BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Teori kenabian dalam agama Islam
telah menjadi perdebatan sengit yang belum berhenti hingga saat ini. Sayangnya,
perhatian umat Islam terhadap tema ini tidak terlalu besar. Salah satu tokoh
Islam klasik yang menaruh perhatian besar atas teori kenabian ini adalah Ibnu
Sina, dalam sejarah Islam, perdebatan tentang wacana kenabian diwakili dua
kubu. Kubu pertama adalah kaum ortodoks yang direpresentasikan oleh para teolog
Sunni. Dalam pandangan kelompok ini, Nabi atau kenabian merupakan sebuah
anugerah dari Tuhan kepada manusia. Oleh karenanya, gelar kenabian bisa
diberikan kepada siapa saja. Pendapat ini berbeda dari pendapat kelompok kedua,
yakni kaum heterodoks yang diwakili para ahli filsafat. Mereka menyatakan bahwa
kenabian sesungguhnya merupakan keniscayaan dalam kehidupan ini.
Menurut Ibnu Sina, bahwa Nabi
intinya adalah seorang yang kekuatan kognitifnya mencapai akal aktif, yakni
malaikat Jibril. Hakikat akal aktif itu sesungguhnya adalah batasan antara
dimensi ketuhanan dan kemanusiaan. “Pendeknya, seorang Nabi adalah orang yang
mampu berkomunikasi bukan saja dengan Tuhan tetapi juga kepada manusia. Sebab,
bagi Ibnu Sina, tugas kenabian sesungguhnya juga memerankan fungsi politik,
dalam arti mampu menuntun manusia untuk mengetahui hukum baik-buruk dan
memberikan teladan kepada mereka untuk melaksanakannya.
Perbedaan cara pandang dua kelompok
di atas terhadap kenabian, berimplikasi pada perlakuan mereka terhadap Nabi dan
ajaran-ajarannya. Bagi kelompok ortodoks, ajaran kenabian adalah ajaran yang
suci dan mutlak kebenarannya. Karena semuanya bersumber dari wahyu Tuhan.
Sementara
bagi kelompok kedua, yaitu kelompok heterodoks, ajaran kenabian adalah ajaran
manusia biasa saja. Ia bisa punya nilai kebenaran, tapi juga dimungkinkan
adanya kekurangan. Karena meski sumber kenabian itu mempunyai hubungan dengan
Yang Di Atas, yaitu Tuhan, tetapi ia sebenarnya juga bersumber dari bawah,
yaitu masyarakat. Sejalan dengan pandangan kaum heterodoks adalah pandangan
Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Nabi sesungguhnya bukanlah tukang pos yang
hanya menyampaikan pesan. Sebaliknya, dalam menyampaikan wahyu, Nabi juga turut
intervensi. Salah satu filosof klasik yang berpandangan seperti ini adalah Ar
Razi yang berpendapat ”bahwa tidaklah masuk akal Tuhan mengutus para nabi
padahal mereka tidak luput dari banyak kekeliruan. Setiap bangsa hanya percaya
kepada nabinya dan tidak mengakui nabi bangsa lain. Akibatnya terjadi banyak
peperangan keagamaan dan kebencian antara bangsa karena kefanatikan agama
bangsa yang dipeluknya.”
2.
IDENTIFIKASI
1. Apa yang dimaksud dengan filsafat
kenabian ?
2. Kenapa harus ada Nabi ?
3. Apa argumentasi tentang pentingnya
kenabian ?
4. Bagaimana derajat dan penetapan
kenabian ?
5. Kenapa masa kenabian berakhir ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. FILSAFAT KENABIAN
Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina,
mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan
bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya. Filsafat juga adalah pandangan
hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai
kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap
seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam
dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Sehingga filsafat dapat juga dikatakan sebagai mother of science karena mempelajari suatu hakikat dari
pengetahuan.
Kata Nabi berasal dari kata kerja
(fi’il) bahasa Arab nabba’a yanabbi’u yang berarti member kabar. Kata Nabi di
petik dari kata nabiyyun dalam bahasa Arab yang berkedudukan sebagai kata benda
pelaku perbuatan (isim fa’il) yang berarti orang yang membawa kabar atau
berita. Darii kata nabi yang bermakna harfiah sebagai pembawa berita ini
kemudian digunakan dalam istilah agama sehingga nabi berarti orang yang di utus
Tuhan untuk menyampaikan berita dan pelajaran dari Tuhan untuk manusia.
