang besar dan memberikan
kehidupan
Sejarah satu, bangsa menjadi tumbuh
subur
Menaikkan jiwa besar segera setelah
bangsa itu percaya kepada orang Arab
Orang ini –Muhammad- dan satu abad
saja
Bukankah ini sebuah percikan yang
jatuh dari langit
Kepada dunia padang pasir yang
tidak dikenal dan kelabu
Dan lihatlah padang-padang pasir
itu berubah menjadi amunist yang meledak
Dan sinarnya naik ke langit sejak
Delhi hingga Granadha[84]
Sementara Barat
mulai menaungi dirinya dalam sebuah perbaikan kesempatan, keterlibatan dan
partkularitas yang bersifat politis, arah yang sangat berlawanan kiranya perlu
untuk lahir di dunia, untuk menghasilkan keseimbangan totalitas perwujudan
spiritual. Ini berlangsung dalam revolusi Timur yang menghancurkan semua
partikularitas dan ketergantungan m dan dengan sempurna memberishkan kemurnian
jiwa dan perilaku.[85] Beitulah
pernyataan dari Hegel, seorang filsuf idealisme, ketika menyinggung
keberhasilan Revolusi Timur yang kembali digaungkan oleh baginda Rasulullah
saw.
”And
I said: The great man always acts like a thunder. He storms the skies, while
others are waiting to be stormed.”[86]
Aku katakan bahwa manusia besar selalu seperti halilintar yang membelah langit,
dan manusia lain hanya menunggu dia seperti kayu bakar. Inilah teori the great man dari Thomas Carlyle. Jadi
manusia besar seperti percikan api yang membakar kayu bakarkemudian meledak dan
mengubah sejarah dalam waktu yang singkat.
Sesungguhnya
secara relatif, dalam setiap masyarakat senantiasa ada minoritas yang
pikirannya kreatif. Kelompok minoritas ini mempunyai prakarsa,
pikiran-pikirannya orisinal, dan berada di depan dibanding yang lainnya.
Kelompok minoritas inilah yang membawa kemajuan sejarah dan membawa sejarah ke
tahap yang baru.[87]
Jalaludin
Rakhmat membagi, bahwa da tiga macam tipe individu di tengah-tengah masyarakat.
Pertama, ada ordinary people (manusia-manusia biasa) seperti kita yang membentuk
jaringan-jaringan sosial. Masyarakat sebenarnya terdiri dari sekian banyak ordinary people. Kita tidak bisa
memasukan mereka sebagai individy besar untuk mengubah sejarah. Kedua, exceptional actors, yaitu
tokohtokoh yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Mereka bisa berbuat apa saj
dan mempunyaikearifan yang dalam. Mereka bisa memahami apa yang dibutuhkan
masyarkat di sekitarnya. Exceptional
actors ini termasuk para nabi, pembaru dan tokoh sejarah besar. Mereka
mempunyai sesuatu yang istimewa yang membedakannya dengan manusia lain. Tipe terakhir, adalah orang-orang yang berada
di atara kedua tipe tadi. Orang seperti ini tidak mempunyai kebijakan dan
pengetahuan seperti yang dimiliki oleh exceptional
actors, tetapi mereka menduduki posisi penting di masyarakat. Karena itu
mereka biasanya disebut holders of
exceptional positions. Seseorang, misalnya, yang memiliki kearifan yang
rendah tiba-tiba menjadi presiden. Maka dia pun akan ikut menentukan jalannya
seharah dan dapat mempengaruhi proses perubahan sosial. Bahkan sekiranya dia
buta huruf seperti seorang kaisar di Afrika, dia dapt menentukan jalannya
sejarah, paling tidak untuk di negerinya sendiri. [88]
Umumnya
pemimpin-pemimpin di daerah-daerah tertentu bodoh-bodoh karena yang terlalu
pintar jarang diterima dalam sistem yang demokratis. Kenapa? Kecerdasannya
melampui zamannya. Kalau anda ingin memerintahbangsa kambing, kualitas anda
harus setara dengan kualitas kambing juga. Kalu kualitas anda harimau, kambing-kambing
akan lari, tidak akan mengambil anda sebagai pemimpin. Kalau bangsanya bangsa
singa, pemimpinnya juga harus singa.
Lalu apa yang
dilakukan oleh great individuals itu
untuk mengubah sejarah dan melaksanakan rekayasa sosial? Ada senarai type of actions yang dilakukan oleh
manusia. Sebagai anggota masyaraakat kita berada dalam sebuah spektrum dari private actions, tindakan orang yang
mempengaruhi secara pribadi tetapi tidak begitu banyak menimbulkan perubahan
sosial, sampai tindakan bersama (collective
actions) yang tidak terorganisir dan tidak terkoordinasikan. Kalupun sampai
terorganisir, biasanya dilakukan dengan cara yang buruk. Kerusuhna-kerusuahn
juga menimbulkan perubahan sosial, tetpai tidak berdampak besar kepada
masyarakat sebagai bangsa. Collective
actions ini biasanya dilakukan oleh social
movement (gerakan-gerakan sosial). Tindakan yang lebih bisa mengubah lagi
adalah tindakan yang sudah terorganisir, terencana dan sudah disiapkan
sebelumnya. Dalam isitlah Bung Karno, ada yang dikenal dnegna pembentukan
kekuatan dan pemanfaatan kekuatan. Ada sebuah organisasi sosial yang
mengorganisasi rencana-rencana mereka membentuk kekuatan dan memanfaatkan
keuatan itu. Tindakan yang paling akhir adlalah tindakna-tindakan politik (political actions).[89]
Kita dapat
mengukur kebesaran seseorang dari sejauh mana kebesarannya itu membayangi
generasi sesudahnya. Beberapa orang menentukan jalannya sejarah untuk waktu
yang cukup lama sampai berabad-abad lamanya. Mereka memberikan bekas yang abadi
di dalam jejak-jejak sejarah, lasting
imprint in history, seperti Muhammad, Yesus, dan lain sebagainya. Ada juga
orang besar yang hanya berpengaruh sebentar saja. Kita menyebut mereka dengan
panggilan trendsetter. Terkadang
pengaruh itu pun hanya terdapat dalam satu bidang saja, mode atau fashion misalnya. Sedangkan manusia
besar atau great individual disini,
maksudnya adalah manusia yang mampu merubah seluruh aspek hidup manusia. Karena
keseluruhan aspek hidup manusia dimulai dari paradigma, maka manusia besar
adalah dia yang mampu menciptakan atau merubah paradigma masyarakat yang pada
akhirnya mampu melahirkan peradaban.
Dari segi spasio
atau temporal, dampak pengaruh individu itu pun ada yang terbatas. Soeharto,
misalnya, hanya berpengaruh di Indonesia saja, sementara orang lain, seperti
Hugo Chaves, memperoleh kebesaran yang mencakup seluruh wilayah dunia karena
kebesarannya yang menolak kapitalisme Amerika. Sedangkan dari segi temporal,
bisa saja tokoh politik atau ekonomi atau budaya yang hari ini kita
agung-agungkan, pada beberapa tahun kemudian akan kita kritisi dan terlupakan
dalam sejarah. Dalam artian, terkadang tokoh besar yang kita anggap great individuals hanyalah ilusi yang
sengaja diciptakan oleh tokoh tersebut demi ambisi pribadi mereka. Berbeda
halnya dengan Muhammad atau Yesus yang kebesarannya, serta inovasi dan
kecerdasannya masih dipandang dan dihormati lewat pengakuan-pengakuan secara
meluas di seluruh dunia dan oleh kebanyakan manusia. Terlepas dari kenyataan
bahwa kedua tokoh tersebut adalah founding
leaders sebuah agama, mereka telah menciptakan karua-karya intelektual dan
warisan inovasi tersebut telah berhasil menuntun umat manusia untuk membangun
sebuah peradaban besar.
Di dalam sejarah
pun ada dua macam alur yang terjadi yakni objektive
consequences (akibat-akibat objektif yang ditimbulkan, yang tidak
direncanakan) dan akibat yang sudah direncanakan dan dimaksudkan oleh manusia
besar itu. Kadang-kadang apa yang direncanakan oleh manusia besar sesuai dengan
akibat-akibat yang terjadi. Misalnya Ronald Reagen merencanakan agar Amerika
bangkit kembali sebagai Rambo di dunia ini. Apa yang dicita-citakan oleh Reagen
sebagai manusia besar pada tingkat tertentu menampilkan model yang kita sebut the coindence between intention and
consequences, kesesuaian antara rencana dengan akibat yang terjadi, atau
kesesuaian antara ekspektasi dan akibat objektif.
