Kelas Isolasi episode 118 dibawakan oleh Aprianti, mahasiswi Unpar angkatan 2020. Ia memakai bahu Foucault untuk mengamati wacana kekuasaan dan seksualitas.
Foucault lahir di Poitiers, Perancis pada 1926. Ia datang dari keluarga dokter, yang barangkali mempengaruhinya menelisik relasi kuasa dalam dunia medis dan klinis. Foucault lulusan Enole Normale Superieure dan University of Paris dan mengajar setahun sekali di University of California. Ia pernah dirujuk ke psikiater karena melakukan percobaan bunuh diri. Ia dikenal juga menggemari Francisco Goya, di kamarnya dipenuhi poster lukisan Goya yang agak gelap. Ia meninggal karena AIDS pada 25 Juni 1984, ia ditemukan di bar gay di sudut California.
Foucault juga pendiri Groupe d'information sur les prisons. Ia aktif melakukan demonstrasi menyangkut hak-hak homoseksual, orang-orang marginal, dan sebagainya. Dalam beberapa dokumentasi, ia terlihat dalam demonstrasi bersama Sartre. Demonstrasi menjadi corong baginya untuk bersikap pharessia, sikap berkata benar meski diintai risiko bahaya. Latar belakang pendidikannya seputar ilmu sejarah, psikologi, dan filsafat. Konsep kunci pemikirannya sekitar pengetahuan, arkeologi, genealogi, etika, biopower atau politik.
Karya-karya penting Foucault ada lima. Pada 1961 ia menerbitkan Madness and Civilization, berkenaan tentang kenapa kita mengisolasi orang gila ketimbang mentoleransinya. Padahal zaman renaisans, orang gjla dibiarkan saja. Ini mempengaruhi paradigma RSJ modern yang terobsesi menyembuhkan kegilaan. Pada 1963, ia melahirkan Birth of Clinic, tentang abad 18 saat dokter memperlakukan pasien sekadar objek bukan sebagai manusia. Pada 1966, Order of Things. Pada 1969, Production of Knowledge. Pada 1975, Discipline & Punish, soal kelahiran penjara. Zaman silam, orang bisa nonton langsung hukuman mati seperti pemenggalan guillotine karena diselenggarakan secara publik. Zaman modern sendiri, hukuman terjadi lebih privat. Pada 1976-1984, terbit History of Sexual yang terdiri dari tiga volume.
Di mana ada relasi, di situ ada kuasa. Foucault tak sekadar menyoal bentuk, tapi juga "cara" kekuasaan dilembagakan. Kekuasaan bukan sekadar komoditas atau milik individu, kelompok, atau kelas, melainkan bersirkulasi melalui institusi-institusi sosial. Kekuasaan dapat bersifat strategis dan secara intensional disengaja. Untuk memahami sejarah, maka kita mesti menelusuri ke tataran mikro di mana kekuasaan ditujukan pada tubuh atau bios. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan yang pada gilirannya pengetahuan menghasilkan kekuasaan. Kekuasaan bisa bersifat produktif dan tidak represif bila menghasilkan kenikmatan.
Maka kita perlu mereinvestigasi apa itu baik-buruk dan benar-salah, apa yang bisa disebut menyenangkan, apa yang bisa disebut normal atau abnormal? Kekuasaan senantiasa mengindikasikan perlawanan, sebab perlawanan merupakan bagian kekuasaan. Di dalamnya, pengetahuan senantiasa dibungkus oleh kekuasaan. Kedisiplinan (disciplinary power) yang berkaitan dengan institusi atau aparat (negara atau penegak hukum) menjadi kekuasaan yang terdiri dari cara, alat yang digunakan, prosedur, target, tujuannya tak lain untuk "menjinakkan" tubuh.