Kenabian menurut Ibnu Sina merupakan jiwa (roh) yang tinggi.
Nabi merupakan manusia pilihan yang memiliki kelebihan dari manusia lainnya.
Memiliki mukjizat yang bertujuan mengajak manusia untuk meninggalkan
kemusyrikan, menetapkan peraturan untuk kebahagiaan umat manusia, mengantar
manusia untuk memahami sistem kebaikan.
Walaupun nabi dan rasul seperti
halnya manusia biasa, akan tetapi ia mempunyai keistimewaan karena ia
memperoleh akal tertinggi dari Tuhan yang di sebut al-hadas. Al-hadas ini
mempunyai daya yang suci yang di sebut al-quwwah al-qudsiyyah. Adapun yang di
maksud al-hadas dalam penerian filosofis ialah pancaran ilahi yang diperoleh
para nabi dan rasul sehingga mereka dapat berhubungan langsung dengan ‘aql
(Allah) tanpa melalui usaha manusia itu sendiri. (Al-hidayah li Ibn
Si’na’,298,299,293,294). Daya inilah yang membedakan nabi dan rasul dari
manusia yang lainnya. Suatu daya yang istimewa dan hanya diperoleh nabi dan
rasul. Karena daya ini pula nabi dan rasul dapat menerima wahyu dari Allah
untuk disampaikan kepada umat manusia dan agar mereka bertindak dan berbuat
sesuai dengan wahyu itu.
Dalam filsafat kenabian dipahami bahwa Nabi atau rasul
hanya menyampaikan perintah Allah secara umum dan membawa berita yang belum
pernah didengar dan dilihat. Perintah beribadah kepada Allah bertujuan agar
manusia mampu melepaskan dirinya dari keterikatan dunia materi, berpaling dari
selain Allah dengan iman kuat, memahami kewajiban dengan mengikuti hikmah
ilahiyah dalam pengutusan seorang nabi dan rasul. sehingga berakhir menjadi
suatu kekuatan pendorong untuk mencapai kebahagian sesudah roh terpisah dengan
tubuh.
2. KENAPA HARUS ADA NABI
Berdasarkan ketetapan
Ilahi, semua keberadaan mengalami perubahan dan perkembangan menuju
kesempurnaan. Secara alami, benih yang ditanam berproses menjadi kecambah,
tanaman kecil, pohon besar, dan pada akhirnya berbuah. Puncak kesempurnaan pohon
adalah ketika dia memberikan buah-buahan segar.Sperma mengalami perubahan
menjadi segumpal darah, segumpal daging, tulang-belulang, bentuk janin, hingga
akhirnya terlahir menjadi bayi yang sempurna. Fenomena ini berlaku pada seluruh
keberadaan di alam semesta ini.
Semua keberadaan bergerak menuju kesempurnaan masing-masing secara
alami. Tiap makhluk mengetahui jalan dan cara mencapai tujuan penciptaannya.
Manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain yang tidak memiliki ikhtiar
(pilihan) dalam menempuh proses perubahan menuju kesempurnaan. Manusia mampu
memilih tujuan hidupnya yang dianggap sebagai kesempurnaan. Manusia bebas
menentukan pilihannya dalam meraih tujuan. Dia menggali tanah demi mendapatkan
air. Dia mengais rezeki demi mendapatkan makanan enak. Dia melakukan eksperimen
untuk mengetahui hukum-hukum alam yang berlaku. Adapun keberadaan yang lain
bergerak menuju kesempurnaan penciptaannya sesuai dengan firman Allah : “Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu”.
(Adz-Dzariyat:56)
Atas dasar itu, agar
manusia mampu meraih tujuan penciptaannya, dia harus menggunakan kebebasan
pilihannya dengan tepat. Manusia mesti menyeimbangkan hubungan antara
hukum alam dan tujuan. Prinsip inilah yang mengatur dan menyelaraskan ikhtiar
manusia. Tujuan penciptaan manusia tidak mungkin tercapai dengan sendirinya.