Jalaludin
Rakhmat mengatkan bahwa umumnya manusia besar lahir karena terjadi satu
peristiwa besar yang tidak diharapkan terjadi, atau tidak sesuai dengan ajaran yang
dianut secara umum waktu itu. Jadi ada peristiwa penentangan arus. Marx,
misalnya mencita-citakan dengan gagasan-gagasannya sebuah masyarakat yang
humanistik yang menghargai orang-orang kecil (proletar) yang membela kelompok
tertindas (mustad’afin). Tetapi
kemudian yang dihasilkan oleh konsep Marx adalah sebuah negara yang totaliter
dan menindas. Jadi, antara intention dengan
consequences tidak selalu sama.
Bahkan sebagian orang tidak merencankannya sama sekal. Ada sebagian orang yang
menjadi besar setelah meninggal dunia. Pada saat dia hidup, dia tidak
mendapatkan penghargaan sama sekali. Misalnya James Watt yang menemukan mesin
uap, atau Christoper Colombus yang menemukan benua Amerika. Colombus sama
sekali tidak pernah merencanakan akan melahirkan sebuah super-power di belahan
dunia itu.[90]
Terkadang
perubahan sosial atau gerakan sejarah terjadi diluar rekayasa manusia, yang
dalam sub-bab ini terjadi diluar kehendak sang manusia besar. Di dunia Islam,
peristiwa kekalahan Marwan bin Muhammad, Khalifah Bani Umayah terakhir,
merupakan contoh bagus mengenai bagaimana suatu kebetulan mengintervensi nasib
sejarah. Dalam pertempuran terakhirnya melwan kaum Abbasiyah, dia sangat
kebelet kencing lalu dia pergi kencing ke suatu tempat. Secara kebetulan,
seorang tentara musuh melewati tempat itu dan melihat Marwan tengah sendirian,
tentara musuh itu lalu membunuhnya. Berita bahwa Marwan telah terbunuh menyebar
dengan cepat di kalangan tentaranya, seperti kobaran api yang tidak terkendali.
Karena kejadian ini tidak terduga, tentara Marwan menjadi patah semangat, lalu
mengambil langkah seribu. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayah.
Mengenai peristiwa ini dikatakan, “sebuah kerajaan jatuh gara-gara kencing”[91].
Dengan demikian
dapat ditarik satu kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak mutlak terjadi atas
kehadiran manusia besar tersebut. Akan tetapi tentu saja dalam konteks rekayasa
sosial, manusia besar merupakan suatu keharusan yang mesti ada. Sebab
masyarakat tidak memiliki personalitas, masyarkat hanya menyimpan semangatnya
masing-masing sesuai dengan zaman dimana mereka tingal (zeitgeist), dan semangat tersebut dipersonalisasikan atau
direpresentasikan oleh seorang tokoh besar sebagai cerminan semangat tersebut.
Dengan demikian sejarahlah yang menciptakan tokoh, bukan sebaliknya.
Montesquieu mengatakan, “Orang besar dan peristiwa penting merupakan tanda dan
akibat dari peristiwa yang lebih penting dan lebih besar.” Hegel berkata,
“Orang besar tidak menciptakan sejarah, melainkan membidaninya.” Orang besar
merupakan simbol, bukan penyebabnya. Menurut pemikiran orang-orang yang seprt
Durkheim, percaya bahwa semangat kolektif merupakan hal pokoknya dan bahwa
individu-individu seperti itu sama sekali tidak mempunyai personalitas dan
mereka meminjam personalitas mereka dari masyarakat, maka individu-individu
seperti tokoh-tokoh besar tidak lain adalah manifestasi semangat kolektif
masyarkaat. Dalam kata-kata Mahmud Syabistari, mereka adalah kasa jendela
semangat kolektif.
Tiap masyarakat,
di wilayah tertentu dan waktu tertentu mengidap harpaan serta keyakinan yang
secara otomatis lahir dari realitas sosial yang ada. Ekspektasi masyarakat
tersebut kemudian terkristalisasi atau terhimpun dalam sebuah ideologi kelas.
Ideologi kelas membutuhkan simbolisasi-simbolisasi seperti tokoh sebagai
representasi ideal dan konkrit atas kehendak kelas. Soekarno lahir sebagai
cerminan refleksif atas kehendak sosial yang mendamba-dambakan revolusi dan
dekolonialisasi. Marx merupakan cerminan refleksif atas keinginan kaum proletar
atas ketertindasan para pelaku ekonomi dimana sirkulasi modal hanya berputar
dan terkonsentrasi pada mereka. JJ Rousseau merupakan representasi masyarakat
yang ingin menghidupkan warna partisipatif dalam perjalanan negara. Muhammad
adalah cerminan keinginan dan harapan seluruh umat manusia, sebagaimana yang
beliau katakan: “tidak diturunkan aku kecuali untuk menyempurnakan budi luhur
manusia”.
Sehingga dalam
diskursus rekayasa sosial, harus ada upaya-upaya strategis untuk mendorong
terlahirnya manusia besar tersebut. Aktor rekayasa sosial harus mengetahui
ketertindasan seperti apa yang tengah dialami rakyat, dan wajib menggali
semangat yang bisa melatarbelakangi transformasi sosial tersebut. Ketika
sebab-sebab telah terkumpul, maka selanjutnya adalah membuat simbolisasi-simbolisasi
dan melekatkannya pada seseorang yang dinilai mampu untuk mewakili semangat
masyarakat. Sedangkan dalam konteks gerakan Tauhid Feminisme, yang lantas layak
menjadi representasi untuk ditokohkan sebagai perempuan yang mewakili semangat
seluruh perempuan yang tertindas. Meskipun begitu tidak juga menutup ruang bagi
partisipasi laki-laki dalam agenda besar rekayasa sosial ini. Hanya dengan cara
seperti itulah, rekayasa sosial berhasil menciptakan sebuah revolusi. Yang
dalam konteks ini, marilah kita sebut dengan Revolusi Kelemahlembutan.
Keempat,
pendekatan
institusional bermakna bahwa Institusi harus menjadi subjek yang ikut
mempengaruhi terwujudnya ekspektasi para Jihaders Feminisme. Teori Montesqieu
menjelaskan bahwa suatu negara yang ideal harus mempraktekkan sistem pemisahan
kekuasaan (separations of power),
teori itu dikenal dengan nama Trias
Politica. Kekuasaan negara setidaknya harus terbagi menjadi kekuasaan
Eksekutf, Legislatif dan Yudikatif. Peran perempuan selanjutnya adalah memasuki
dan menjadi bagian dari institusi-institusi tersebut. Langkah masuknya bisa
dengan dedikasi maupun kompetisi. Hanya saja jangan sampai paradigma yang
digunakan dalam kompetisi adalah paradigma tentang superioritas jender seperti
yang sudah dijabarkan sebelumnya. Satu-satunya motif untuk merebut institusi
bukanlah mengalah dan mempermalukan kaum laki-laki, begitu juga bagi kaum
laki-laki, juga harus memberikan ruang, peluang dan kesempatan sebesar-besarnya
kepada perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam sistem.
Bukan dalam
artian, kekuasaan dari institusi itu merupakan tujuan utama gerakan feminisme
kita. Cak Nur berkata, bahwa kekuasaan atau dalam konteks ini; institusi,
hanyalah sarana, bukan tujuan. Termasuk keberhasilan dalam kehidupan lahiriah
itu ialah keberhasilan dalam memperoleh kekuasaan politik. Kekuasaan politik
bukanlah tujuan akhir perjalanan hidup kita menuju kebahagiaan, baik pribadi
maupun bersama. Kekuasaan politik hanyalah sarana untuk mempermudah mencapai tujuan
itu. Karena itu junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. pun, setelah berhasil
membebaskan Makkah dari kam musyrik Qruraish, diperintahkan Tuhan untuk
bertasbih memuja-Nya dan memohon ampun kepada-Nya. Yaitu, untuk meningkatkan
diri kepada dataran nilai kehidupan yang lebih hakiki, sebagaikelanjutan dari
kesuksesan beliau meletakkan prasarana kehidupan sosial-politik.[92]
Kelima, hegemoni
ruang publik. Bahwa berangkat dari pembahasan yang panjang lebar tadi, realitas
sesugguhnya terbagi atas dua yakni realitas secara empirik dan hyper-realitas
atau realitas semu. Konsep ruang publik dalam dua jenis realitas tersebut juga
berbeda-beda. Yang jelas, dalam prinsip hegemoni ala Antonio Gramscy, dalam
upaya hegemoni diperlukan dua agen yang akan menjadi pionir dari dominasi
sosial: agen intelektual dan agen moral. Gerakan Tauhid Feminisme harus
membentuk semacam pola pendidikan dan pelatihan yang mapan agar kedua agen ini
dapat muncul ke permukaan, mereka ditokohka dan dipercayai oleh masyarakat
secara umum selaku sumber referensi. Secara tidak langsung merekalah yang
memegang otoritas atas perubahan.