Melalui wacana yang direproduksi aparatus-aparatus yang dilembagakan negara, lantas merepresi kebebasan dari hasrat individu, "menjinakkan" kelamin warga negara. Aparatus serta norma sosial lalu mengkonstruksi apa itu seksualitas yang "normal" dan mana yang "menyimpang"; menangkup apa yang disebut menyimpang dan memperbolehkan seks yang baik dan benar versi kekuasaan aparatus. Konsep kebenaran akan pengetahuan seksualitas hanya berada di permukaan. Wacana seksualitas bisa dipahami lewat ars erotica (seni erotis) dan scientia sexualis. Dalam ars erotica, kebenaran seks diperoleh lewat praktik dan pengalaman seksual secara personal. Dalam scientia sexualis, bahwa seksualitas kita seolah-olah hanya bisa divalidasi melalui pengakuan kepada pakar di institusi religius (lewat pengakuan dosa) atau institusi medis (psikiatri) atau lewat sesi "curhat", dengan kata lain pengetahuan seks berasal dari eksternal.
Dalam History of Sexuality, seks merupakan eksplanasi untuk segalanya. Dalam sebuah wawancara, ketika Derrida ditanya apa yang ingin ia ketahui kalau filsuf-filsuf lama bisa bangkit dari maut, apa yang hendak ingin diketahui Derrida. Derrida menjawab dengan mantap kalau ia ingin tahu kehidupan seksual para filsuf–penasaran Derrida membuat saya juga penasaran dengan kehidupan seksual Derrida. Barangkali Derrida bersepakat dengan Foucault, kalau seks bisa menjelaskan banyak hal soal diri.
Pengetahuan seksualitas yang direpresi oleh aparatus membuat orang-orang melarikan diri ke pornografi. Pornografi pun tetap diakses karena ketidakberdayaan kita untuk jujur dengan ars erotica kita. Menggunakan pornografi sebagai pengakuan akan hasrat seks atau kebenaran soal identitas seksual kita. Genre bokep favorit kita bisa menjelaskan banyak hal soal hasrat paling rahasia yang bahkan pelik untuk kita akui pada diri sendiri. Dalam hal ini, kebenaran seksual diproduksi industri pornografi.
Sensor pada industri pornografi sendiri hanya akan membuat kita lebih penasaran dengan pornografi. Sensor di sini bisa disebut seduksi. Penyensoran seperti efek Coca-Cola dalam pandangan Zizek, di mana hasrat kita tak boleh kering supaya keinginan mengkonsumsi fantasi bisa terus menerus terjadi. Sensor merayu kita untuk terus ingin mengonsumsi, dan pornografi pun meliberasi hasrat yang direpresi. Barangkali kita boleh bilang, kalau kerja-kerja KPI yang menyensor payudara Shizuka hanya akan menseduksi penonton untuk tahu payudara Shizuka.
(Industri pornografi sendiri berbeda dengan pornografi. Industri sendiri berkaitan dengan komoditas. Pornografi bisa bersifat apa saja yang menstimulus, semisal patung, candi Sukuh di Surabaya, kamasutra, dan lain-lain.)
Kekuasaan dalam wacana produksi wacana pornografi bukan hanya mendisiplinkan, melainkan juga menunjukkan kebenaran akan hasrat seksual seseorang. Foucault melihat pornografi sebagai "monarki seks" yang terus-menerus menghasut untuk mewacanakan tentang seks, tetapi juga sekaligus sebagai biopower untuk pengawasan (surveillance). Melalui pornografi, kita juga mempelajari aspek-aspek seksualitas yang tidak bisa diakses dengan bebas di ruang publik.
Untuk direfleksikan kembali, Aprianti mengajak kita untuk menggeledah beberapa hal. Apakah wacana laki-laki dan perempuan merupakan wacana hierarki sosial yang langgeng? Mengapa pada pornografi klasik perspektif pertama selalu dari sudut pandang laki-laki? Pornografi bagaimanakah yang meliberasi ars erotica kita?
0 Komentar