Setiap manusia menentukan tujuannya sesuai dengan tuntutan kepentingan dan
kebutuhannya. Kebutuhan manusia diciptakan oleh situasi dan lingkungan yang
dialaminya. Namun keduanya (situasi interpersonal dan lingkungan) tidak mampu
menggerakkan manusia secara langsung. Jika demikian, hal ini akan memandulkan
fungsi manusia sebagai keberadaan yang memiliki pilihan(ikhtiar).
Manusia akan bergerak meraih sebuah tujuan apabila dia menyadari adanya kepentingan. Namun, tidak setiap kepentingan akan diwujudkan oleh manusia. Terdapat dua kepentingan manusia, yaitu: kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang. Pada umumnya, kepentingan jangka pendek mendatangkan manfaat secara individual. Sedangkan kepentingan jangka panjang, kebanyakan manfaatnya terkembali kepada masyarakat manusia. Dalam dimensi teologis, kepentingan jangka pendek ini bisa dikatakan sebagai kepentingan duniawi atau kepentingan sosial dan kepentingan jangka panjang adalah kepentingan ukhrawi.
Terkadang, dalam diri manusia terjadi pertentangan antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi. Manakah yang patut didahulukan? Patutkah seorang manusia mengorbankan kewajiban transedenalnya untuk melengkapi kebutuhan duniawinya? Sebab manusia adalah mahluk dengan dua dimensi utama yaitu dimensi transeden tentang hubungan vertikal antara Tuhan dan manusia dan dimensi kemanusiaan tentang hubungan horizontal antara manusia dan manusia. Sebagai sebuah entitas, manusia akhirnya sulit memprioritaskan kewajiban mana yang terlebih dahulu harus dilaksanakan sehingga berpotensi terjadinya pengorbanan kepentingan sosial atau kepentingan transedental untuk melengkapi kepentingan pribadi manusia.
Manusia akan bergerak meraih sebuah tujuan apabila dia menyadari adanya kepentingan. Namun, tidak setiap kepentingan akan diwujudkan oleh manusia. Terdapat dua kepentingan manusia, yaitu: kepentingan jangka pendek dan kepentingan jangka panjang. Pada umumnya, kepentingan jangka pendek mendatangkan manfaat secara individual. Sedangkan kepentingan jangka panjang, kebanyakan manfaatnya terkembali kepada masyarakat manusia. Dalam dimensi teologis, kepentingan jangka pendek ini bisa dikatakan sebagai kepentingan duniawi atau kepentingan sosial dan kepentingan jangka panjang adalah kepentingan ukhrawi.
Terkadang, dalam diri manusia terjadi pertentangan antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi. Manakah yang patut didahulukan? Patutkah seorang manusia mengorbankan kewajiban transedenalnya untuk melengkapi kebutuhan duniawinya? Sebab manusia adalah mahluk dengan dua dimensi utama yaitu dimensi transeden tentang hubungan vertikal antara Tuhan dan manusia dan dimensi kemanusiaan tentang hubungan horizontal antara manusia dan manusia. Sebagai sebuah entitas, manusia akhirnya sulit memprioritaskan kewajiban mana yang terlebih dahulu harus dilaksanakan sehingga berpotensi terjadinya pengorbanan kepentingan sosial atau kepentingan transedental untuk melengkapi kepentingan pribadi manusia.
Pada dimensi horizontal atau dimensi sosial telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar Ruum: 41). Kerusakan di muka bumi disebabkan oleh ulah manusia yang menjadikan kepentingan pribadi sebagai tujuan hidupnya dengan cara mengorbankan kepentingan sosial yang akhirnya berimplikasi terhadap tanggung jawab kita kepada Tuhan.
Oleh karenanya, masyarakat manusia membutuhkan aturan dan undang-undang, lantaran adanya benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan sosial. Manusia merupakan makhluk sosial dan membutuhkan undang-undang untuk mengatur hubungan sosial serta beragam urusan hidupnya, agar tidak terjadi silang pendapat, pertikaian, benturan, dan kezaliman di antara anggota masyarakat, serta demi menjaga kepentingan individu dan sosial.