Kedua
agen tersebut, harus selaras dengan Manusia Besar yang dikonsepkan tadi. Bahwa
mereka memiliki keberpihakan terhadap gerakan Tauhid feminisme memang sudah
jelas harus ada, akan tetapi satu hal yang perlu diingat mereka juga harus
punya akses secara langsung dengan masyarakat selaku sasaran hegemoni.
Pemanfaatan ruang publik harus digunkan seefektif mungkin. Dalam konteks
ke-HMI-an, sudah terlampau terpatri pada mindset
kader, bahwa untuk melakukan perubahan, kau setidaknya harus menjadi
penguasa atau tidak pengusaha. Pola berpikir yang struktural tersebut mungkin
cocok untuk zaman Orde Baru dimana arus globalisasi dan terjangan informasi
belum begitu deras melanda umat manusia. Akan tetapi, di era virtual ini,
doktrin yang tertanam dalam alam bawah sadar tersebut harus dirombak, dan
direaktualisasi dengan berbagai macam cara.
Salah
satu prinsip dari globalisasi yang paling penting, adalah, barangsiapa yang
menguasai informasi maka dia yang memegang kendali globalisasi, dialah yang
memegang opini publik. Gerakan Tauhid feminisme, selain harus menarget
institusi politik-ekonomi, juga harus menaruh konsentrasi pada media massa.
Pola berpikir, rekayasa opini, agenda setting, tidak lain tidak bukan merupakan
inisiasi dari para boss-boss informasi. Ketika HMI sedang keasyikan menikmat
euforia karena telah berhasil mencapa posisi-posisi struktural di institusi
politik dan telah merambah dunia enterpreuner dan tidak jarang menjadi
tokoh-tokoh kapitalisme, mereka dapat dengan mudah digulingkan lewat kekuatan
informasi sebab satu-satunya kekuatan di negara demokrasi, adalah opini publik,
yang hanya dapat dikontrol lewat manajemen issue yang hanya mampu digerakkan
media massa.
Keenam, KOHATI harus menjadi panglima yang berada di garda depan perjuangan Teologi
Feminisme. KOHATI harus memaksimalkan fungsinya dalam sistem serta pola
perkaderan yang lebih progresif. Hal ini, salah satunya dapat ditempuh ketika
dilakukan restrukturalisasi terhadap sistem dalam hubungannya dengan HMI
sebagai organisasi induk. Harus diakui, pola sistem koordinasi dan komunikasi
dalam organisasi kita, masih kental dengan aroma patriarki. Lihaltalh dalm
beberapa cabang, telah menjadi preseden bahwa seorang ketua KOHATI haruslah
menjadi kabid Pemberdaya Perempuan. Hal ini secara tidak langsung telah
menegaskan hubungan KOHATI dengan HMI bersifat subordinat atau vertikal, dimana
HMI secara hierarkis berada lebih tinggi. Hal ini harus dirombak kembali.
KOHATI harus menjadi partner dalam
perjuangan gerakan feminisme, bukan malah kesannya dikooptasi atau (mohon maaf)
dikapling oleh HMI. Walaupun memang benar KOHATI merupakan bagian dari HMI,
akan tetapi secara institusional, idealnya terpisah sehingga pola jaringan
komunikasi dan koordinasi tidak seakan-akan terpusat dan dibawah bayang-bayang
kuasa sang induk.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Selaku makhluk
berpikir, yang memiliki potensi terhadap dinamika wacana, manusia senantiasa
berlaku sebagai penafsir. Hanya saja, bisa jadi kita akan terhimpit pada dua
hal. Apakah kita adalah bagian dari masalah? Ataukah kita adalah bagian dari
solusi? Beberapa orang memilih untuk diam, mereka berujar: kalau aku tidak bisa
menjadi bagian dari solusi, aku tidak perlu untuk menjadi bagian dari masalah
juga. Tipikal orang-orang yang cuci
tangan seperti ini, biasanya hanya akan menjadi penonton atau penumpang gelap
(dark passenger) dalam perubahan
sosial. Sebab sederhana saja, orang yang melakukan kedzaliman, dan orang yang
membiarkan kedzaliman terjadi – sedangkan dia punya kuasa untuk mencegah itu
untuk tidak terjadi – adalah dosa sosial yang sama-sama berat.
Upaya untuk
melebur dalam gerakan alternatif, ditengah kejumudan feminisme dan semakin
maraknya kecurigaan publik bahwa feminisme malah berindikasi menuju hal-hal
yang kontraproduktif, akhirnya terhembus angin segar dari proses pemerasan
ide-ide serta gagasan yang sebenarnya hanya menggali kembali, nilai-nilai yang
sudah ada, yang telah disosialisasikan oleh Nabi Muhammad sekitar empat belas
abad silam: gerakan itu bernama Tauhid Feminisme.
Melihat kondisi
ruang publik yang begitu dinamis dan tak lekang oleh retakan peradaban (diskontinuitas). Tidak bisa kita melihat
permasalahan dengan kacamata kuda. Elaborasi dan eksplorasi khazanah pemikiran
merupakan suatu keharusan, meskipun begitu tidak menggugurkan Tauhid sebagai
titik acuan dari basis nilai Feminisme yang hendak ditawarkan. Apalagi dengan
kenyataan ilmiah bahwa Tauhid memantapkan nilai yang berlaku secara universal,
sehingga pola bangunan apapun yang dibangun di atasnya, selama selaras dengan
tujuan keadilan, kebenaran dan kebaikan, niscaya tidak akan roboh. Perspektif
yang digali memang beragam, dari pemikir Barat, Timur, Utara, Selatan,
Filsafat, Antropologi, Psikoanalisa, Orientalisme, dan lain sebgainya. Hal ini
diperlukan mengingat ilmu pengetahuan yang semakin kompleks, mulai
bersinggungan satu sama lain. Bagaikan keping-keping puzzle yang berserakan.
Apabila kita berhasil menyusunnya secara benar lewat pikiran-pikiran kreatif,
tidak pelak lagi, akan muncul solusi atas problematika yang hadir dalam konteks
keperempuanan ini.
Analisis atas
kekerasan simbolik terhadap perempuan di ruang publik ini, tidak hanya
terbatasi di aspek-aspek domestik saja. Kebanyakan analisis feminisme, itu
berputar di permasalahan kesempatan hak dan kewajiban jender di era
industialisasi. Tetapi masih sedikit yang menyenggol wacana tentang
hyper-realitas, dunia virtual, dunia semu dimana batas-batas antara nyata dan
tidak nyata mulai memudar. Di era posmodernitas inilah, informasi menjelma jadi
amunisi dan senjata adalah media. Dengan kata lain, gerakan Tauhid Feminisme tidak
boleh gaptek. Dalam artian harus meninggalkan stereotip usang bahwa segala
sesuatu yang berkaitan dengan Islam atau Timur itu pasti kuno, tradisional,
barbar, dsb.
Akan tetapi
pendekatan institusional lewat diskursus ini tidak akan cukup mewadahi apabila
tidak dielaborasi dengan wacana sejarah ketertindasan perempuan dan posisi
perempuan di aspek teologis. Kedua variabel tersebut merupakan satu kesatuan
yang harus hancur bersamaan. Apabila diibaratkan gerbang. Maka sejarah
penindasan adalah daun pintu kiri sedangkan doktrin keperempuanan dalam
teologis adalah daun pintu kanan. Gerbang itu sendiri, adalah kekerasan di
ruang publik terhadap kaum perempuan. Sederhana saja, kita seret mereka yang
telah terlanjur masuk dalam jebakan setan itu, kita sadarkan mereka lewat
gerakan moral dan rekayasa paradigma. Kita urai satu persatu pintu gerbang
serta semua media dalam denah bangunan itu. Kemudian kita pasang kembali,
dengan gaya yang lebih baru, dengan tawaran yang lebih segar, dengan pondasi
Tauhid.