Dalam pada itu, undang-undang tidak mungkin dapat terlaksana dengan sendirinya. Hanya dengan adanya undang-undang, persoalan sosial atau individual apapun tak akan dapat terselesaikan. Oleh karena itu, setiap undang-undang niscaya memerlukan sosok pelaku yang mampu menjamin pelaksanaan, penegakan, dan penerapannya secara sempurna, serta tegaknya keadilan di atas basisnya.
Kebutuhan kepada sosok yang adil dan bijaksana yang mampu menerapkan undang-undang di tengah masyarakat, merupakan keniscayaan bagi umat manusia. Dari sinilah nampak nilai penting seorang nabi dan rasul. Yaitu pribadi-pribadi pilihan Allah Swt yang mempunyai misi untuk menerapkan dan menjalankan aturan di tengah masyarakat manusia. Para nabi dan rasul diutus untuk menjaga aturan dan menegakkan keadilan di tengah masyarakat. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksana-kan keadilan.” (al-Hadid: 25)
Fadhl bin Syadzan meriwayatkan bahwa Imam Ali bin Musa
ar-Ridha—salam sejahtera bagi keduanya—menjelaskan tentang penyebab penetapan
ulil amr (pemimpin manusia) dan adanya perintah untuk mematuhinya. Beliau
berkata, “Mungkin seseorang bertanya, ‘Mengapa Allah menetapkan pemimpin
masyarakat dan memberikan perintah untuk mematuhi mereka?’ Jawabannya
dikarenakan banyak sebab. Antara lain: Ketika seseorang berdiri di hadapan
sebuah garis-batas dan diperintahkan untuk tidak melanggar batas itu lantaran
akan membahayakannya, maka perintah itu tidak akan dan tak dapat tegak,
kecuali jika Allah Swt menetapkan baginya sosok terpercaya yang mampu
mencegahnya melanggar batas dan memasuki kawasan berbahaya. Kalau tidak begitu,
niscaya manusia tidak akan meninggalkan kesenangan dan kepentingannya dengan
mengganggu orang lain. Oleh karenanya, Allah Swt menetapkan baginya sosok
penegak hukum yang mampu mencegahnya berbuat kerusakan serta sanksi dan hukum
di tengah manusia.
Argumen
lain tentang kemestian adanya nabi dan rasul yang logis, rasional dan
menggunakan argument empiris-historis dikemukakan oleh al-Jurjawi dan Hikmat
al-Tasyri’ wa Falsafatu. Argument tersebut adalah sebagai berikut:
Secara naluriah. Manusia dapat
mengetahui sebagian perbuatan yang baik dan yang buruk dengan akalnya. Daya
akal manusia belum cukup untuk mengetahui cara yang dapat menunjukkan jalan
menuju keselamatan dunia dan akhirat. Oleh karena itu manusia, manusia
memerlukan seorang manusia yang diutus Tuhan yang menyampaikan syariat-Nya agar
manusia dapat mencapai keselamatan tanpa melewati perbuatan dan jalan yang
membahayakannya. Kehadiran nabi dan rasul merupakan kebutuhan primer manusia
karena akal tidak dapat memenuhinya. Nabi dan rasul mengemban enam tugas utama
yaitu:
1. Memberikan petunjuk kepada manusia
agar manusia mengetahui Allah (ma’rifatullah). Menyampaikan sifat-sifat Allah
yang dapat memudahkan manusia memahami ke-Maha Esaan-Nya, dengan cara yang
paling mudah.
2. Menyampaikan berita bahwasannya
Allah mengancam manusia yang tidak taat kepada-Nya dan memberikan kabar gembira
bagi mereka yang mentaati-Nya. “Sesungguhnya
Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta pemberi
peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan
sebagai cahaya yang menerangi” (Al-Ahzab 33 : 45-46)
3. Mengajarkan akhlak yang mulia kepada
manusia yang berguna bagi diri manusia itu sendiri dan bagi sesamanya, seperti
sifat jujur, tidak berdusta, dermawan dan sebagainya. “Sesungguhnya aku
diutus Allah SWT, untuk menyempurnakan(memperbaiki) akhlak manusia”. (HR. Ahmad)
4. Mengajarkan tata cara mengagungkan
Allah serta menunaikan kewajiban yang di bebankan Allah kepada manusia, dan
beribadah kepada-Nya dalam berbagai bentuknya secara sempurna.
5. Menetapkan ketenutan-ketentuan hukum
(hudud) dan kaidah-kaidah yang harus dipatuhi seseorang dalam hubungannya
dengan sesamanya, seperti ketentuan hukum berzina, pembunuhan, dan sebagainya.
Ketentuan-ketentuan tersebut bertujuan untuk menegakan keadilan yang dapat
menjamin keamanan negri dan penduduknya.dalam hubungannya dengan tugas
tersebut, nabi dan rasul berfungsi sebagai hakim atau pembuat hukum. “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul
Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama
mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan.” (QS. Al-Hadid; 57: 25)
6. Menjelaskan cara-cara yang benar apa
yang mesti ditempuh manusia dalam kehidupan duniawinya, seperti keharusan aktif
bekerja, dan melaksanakan berbagai bentuk kewajiban.
Berdasarkan
tugas-tugas nabi dan rasul di atas, dapatlah di nyatakan bahwa agama islam
adalah agama bagi seluruh umat manusia. Islam menjamin kebahagiaan hidup mereka
yang menganutnya, dan melaksanakan ajaran islam itu sepenuh-penuhnya. Kedudukan
rasul bagi manusia bagaikan kedudukan akal dan hati nurani bagi manusia yang
dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, atau mana yang benar dan
mana yang salah. Bila manusia salah membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk, atau mana yang benar dan mana yang salah, maka itu terjadi karena
ketidak pedulian manusia terhadap penggunaan akal dan kalbunya yang kemudian
dikuasailah dirinya itu dengan kebencian, kerakusan, dan permusuhan. Oleh
karena itu, terjadinya kekacauan, kesesatan, fanatisme mazhab dan kelompok.
Semua itu terjadi bukan karena agama, melainkan karena agama tidak dilaksanakan
dengan benar sebagai akibat kesalahan dalam pemahaman dan penghayatannya.
3. ARGUMENTASI PENTINGNYA KENABIAN
Gambaran di atas sebenarnya
telah membuktikan kepada kita bahwa kenabian adalah hal yang penting bahkan
niscaya. Akan tetapi untuk melengkapi pembuktian, di bawah ini akan diuraikan
secara singkat beberapa argumentasi akan pentingnya atau keharusan diutusnya
para Nabi, yaitu sebagai berikut :
1. 1. Argumentasi Kebijaksanaan (Hikmah). Kita ketahui bahwa Allah adalah Maha Bijaksana, karenanya Dia tidak akan membiarkan manusia tanpa pembimbing dalam mengarungi kehidupan ini. Sesuai dengan tauhid hukum bahwa Allah telah menurunkan hukum-hukumnya, maka mesti adalah yang mengajarkan hukum-hukum tersebut agar terlaksana dengan baik. Karena Allah tidak mungkin berhubungan secara langsung di alam materi, maka Ia akan mengutus seseorang yang telah mencapai derajat tertentu untuk menjadi penyampai, pembimbing dan penjaga hukum-hukumnya (syariat/agama). Orang yang diutus tersebut dikenal dengan Nabi atau Rasul.
1. 2. Argumentasi Rahmat. Allah senantiasa Maha Pengasih dan Penyayang, maka sesuai dengan kasih sayang-Nya tersebut, Dia tidak akan membiarkan makhluknya dalam kebingungan tanpa adanya pembimbing untuk mengamalkan hukum-hukumnya. Karena dengan mengamalkan hukum-hukum-Nya manusia dapat meningkatkan dirinya menuju derajat insan kamil (manusia sempurna). Karena itu Dia akan mengutus seseorang untuk manjadi pembimbing, inilah yang dikenal dengan Rasul atau Nabi.
1. 3. Argumentasi Kesempurnaan. Sesuai dengan hikmah penciptaan bahwa manusia mestilah mencapai kesempurnaan untuk memperoleh kebahagiaan hakiki. Karena manusia diharapkan untuk mencapai kesempurnaan, dan kesempurnaan akan tercapai jika sesuai atau mengikuti jalan-jalan yang digariskan Allah, maka untuk memberitahukan dan membimbing manusia ke jalan yang sempurna itu, Allah mengutus Nabi atau Rasul.