Namun, secara
lebih kompleks, mari kita persempit dan pertajam buah dari analisis kita: Dalam
upaya perubahan sosial , maka yang pertama-tama perlu kita buat adalah road map perjuangan Tauhid Feminisme
dalam rangka memberantas kekerasan perempuan di ruang publik. Hal itu hanya
dapat dilakukan dengan, pertama, merancang
tata nilai sebagai basis acuan aksiologis; kedua,
melakukan rekayasa paradigma; ketiga,
merangsang atau mendorong kelahiran the
great intellectual giant beserta agen-agen perubahan sosialnya; keempat, pendekatan institusional; kelima, Hegemoni ruang publik; keenam, revitalisasi KOHATI sebagai
rumah perjuangan dan rahim gerakan Tauhid Feminisme: HMI beserta KOHATI harus
tampil selaku institusi yang memprakarsai Tauhid Feminisme.
B.
SARAN
Dalam proses
pembuatan makalah ini, yang telah memeras otak serta energi hingga hampir
kering kerontang, terdapat banyak kendala yang ditemui di tengah jalan. Secara
pribadi, penulis ingin memberikan semacam advice
terhadap para pembaca dimanapun teks ini berlabuh:
1. Wilayah
antropologi budaya perlu dieksplorasi lebih mendalam. Sebab literatur-literatur
tentang budaya patriarkal dan matriarkal sejatinya sangat penting untuk
menelaah asal muasal maskulinisme. Hal ini dikarenakan tokoh-tokoh antropologi
didominasi oleh laki-laki yang lebih dari rata-rata tidak memiliki ketertarikan
sama sekali terhadap wacana feminisme dan jender. Pemerintah harus selalu
memacu produktivitas sarjana-sarjana dalam bidang ini lewat program-program
beasiswa.
2. Membuat
blueprint Peta Perjalanan (Road Map) Tauhid Feminisme baik itu
jangka panjang maupun jangka pendek. Korps HMI-wati harus menjadi patron dalam
gerakan ini.
3. HMI
harus keluar dari kecenderungan untuk menjadi penguasa atau pengusaha. Kita
harus lebih menspesifikasi sasaran lebih detail. Dibanding institusi politik
dan ekonomi, insitutsi informasi adalah objek strategis dimana di era
neo-globalisasi ini memendam aksiologis: siapa yang mengendalikan informasi,
dia yang menang.
4. Optimalisasi
ruang publik agar selalu kondusif dalam kegiatan-kegiatan diskursif.
5. Menjadikan
laki-laki sebagai sasaran rekayasa paradigma. Karena antitesis terhadap
dominasi patriarkal telah – secara tidak langsung – terlanjur menstigmatisasi
apapun yang berhubungan dengan kelaki-lakian, maka seakan-akan perempuan telah
menutup pintu sera jendelanya untuk dimasuki laki-laki sembari memikirkan
strategi feminisme di dalam rumah. Sesungguhnya bukan seperti itu, menolak
patriarki bukan berarti harus memusuhi lak-laki. Karena banyak juga laki-laki
yang mendukung feminisme (termasuk saya) dan banyak juga perempuan yang menolak
feminisme.
6. HMI-wan
harus berperan aktif dalam strategi Tauhid Feminisme. Terlampau sering,
diskusi, literasi maupun aksi yang menyangkut tentang keperempuanan diinisiasi
oleh para perempuan. Padahal perjuangan feminisme ini bukanlah perjuangan
ekslusif seperti itu, harusnya menjadi perjuangan kolektif. Laki-laki terlalu
sering terlihat reseptif dan tidak bergerak kalau tidak dipacu dulu. Jikalau
ini dijadikan proyek bersama, maka laki-laki juga harus mengambil peran untuk
menginisasi gerakan feminisme juga. Sebab permasalahan keadilan jender tidak
hanya mengikat kaum perempuan, tapi juga laki-laki.
7. Merobohkan
sistem patriarkal yang masih melekat di internal HMI. Katakanlah ini sebagai
upaya restrukturalisasi. KOHATI yang merupakan partner kerja HMI, malah
dianggap tendesius sebagai matahari
kedua. Dalam artian, di beberapa cabang beredar issue bahwa bagaimana bisa
seorang kader perempuan memiliki dua pemimpin dalam satu wadah organisasi?
Issue lainnya adalah, KOHATI harus dibubarkan karena dianggap sebagai (mohon
maaf) kandang ayam yang berfungsi
mengisolasi dan menumpukkan kader-kader perempuan disana, agar tidak mengganggu
urusan sikat-menyikat kekuasaan. Issue tersebut harus dinetralisir dari
peradaban. Bangun opini dan pola komunikasi serta sistem jaringan organisasi
yang lebih ideal. Bahwa kader perempuan tidak pernah dicegat untuk ikut
bersaing memperebutkan kehormatan sebagai ketua umum di tataran Cabang, Badko
maupun PB. KOHATI hanyalah organisasi independen yang bergerak di satu bidang
yang khusus mengurusi masalah keperempuanan. Sedangkan HMI dalam tataran
general. Lebih baik bangun sistem komunikasi antara dua institusi ini dalam
rangka koordinasi dan mengontrol satu sama lain agar agenda-agenda yang
dijalankan tidak saling bertubrukan.
[1]Hegel,
Georg Wilhem Friedrich. 1956. The Philosophy of History. London: Dover Publication. Hlm, 118
[2]
Bahkan hingga hari ini pemikiran Aristoteles masih menghegemoni dunia
pemikiran. Fase-fase besar dalam sejarah, hanya bisa lahir tatkala mereka
berhasil membongkar fundamen pemikiran Aristoteles dan menyumbangkan gagasan
baru sebagai anti thesa.
[3]
Hegel, Georg Wilhem Friedrich, loc. cit, hlm,
205
[4]
Sebagai bahan untuk merambah khazanah, dalam bukunya, Mohammad Guntur Romli
berhasil mengilustrasikan kondisi Arab pada periode Jahiliyah tersebut.
“Masyarakat Arab pada saat Al-Quran turun adalah masyarakat Patriarkhi.
Kekuasaan berpusat pada seorang laki-laki dan standar kelelakian yang kuat dan
tanpa batas. Pada waktu itu laki-laki adalah segala-galanya. Mempunyai
kebebasan dan hak yang tidak kenal batas. Sedangkan perempuan dalam posisi
terjepit, tidak memiliki hak-hak sama sekali. Jangankan hak sosial, jaminan
hidup saja sangat sulit, karena anak-anak perempuan tidak diharapkan
kehadirannya. Terdapat tradisi di sebagaian masyaraat Arab Jahiliyah, menanam
anak perempuan hidup-hidup (wa’du
al-banat : baca QS an-Nisa (4):19 dan QS al-Takwir (81):8-9), seperti di
Bani Tamim, Kandah, Rabi’ah, dan Mudlar. Dalam keluarga, anak perempuan tidak
berhak menerima warisan, bahkan, mereka diperlakukan seperti harta benda yang
bisa diwariskan. Hal ini dicatat dalam firman Allah; “Hai kaum beriman tidak
halal bagi kamu mewariskan perempuan dengan jalan paksa.....” (QS an-Nisa
(4):19). Jika seseorang meninggal, maka anak tertua secara otomatis menerima
istri ayahnya (QS a-Nissa (4):22). Perempuan tidak berhak menentukan pasangan
hidupnya, dan terkadang tidak menerima mahar saat nikah. Atau ia bisa dinikahi
mellaui pertukaran antara saudara yang disebut nikah al-badl. Seorang perempuan yang dituding amoral boleh digauli
banyak laki-laki (gangbang), sampai
ia hamil. Dan bayi yang lahir dimiliki oleh-laki yang mirip dengan bayinya.
Anak-anak yatim perempuan yang berharta dinikahi secara sewenang-wenang agar
bisa menguasai hartanya (QS an-Nisa (4):3). Potret tradisi masyarakat Arab
Jahiliyah yang jelas-jelas dilarang Allah dapat kita baca dalam Surat An-Nissa’
dari ayat 19 sampai 22. Lebih lengkapnya baca: Romli, Mohammad Guntur,. 2013. Islam Tanpa Diskriminasi; Mewujudkan Islam
Rahmatan Lil Alamin. Jakarta: rehal pustaka. hlm. 68-120.