1. 4. Argumentasi Keadilan. Allah Maha Adil, artinya tidak menzhalimi hamba-Nya dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adalah suatu kezhaliman membiarkan ciptaan-Nya dalam keadaan bingung dan tidak mengetahui aturan-aturan kehidupan, karenanya berdasarkan keadilan tersebut, ia mesti mengutus seseorang untuk menjadi pembimbing umat manusia.
Argumentasi-argumentasi di atas menunjukkan dengan jelas akan pentingnya posisi kenabian dalam hidup dan kehidupan manusia. Dan argumentasi-argumentasi rasional diatas, juga didukung banyak ayat-ayat al-Quran, yang menegaskan bahwa Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk membimbing umat manusia dan menuntun mereka mencapai kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi. Seandainya para nabi itu tidak diutus maka tujuan penciptaan manusia tidak akan tercapai dan manusia akan tenggelam dalam kesesatan.
1. 1. Argumentasi Kebijaksanaan (Hikmah). Kita ketahui bahwa Allah adalah Maha Bijaksana, karenanya Dia tidak akan membiarkan manusia tanpa pembimbing dalam mengarungi kehidupan ini. Sesuai dengan tauhid hukum bahwa Allah telah menurunkan hukum-hukumnya, maka mesti adalah yang mengajarkan hukum-hukum tersebut agar terlaksana dengan baik. Karena Allah tidak mungkin berhubungan secara langsung di alam materi, maka Ia akan mengutus seseorang yang telah mencapai derajat tertentu untuk menjadi penyampai, pembimbing dan penjaga hukum-hukumnya (syariat/agama). Orang yang diutus tersebut dikenal dengan Nabi atau Rasul.
1. 2. Argumentasi Rahmat. Allah senantiasa Maha Pengasih dan Penyayang, maka sesuai dengan kasih sayang-Nya tersebut, Dia tidak akan membiarkan makhluknya dalam kebingungan tanpa adanya pembimbing untuk mengamalkan hukum-hukumnya. Karena dengan mengamalkan hukum-hukum-Nya manusia dapat meningkatkan dirinya menuju derajat insan kamil (manusia sempurna). Karena itu Dia akan mengutus seseorang untuk manjadi pembimbing, inilah yang dikenal dengan Rasul atau Nabi.
1. 3. Argumentasi Kesempurnaan. Sesuai dengan hikmah penciptaan bahwa manusia mestilah mencapai kesempurnaan untuk memperoleh kebahagiaan hakiki. Karena manusia diharapkan untuk mencapai kesempurnaan, dan kesempurnaan akan tercapai jika sesuai atau mengikuti jalan-jalan yang digariskan Allah, maka untuk memberitahukan dan membimbing manusia ke jalan yang sempurna itu, Allah mengutus Nabi atau Rasul.
1. 4. Argumentasi Keadilan. Allah Maha Adil, artinya tidak menzhalimi hamba-Nya dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adalah suatu kezhaliman membiarkan ciptaan-Nya dalam keadaan bingung dan tidak mengetahui aturan-aturan kehidupan, karenanya berdasarkan keadilan tersebut, ia mesti mengutus seseorang untuk menjadi pembimbing umat manusia.
Argumentasi-argumentasi di atas menunjukkan dengan jelas akan pentingnya posisi kenabian dalam hidup dan kehidupan manusia. Dan argumentasi-argumentasi rasional diatas, juga didukung banyak ayat-ayat al-Quran, yang menegaskan bahwa Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk membimbing umat manusia dan menuntun mereka mencapai kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi. Seandainya para nabi itu tidak diutus maka tujuan penciptaan manusia tidak akan tercapai dan manusia akan tenggelam dalam kesesatan.
4.
DERAJAT DAN PENETAPAN KENABIAN
Kenabian merupakan ikhtiar
dua arah, yakni ikhtiar manusia sebagai utusan dan ikhtiar Allah swt sebagai
pengutus. Inilah yang dikenal dengan istilah ‘derajat kenabian’ dan ‘gelar
kenabian’.
Derajat kenabian adalah kondisi tertentu yang dimiliki oleh seseorang sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Nabi, sedangkan gelar kenabian merupakan pelantikan dari Tuhan terhadap seseorang yang pantas – dengan pilihan Tuhan— untuk menjadi Nabi yang diutus kepada umat manusia. Dengan demikian derajat kenabian merupakan ikhtiar manusia sedangkan pangkat kenabian merupakan pelantikan yang sepenuhnya hak Allah swt untuk mengangkat siapa yang dikehendaki-Nya.