[5]
Supeli, Karlina. 2011. Dari Kosmologi ke
Dialog; Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme. Bandung: Mizan.
Hlm, 79
[6]
Kita harus membedakan Budhisme sebagai agama dan paham atau jalan
kebijaksanaan. Buddhisme sebagai agama, merupakan syarat administratif serta
sikap penuh tunduk secara total pada Nirwana. Sedangkan Buddhisme sebagai jalan
kebijaksanaan, merupakan sekumpulan gagasan tentang gaya hidup yang baik,
beretika, sopan-santun, bagaimana bersikap, kedamaian, jalan menempuh penyucian
diri (tazkiyah al-nafs).
[7]
Ketika pertama kali orang-orang Romawi berhubungan dengan bangsa Yunani, mereka
menjadi sadar bahwa diri mereka masih cukup barbar dan belum beradab. Bangsa
Yunani jauh menugngguli mereka dalam banyak hal:dalam manufaktur dan teknik
pertanian; dalam macam-macam pengetahuan yang perlu bagi pegawai yang baik;
dalam percakapan dan seni menikmati hidup; dalam kesenian, sastra dan filsafat.
Satu-satunya hal dimana bangsa Romawi unggul adalah dalam siasat militer dan
peratuan sosial. Sesuda Perang Punic, pemuda-pemuda Romawi merasa kagum terhadap
bangsa Yunani. Mereka mempelajari bahasa Yunani. Dewa-dewi Romawi diciptakan
mirip dengan dewa-dewi Yunani. Kisah asal-usul Romawi yang dari bangsa Troya
disusun sedemikian rupa sehingga mengandung kaitan dengan mitos Homerik. Para
penyair Latin mengadopsi irama-irama puisis Yunani, para filsuf mengambil alih
teori-teori Yunani. Hingga saat terakhir, secara kultural Roma bersifat parasit
terhadap Yunani. Bangsa-bangsa Romawi tidak lagi mencipta bentuk-bentuk
kesenian, tidak membangun filsafat yang orisinil, dan tidak menghasilkan
satupun penemuan ilmiah. Kejenuhan karena tidak adanya kreatifitas untuk
menandingi peradaban Yunani, telah menyeret mereka kembali ke watak lamanya
yakni bangsa yang barbar dan dipenuhi tribalisme akut. Lebih lengkapnya baca: Russel,
Bertand. 1946. History of Western
Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the
Earliest Time to the Present Day. London: UNWIN LTD. Hlm, 378-379
[8]
Armstrong, Karen. 2008. Muhammad; A
Biography of the Prophet. London: Wellington House. Hlm, 95
[9]
Untuk lebih lengkapnya silahkan baca Madjid, Nurcholis. 2008. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung:
Mizan Media Utama.
[10]
Fuad Hassan. “Pokok-pokok Bahasan Mengenai Budaya Nusantara Indonesia”. Daam http://kongres.budpar.go.id/news/article/Pokok_pokok_bahasan.htm
diakses pada 20 Agustus 2015 Pukul 23.09
[11]
Secara gamblang proses itu diulas dalam bukunya: Kuhn, Thomas. 1970. The Structure of Scientic Revolutions. Chicago:
Chicago University Press. Untuk memperjelas dan sebagai bahan perbandingan
dapat dilihat pula pada bukunya A.F. Charlmers. 1983. Apa yang dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian tentang Watak dan Status Ilmu
serta Metodenya. Jakarta: Hasta Masta. hlm. 94-95 . Lihat juga George, Ritzer. 1992. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 3-5
[12]
Dalam bukunya, Propper menjelaskan: “Dengan senang hati saya mengakui
falsifikasionis seperti saya sendiri jauh lebih suka berusaha memecahkan
persoalan yang menarik dengan melakukan dugaan yang berani, walaupun (dan
terutama) apabila tidak lama kemudian ternyata salah, daripada mengulang suatu
rangaian kebenaran yang tidak relevan. Kami lebih suka ini karena kami percaya
bahwa begitulah caranya kita dapat belajar dari kesalahan-kesalahan kita, dan
setelah mengetahui bahwa dugaan kita salah, kita akan belajar banyak tentang
kebenaran, dan akan makin mendekati kebenaran.” Lebih detailnya baca: Propper,
Karl R. 1969. Conjectures and Refutation.
London: Routledge & Kegan Paul. hlm.
231.
[13]
Realitas = reality (Inggris). Latin
‘realitas’ diturunkan dari ‘res’ =
benda. Istilah realitas diperkenalkan ke dalam filsafat pada abad ke-13 oleh
Duns Scotus, yang menggunakan istilah itu sebagai sinonim ‘being’ (yang ada, pengada). Sesungguhnya tidak dapat ditarik
pembedaan yang tegas antara dua istilah itu, tidak pula antara ‘aktualitas’ dan
‘eksistensi’. Untuk lebih lengkapnya lihat: Lorens, Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. hlm.
937
[14]
Kedua makna realitas yang disebutkan di atas, selalu diperbincangkan oleh
banyak filsuf, sebagai suatu pandangan yang bersifat dualistik atau oposisi
binner, yaitu mengkonstruksikan konsep-konsep pasangan yang membedakan antara
zat/substansi, tubuh, jiwa, fenomena/noumena, imanen/transenden dan lain-lain.
Menurut Yasraf Amir Piliang, potret realitas yang demikian itu telah
menciptakan sebuah ideologisasi realitas, yaitu pandangan tentang realitas
sebagai sebuah pilihan binner. Lihat:Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era
Postmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.
hlm 55 –dst. Sementara itu Immanuel Kant, seorang guru besar logika dan
matematika (1724-1804) menjelaskan tentang adanya dua realitas yaitu dunia fenomena
dan noumena. Dunia fenomena adalah dunia yang kita alami dengan panca indera
dan terbuka bagi penelitian ilmiah karena rasional. Sains, meneliti dunia
fenomena – dunia alami (natural world)
dan nalar mengarahkan pengamatan itu. Dunia noumena tidak bisa didekati dengan
pengamatan empiris karena bukan hal yang fisik atau empiris. Lihat: Agus Salim.
2001. Teori dan Paradigma Penelitian
Sosial; dari Denzin Guba dan Penerapannya. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. hlm. 1
[15]
Itulah sebuah realitas yang melampaui realitas, sebuah realitas virtual, dunia
yang melampaui dan bersifat artifisial ini menjajah hampir setiap realitas yang
ada, yang pada suatu ketika nanti akan mengambil alih secara total
realitas-realitas tersebut. Setidak-tidaknya terhadap realitas artificial tersebut ada tiga pandangan, Pertama, yang optimis dan positif – affirmative (Timothy Leary, Rheingold). Kedua, yang pesimis, curiga dan menolak
– Refusal (Boal, Gandy, Sluoka). Ketiga, pandangan yang penuh
ketidakpastian, mengkritik tapi menerimanya sebagai sebuah kenyataan yang tidak
dapat ditolak – fatalistic (Baudrillard).
Lihat: Yasraf Amir Piliang, Pengantar dalam bukunya Mark Slouka. 1999. Ruang yang Hilang, Pandangan Humanis tentang
Budaya Cyberspace yang Merisaukan. Bandung: Mizan. hlm. 14.
[16]
Hyper-realitas, menurut Baudrillard adalah efek, keadaan atau pengalaman
kebendaan dan atau ruang yang dihasilkan dari proses simulasi yaitu proses atau
strategi intelektual. Hyper-realitas ditandai dengan lenyapnya pertanda dan
metafisika representasi, runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu
sendiri, yang diambil oleh duplikasi dari dunia nostalgia dan fantasi atau
realitas menjadi realitas pengganti, pemujaan (fetish) objek yang hilang bukan lagi objek representasi, akan
tetapi ekstase penyangkalan dan pemusnahan ritualnya sendiri. Lihat: Jean
Baudrillard. 1983. Simulation. New
York: Semiotex(e). hlm. 142. Lihat
pula dalam Piliang Yasraf Amir. 1999. Hiper-realitas Kebudayaan. Yogyakarta:
LkiS. hlm 88 – seterusnya.
[17]
Jean Baudrillard. 1993. Symbolic Exchange
and Death. London: Sage Publications.
hlm. 73
[19]
Jurgen Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf, North-line Westpharlia,
Jerman. Ia adalah filsuf dan sosiolog Jerman dalam studi teori kritis dan
pragmatisme Amerika. Ia paling dikenal berkat karyanya tentang teori ruang
publik, topik dan judul dari buku pertamanya. Karya Habbermas berfokus pada
landasan-landasan teori sosial dan epistemologi, analisis masyarakat
kapitalistik maju dan demokrasi, penegakan hukum (rule of law) dalam konteks sosial-evolusioner kritis, dan politik
kontemporer khususnya politik Jerman.
[20]
Contoh yang lebih representatif lagi bisa anda lihat dalam penampakan kota
Bandung. Dimana walikota berusaha mengaktifkan kembali 400 taman tematik. Taman
tematik adalah jenis taman yang suasana lingkungan serta hiasannya melambangkan
hobi atau identitas tertentu. Lihatlah misalnya taman fotografi, dimana para
komunitas fotografi berkumpul dan berbagi pengalaman serta pengetahuan. Juga
ada taman jomblo atau taman Surapati, yang dihiasi kursi beton persegi empat
dengan kuota satu orang – seakan meledek para jomblowers. Dan 398 taman
lainnya. Barangkali jika kamu kamu berkenan untuk liburan ke Bandung atau
hendak mengenyam pendidikan di tanah Pasundan ini, jangan lupa hubungi aku ya
hehehe.
[21]
Sebutan untuk para warga dunia maya singkatan dari istilah internet citizen.
[22]
Lechte, John. 2001. 50 Filsuf
Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius. hlm. 352.
[23]
http://aprillins.com/2009/577/jean-baudrillard-tentang-simulacra-dan-hiperrealitas/
diakses pada tanggal 20 Agustus 2015 pukul 19:54 WIB.
[24]
Dalam bukunya, Francis Fukuyama berujar: “Hasrat unutk diakui mungkin pertama
kali tampak sebagai konsep yang asing, tetapi sebenarnya sudah sama tuanya
dengan tradisi filsafat politik Barat, dan sepenuhnya merupakan hal yang biasa
dalam kepribadian manusia. Ia pertama kali dideskripsikan oleh Plato dalam Republic, ketika ia menulis bahwa ada
tiga bagian dari jiwamanusia, yaitu hasrat (nafsu), akal dan thymos.... Manusia mencari pengakuan
akan martabat mereka sendiri atau orang lain, atau benda-benda, atau
prinsp-prinsip yang mereka hargai. Kecenderungan untuk menginternalisasi diri
sendiri dengan nilai-nilai tertentu dan untuk memperoleh pengakuan atas
nilai-nilai tersebut, adalh yang sekarang populer kita seut sebagai “penilaian
diri” (self-esteem). Kecenderungan
untuk merasakan penghargaan-diri muncul dari bagian jiwa yang disebut thymos. Ia seperti rasa keadilan yang
merupakan sifat bawaan manusia. Masyarakat percaya bahwa mereka memiliki
martabat tertentu, dan bila ada masyarakat lain yang mengancam mereka, meskipun
mereka memiliki status yang lebih rendah, mereka akan merasakan emosi
kemarahan. Sebaliknya, tatkala masyarakt gagal menjalani hidup sesuai dengan
martabatmereka sendiri, mereka merasa malu, dan ketika mereka dievaluasi dengan
benar sesuai dengan martabat mereka, mereka merasa bangga. Hasrat untuk diakui,
yang dibarengi perasaan marah, malu dan bangga, merupakan bagian dari
kepribadian manusia yang bersifat kritis terhadap kehidupan politik. Menurut
Hegel, hal-hal itulah yang mengendalikan seluruh proses sejarah. Lebih lengkap
baca: Fukuyama, Francis. 2004. The End of
History and TheLast Man; Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta:
Qalam hlm. 8-9
[25]
Padahal pada zaman Yunani kuno, wanita-wanita yang menggunakan sepatu hak
tinggi hanyalah agar mereka dibedakan dengan wanita-wanita lain sebagai wanita
dengan profesi di prostitusi atau dunia pelacuran.
[26]
Padahal dulu di zaman Yunani kuno, wanita-wanita dengan pose tubuh yang gendut
merupakan dambaan dari tiap pria di zamannya. Wanita gendut adalah simbol dari
kesuburan melambangkan dewi-dewi Yunani yang dipuja puji oleh orang-orang pada
masa itu. Kita dapat menyadari bahwa sesungguhnya ternyata, kecantikan itu
begitu relatif seusai dengan kondisi serta situasi ruang-waktu.
[27]
Romli, Mohamad Guntur. 2010. Muslim
Feminis: Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam. Jakarta: Freedom
Institute. hlm. 235
[28]
Penulis menggunakan terminologi antropologi budaya bukan antropologi saja
dikarenakan aspek dari antropologi begitu luas dan bercabang-cabang serta
memiliki banyak ranting. Selain antropologi secara umum juga terbagi
antropologi biologi, budaya, paleo-antropologi, antropologi fisik, prehistori,
etnolinguistik etnologi, etnopsikologi, antropologi spesialisasi, antropologi
terapan. Lebih jelas baca: Koentjaningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. hlm. 23
[29]
Van Peursen menjelaskan bahwa pola dasar yang nampak dalam segala tahap kebudayaan
ialah manusia selalu mencari hubungan tepat antara dia sendiri dan daya-daya
kekuatan di sekitarnya. Sejarah yang bergelombang itu berarti, bahwa
konfrontasi yang sama selalu harus dilaksanakan dengan cara-cara yang baru dan
lain. Strategi ini selalu berganti rupa. Lebih lanjut silahkan baca Peursen,
Van. 1976. Strategi Kebudayaan, Yogyakarta:
Kanisius. hlm. 232.
[30]
Koentjaningrat, loc.,cit. Hlm,
144-146
[31]
http://rismayantipriyanita.blogspot.com/2011/11/teori-dasar-feminisme.html.
diakses pada tanggal 28 Agustus 2015. Pukul 02:36.
[32]
Untuk lebih lengkap bisa membaca Engels Friedrich. 2004. Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara. Jakarta: Kalyanamitra.
[33]
Terimakasih kepada Edi Iyubenu yang telah memperkenalkan saya dengan berbagai
macam metodologi kritis serta telaah wacana kritis dalam konteks keIslaman.
Mengenai frasa yang dikutip, bisa dilihat di: Iyubenu Edi AH. 2015. Berhala-berhala Wacana: Gagasan
Kontekstualisasi “Sakralitas Agama” secara produktif-kreatif. Yogyakarta: IRCiSoD. hlm. 23-24
[34]
Ointoe, Reiner Emyot dan Sumayku. 2008 Perempuan
Lokal: Dari Mitologi ke Masa Kini. Manado: Biro Pemberdayaan Perempuan Pemda Provinsi Sulawesi Utara Kerjasama
dengan Yayasan Serat. hlm. 82-83.
[35]
Lebih lengkapnya bisa anda baca di Carette, Jeremy R. 1999. Religion and Culture, Routledge, New
York: Manchester University. hlm. 163-186
[36]
Madjid, Nurcholis. 2008. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. hlm. 179
[37]
Dalam khazanah pemikiran Islam atau Islamic
Studies, kata hermeneutika begitu asing terdengar yang kita akan lebih
akrab dengan istilah-istilah seperti takwil yang dipopulerkan oleh Al-Razi.
Akan tetapi perlu diketahui, latar belakang kenapa kata takwil begitu tidak familiar dibanding tafsir dikarenakan peradaban Islam yang notabene itu dikuasai oleh
kelompok skriptualisme atau biblioatri dengan aksioma mereka bahwa “semakin
harfiah kau menafsirkan teks kitab suci, maka akan semakin kau mendekati
kebenaran teks itu”. Padahal Al-Quran diakui bukan sebagai kitab ilmiah saja
(yang pembacaannya wajib harfiah), tetapi juga sebagai kitab yang sangat kental
dengan metafora (interpretable), kata
kiasan, seperti prosa dan puisi serta mengandung nilai kesustaeraan yang
tinggi. Landasan dari argumentasi ini bisa kita lihat di Surah Ali-Imran (2):7.
[39]
Untuk lebih komprehensifnya silahkan baca Ghazali Abd Moqsith, Assyaukanie
Luthfi dan Abshar-Abdalla Ulil. 2009. Metodologi
Studi Al-Quran, Gramedia Jakarta:
Pustaka Utama. Hlm, xiv-xv.
[40]
Lebih lanjutnya silahkan membaca Armstrong, Karen. 1993. A History of God; The 4000 Year Quest of Judaism, Chistianity and
Islam, New York: Ballantine Book.
[41]
Roland Robertson. 1972. The Sociology
Interpretation of Religion. New York. hlm. 35
[42]
Erich Fromm mengutarakan: “....Sangat sering Perjanjia Lama dipercaya untuk
mengungkapkan prinsip-prinsp keadilan dan pembalasa, yang kontras dengan
Perjanjian Baru, yang merepresentasikan cinta dan pengampunan, bahkankalimat
“Cintai tetanggamu seperti mencintai dirimu sendir”, adalah pemikiran yang
diambil dari Perjanjian Baru bukan Perjanjian Lama. Atau Perjanjian Lama yang
dipercaya ditulis secara khusus dalam semangat nasionalisme sempit dan tidak
mengandung universalisme supranatural yang merupakan karakteristik Perjanjian
Baru....”. Lebih lengkapnya baca: Fromm, Erich. 1978. You Shall Be As God. London: Flamingo. hlm. 2.
[43]
Dalam konteks FPI ini, lihatlah bagaimana perilaku mereka ketika berdemonstrasi
ria. Satu-satunya dzikir dengan nama
Allah di depan kalimat, yakni Allahu’akbar
(Allah Maha Besar) dijadikan yel-yel dalam kegiatan memporakporandakan
keamanan dan ketertiban sipil. Padahal dzikir
ini menyimpan nilai filosofi yang begitu dalam dan penting. Bahwa Allah,
itu bahan lebih besar dan lebih agung serta luhur dibandingkan kata “Allah Maha
Besar” itu sendiri. Kenapa kata Allah berada di depan kalimat? Untuk
mengingatkan bahwa bahkan kalimat-kalimatpun, tidak akan pernah mampu untuk
menampung atau mewakili kebesaran Allah tersebut. Dalam pandangan Buddha lewat
Upanishad, penggambaran akan Tuhan begitu minim dan sangat-sangat susah
digambarkan. Hal ini dikarenakan karena mereka berpendapat “bagaimana mungkin
Tuhan yang sejatinya merupakan sosok Maha Tidak Terbatas dapat dijelaskan
dengan kata-kata yang sangat memiliki keterbatasan. Bahkan untuk mengungkapkan
apa yang kita pikirkan, menerjemahkan pikiran kita secara utuh dan sesuai
dengan apa yang benar-benar kita pikirkan dalam bentuk bahasa merupakan hal
yang sagnat-sangat sukar. Hal inilah yang melatarbelakangi filsafat nirwana
sebagai alam yang tak terhingga tanpa batas-batas dimana kedamaian dan
kekosongan menyatu dalam harmoni. Kembali ke konteks FPI, dalam konteks ini
berhasil menjadikan wajah Tuhan sebagai wajah yang bengis dan suka ribut serta
suka melakukan kekacauan di ruang publik. Pernah seorang yang non-muslim
bertanya padaku, kanda, apakah arti Allahuakbar itu? Apakah artinya mampus elu!? Selengkapnya silahkan buka http://triwardanamokoagow.blogspot.com/2015/04/islam-bukan-agama-genosida.html
[44]
http://triwardanamokoagow.blogspot.com/2013/09/manusia-mahluk-2-dimensi.html
[45] Agama yang dibawa oleh Isa a.s. adalah
agama Nasrani, diambil dari kata Nazareth. Bahkan dalam Injil sekalipun, Isa
atau Yesus tidak pernah mengklaim bahwa dia membawa agama bernama agama
Kristen.
[46] Muhammad bin Ishaq, Sirah Rasul Allah 150,
dalam A. Guillaume (penerjemah dan penyunting), The Life of Muhammad. London.
1955. Hlm, 104
[47] Surat 61:6. Lihat juga Tor Andrae. 1936. terjemahan Theophil Menzel.
Muhammad: The Man and His Faith. London. 1936. Hlm, 44-45. Selanjutnya
untuk studi komparatif, bisa dibaca di Muthahhari, Murtadha. 1991. Falsafah
Kenabian, judul asli: Revelation and
Properthood. Penerjemah: Ahsin Mohammad. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Hlm, 35-37
[48]
Hubungan mutual affirmatif merupakan salah satu bentuk hubungan logika disaping
oposisi, kontradiksi, alterna dan sub-alterna. Hubungan mutual affirmatif
adalah hubungan yang saling melengkapi satu sama lain, dalam konteks lain dapat
kita pahami sebagai hubungan simbiosis mutualisme. Contohnya adalah konsep
tentang baik, tidak akan tanpa adanya konsep tentang jahat; kiri tidak akan ada
tanpa kanan; pria tidak akan ada tanpa perempuan; atas tidak akan ada tanpa
bawah; dst.
[49]
Kenapa disebut Nasrani karena Bible (al-Kitab) saja yakni di Perjanjian Baru
maupun Perjanjian Lama, tidak pernah dikatakan agama yang diturunkan oleh Yesus
adalah agama Kristen. Penamaan Kristen baru terjadi paska wafatnya Yesus.
Adapun dalam Bible dikatakan bahwa agama yang dibawa Yesus adalah untuk
domba-domba tersesat di bani Israel, tepatnya berpusat di kota Nazareth
sehingga dinamakan Nasrani.
[50]
Murata, Sachiko. 1992. The Tao of Islam:
Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, diterjemahkan
dari: The Tao of Islam: A Sourcebook on
Gender Relationship in Islamic Thought. Bandung: Mizan. hlm, 31.
[51]
Konsep sekularisasi sejatinya berbeda dengan konsep tentang sekularisme.
Sekularisme adalah konsep tentang sistem negara dimana urusan agama dipisahkan
secara total dengan urusan negara; urusan akhirat dipisahkan secara total
dengan dunia; bahwa konsep kejahatan dipisahkan secara total dengan konsep
dosa. Sedangkan sekularisasi adalah konsep pemurnian (purification) agama dari nilai-nilai profan dan bersifat imanen,
memurnikan agama dari tradisi serta hegemoni budaya Arab. Penyebaran Islam
sejatinya adalah Islamisasi (internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai demi
penghayatan batin) bukanlah Arabisasi (eksternalisasi dan internalisasi budaya
Arab yang telah mengalami akulturasi dengan Islam). Selengkapnya Gus Dur pernah
berkata: “Islam datang bukan untuk merubah aku menjadi ana’, dan kamu menjadi ente. Dalam
lingkungan pergaulanku, pernyataan tersebut kami kembangkan: “Islam datang
bukan untuk merubah honda dan toyota menjadi unta (kendaraan Arab pada masa
dulu)!”. Untuk lebih memahami konsep sekularisasi Cak Nur, disarankan membaca
Madjid, Nurcholis, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan, loc.,cit, hlm,
22-36. Lihat juga sebagai perbandingan: Muhammad Kamal Hassan. 1960. Muslim Intellectual Responses to “New Order”
Modernization in Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia. disebut
di berbagai tempat.
[52]
Untuk lebih komprehensif baca: Henry Y. Gamble, Jr., “Christianity: Scripture
and Canon” dalam Frederick M. Denny dan Rodney L. Taylor (eds.), The Holy Book
in Comparative Perspective, hlm, 37.
[53]
Fromm Erich, Loc.,Cit, hlm, 30-31.
Ada satu hal yang menarik dari pembahasan teologi negatif ala Maimodes ini,
bahwa memiliki kesamaan dengan konsep tauhid dzati dalam tradisi filsafat Syiah
dan konsep tassawuf Ibnu Arabi.
[54]
Al-Fayyadl Muhammad. 2012. Teologi
Negatif Ibn’ Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan, Yogyakarta:LkiS. hlm. 97.
[55]
Agustinus. 1997. Pengakuan-pengakuan, terj.
Winarsih Arifin & Dr. Th. Van den End. Yogyakarta: Kanisius cet. I, hlm,
31.
[56]
Draft Nilai Dasar Perjuangan HMI tahun 1969, hlm. 8
[57]
Levinas, Emanuel. 1998. Of God Who Comes
to Mind, terj. Bettina Bergo. Stanford: Stanford University Press hlm. 67
[58]
Levinas, Emanuel. 1969. Totality and
Infinity: An Essay in Exteriority, terj. Alphonso Lingis, Pitsburg: Duquesne
University hlm. 104
[60]
Hidayat, Kommarudin. 2011 Memahami Bahasa
Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika, Bandung: Mizan.
[61]
Ghazali Abd Moqsith, Assyaukanie Luthfi dan Abshar-Abdalla Ulil, loc.,cit., hlm, 25-26
[62]
Misalnya antara ayat-ayat yang menganjurkan untuk membunuh kaum kafir dimana
saja kaum Muslim menjumpai mereka (QS (2):191), dengan ayat yang melarang
pembunuhanmanusia (QS 17:33).
[63]
Misalnya ayat tentang kisah “Ashabul Kahfi”, tentang “Alexander the Great” dan
ayat tentang “Penghancuran Kakbah oleh Abrahah”.
[64]
Nasr, Hamid Abu Zaid. 1993. Mahfum al-Nash:
Dirasat fi ‘Ulum al-Quran. Kairo: Al-Ha’iah
Al-Mishriyyah al ‘Ammah li al-Kitab. hlm. 11
[65]
Nasr Hamid Abu Zaid, Mahfum al-Nash, hlm.
12.
[66]
Roxanne L. Euben. 1999. Enemy in the
Mirror: Islamic Fundamentalisme and the Limits of Modern Rationalism, Princeton:
Princeton University Press.
[67]
Hanafi, Hasan 2003 Oposisi Pasca Tradisi,
judul asli: Humum Al-Fikr Al-Watan, terj:
Khairon Nahdiyyin. Yogyakarta: Syarikat Indonesia.
[68]
Lihat dalam karangan M. Amin Abdullah, Arkoun
dan kritik Nalar Islam, Meuleman, Johan Hendrik. 2012. Membaca Al-Quran Bersama Mohammed Arkoun, Yogyakarta: LkiS. Hlm,
19-20.
[69]
Hanafi, Hasan. 2000. Dirasat Islamiyah. Mesir: Maktabah al-Anjelu al-Mishriyah. Hlm,
71.
[70]
Arkoun, Mohammed. 1997. Berbagi Pembacaan
al-Quran, terj. Machasin. Jakarta: INIS. hlm. 80. Ini penting dikemukakan
oleh karena bahasa – tak terkecuali bahasa Arab al-Quran – adalah ciptaan
manusia, karena ia direfleksikan dari konvensi sosial hubungan antara suara dan
makna. Inilah sebabnya mengapa kaum Mu’tazilah bersikeras megnatakan tentang
kemakhlukan al-Quran, tatkala al-Quran itu hadir dalam bungkus bahasa manusia.
Dengan lantang kaum Mu’tazilah berujar bahwa bahasa adalah produk manusia. Oleh
karena yang disasar adalah Tuhan adalah amanusi, abahsa Tuhan harus mematuhi
bahasa manusia, agar firman-firman-Nya mudah dipahami oleh manusia juga. Allah
berfirman, wa ma arsalna min rasulin illa
bi lisani qawmihi li ybayyina lahum (QS Ibrahim: 4). Ibnu Khaldun mengakan
“inna al-Quran an nazala bi lughat
al’Arab wa ‘ala asalibi balaghatihim.
[71]
Keterlibatan Muhammad dalam hal ini berlangsung dalam dua level. Pertama, proses pengkalimatannya dalam
bahasa Arab. Kedua, penjelasan Nabi
Muhammad atas al-Quran yang selanjutnya disebut hadits.
[72]
Lihat wawancara M Taufik Rahman dan Much Nur Ichwan dengan Nashr Hamid Abu
Zaid, “Tafsir Tak Pernah Berhenti”, dalam Panji
Masyarakat No. 30 Tahun I, 10 November, 1997, hlm. 12-14
[73]
Syar’iah disini harus selalu dipahami sebagi jalan-jalan dar kehendak untuk
mengimplementaskan nilai-nilai pokok agama Islam. Sebagai sebuah jalan, syariat
yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul selalu saja berbeda-beda, mengikuti
perbedaan ruang, waktu dan tingkatan peradaban umat pengikutnya. Dengan
demikian, syariat bersifat tentatif dan relatif, sehignga wajar kalau di
kemudian hari dianulir kembali oleh syariat-syariat yang datang sesudahnya.
[74]
Maka bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang. Katakanlh,
“Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul. Karena itu, bertakwalah
kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara kalian dan taatlah kepada Allah
dan perbaikilah hubungan di antara kaliandan taatlah kepada Allah dan rasulnya
sekiranya alian adalah orang-orang yang beriman”. (QS al-Anfal (8):1)
[75]
Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid. Katakanlah, “haid itu adalah
kotor. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari perempuan istri
ketika haid. Janganlah kalian mendekatinya hingga perempuan itu suci kembali.
Sekiranya mereka telah suci, maka gauilah mereka seperti yang dperintahkan
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan
diri.” (QS al-Baqarah (2):222)
[76]
Binasalah dua tangan Abi Lahab dan sesungguhnya dia pasti binasa. Tidaklah
berfaedah kepadanya harta bedanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan
amsuk ke dalam api yang bergejolak. Dan begitu pula istrinya, pembawa kayu
bakar. Yang di lehernya ada tali dan sabut. (QS al-Lahab (111):1-5)
[77]
Ghazali Abd Moqsith, Assyaukanie Luthfi dan Abshar-Abdalla Ulil, Metodologi Studi Al-Quran, loc.,cit., hlm,
146-147
[78]
Menurut Barbara Johnsosn, dekontruksi adalah strategi mengurai teks. Istilah
de-konstruksi sendiri sebenarnya lebih dekat dengan pengertian etimologis dari
kata “analisis”, yang berarti: “mengurai, melepaskan, membuka” (to undo) ketimbang pengertian etimologis
kata “desruksi”. Kalau kita membuka Websters’s Unabidged Dictionary, akan kita
temukan pengertian analisis sebagai “the
separating of any material or abstract entit into its constituent element”, yang
berarti “to break down into constituent
parts”. Kedekatan etimologis ini menunjukan bahwa dekonstruksi lebih
dimaksudkan sebagai stratefi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks
ketmbang operasi yan merusak teks itu sendiri. Tujuan dekonstruksi adalah
mengkap oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam teks. Karena itu, jika
sebuah teks didekonstruksi, yang dihancurkan bukanlah makna, tetapi klaim bahwa
satu bentuk pemaknaan terhadp teks lebih benar ketimbang pemaknaan lain yang
berbeda. Selengkapnya baca: Johnson, Barbara. 1981/ “Translator’s Iintroduction” dalam, Derrida, Dissemination, terj. Dan anotasi Barbara Johnson. Chicago The
University of Chicago Press. hlm. xiv
[79]
Iyubenu Edi AH. Berhala-berhala Wacana:
Gagasan Kontekstualisasi “Sakralitas Agama” secara produktif-kreatif,
Loc.,Cit., hlm, 24-25
[80]
Ibid, hlm, 25.
[81]
Draft Nilai Dasar Perjuangan HMI, tahun 1969, hlm, 13.
[82]
Lebih lengkapnya baca Umar Nasarudin. 2001. Argumen
Kesetaraan Jender dalam Al-Quran. Jakarta: Paramadina. hlm. 248-262
[83]
Rakhmat, Jalaludin. 1999, Rekayasa
Sosial: Reformasi atau Revolusi?, Bandung: Remaja Rosdakarya.
[84] Ibid
[85]
Hegel, Georg Wilhelm Friedrich. 1956. The
Philosophy of History, Dover Publicatio. hlm. 490
[86]
Carlyle, Thomas. 1963. On Heroes,
Hero-Worship, and the Heroic in History.
London: Oxford University Press.
[87]
Muthahhari, Murthada. 2012 Masyarakat dan
Sejarah: Pandangan Dunia Islam tentang Hakikat Individu dan Masyarakat dalam
Gerakan Sosial Berbasis Agama. Diterjemahkan dari: “Man and Society” dalam Man
and Universe. Rausyanfikr Institute: Yogyakarta. Hlm. 217
[90]
Ibid. Hlm. 172-173
[91] Ibid.
[92]
Madjid Nurcholis, Masyarakat Religius:
Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan, Dian Rakyat: Jakarta, 2010.
Hlm, 45-46
0 Komentar