Dengan penjelasan ini, maka jelaslah bahwa Nabi dapat menjadi teladan karena dengan ikhtiarnya sehingga mampu untuk mengendalikan diri (maksum) dan mencapai derajat kenabian. Disisi lain tidak semua orang berhak menjadi Nabi, karena gelar kenabian sepenuhnya hak Allah swt yang lebih mengetahui kemaslahatan manusia dan kebutuhan akan pengutusan kenabian, “Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Q.S. al-An’am: 124). Karenanya ada saja orang yang mencapai derajat kenabian akan tetapi, Allah tidak mengangkatnya menjadi Nabi, seperti para Imam. Namun, bagaimana derajat itu bisa didapatkan oleh manusia atau Nabi sebelum menjadi Nabi, padahal ia belum dibimbing oleh wahyu?
Perlu diperhatikan bahwa, pada awalnya seorang nabi dalam meningkatkan kesempurnaan diri dan pengetahuannya berpegang pada kemampuan akalnya. Dalam filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan yang diperoleh akal manusia (termasuk yang diperoleh nabi sebelum menjadi nabi) berasal dari alam yang lebih tinggi dari alam dunia, yaitu alam malakuti (alam mitsal, alam akal, dan alam ketuhanan). Adapun, belajar dan penyucian diri, berfungsi sebagai penyiap bagi jiwa untuk menangkap pancaran ilmu ilahi tersebut.
Imam Khumaini menjelaskan bahwa premis-premis memiliki hubungan persiapan dengan kesimpulan-kesimpulannya dan mempersiapkan jiwa untuk menerima pengetahuan melalui inspirasi dari sumber-sumber gaibnya yang tinggi (mabadi-ye ‘aliyeh-ye ghaibiyyeh). Ini berarti, pengetahuan dan makrifat itu dipancarkan dari alam gaib melalui hubungan—dan pencerapan—jiwa dengan alam tersebut, sebagaimana disebutkan Allah, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan memberimu ilmu…” (Q.S. al-Baqarah: 282) dan disabdakan hadits : “pengetahuan itu (diperoleh) bukan melalui banyaknya pengajaran, tetapi melalui cahaya yang Allah pancarkan kepada hati hamba yang dikehendaki-Nya.
Derajat kenabian adalah kondisi tertentu yang dimiliki oleh seseorang sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Nabi, sedangkan gelar kenabian merupakan pelantikan dari Tuhan terhadap seseorang yang pantas – dengan pilihan Tuhan— untuk menjadi Nabi yang diutus kepada umat manusia. Dengan demikian derajat kenabian merupakan ikhtiar manusia sedangkan pangkat kenabian merupakan pelantikan yang sepenuhnya hak Allah swt untuk mengangkat siapa yang dikehendaki-Nya.
Dengan penjelasan ini, maka jelaslah bahwa Nabi dapat menjadi teladan karena dengan ikhtiarnya sehingga mampu untuk mengendalikan diri (maksum) dan mencapai derajat kenabian. Disisi lain tidak semua orang berhak menjadi Nabi, karena gelar kenabian sepenuhnya hak Allah swt yang lebih mengetahui kemaslahatan manusia dan kebutuhan akan pengutusan kenabian, “Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Q.S. al-An’am: 124). Karenanya ada saja orang yang mencapai derajat kenabian akan tetapi, Allah tidak mengangkatnya menjadi Nabi, seperti para Imam. Namun, bagaimana derajat itu bisa didapatkan oleh manusia atau Nabi sebelum menjadi Nabi, padahal ia belum dibimbing oleh wahyu?
Perlu diperhatikan bahwa, pada awalnya seorang nabi dalam meningkatkan kesempurnaan diri dan pengetahuannya berpegang pada kemampuan akalnya. Dalam filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan yang diperoleh akal manusia (termasuk yang diperoleh nabi sebelum menjadi nabi) berasal dari alam yang lebih tinggi dari alam dunia, yaitu alam malakuti (alam mitsal, alam akal, dan alam ketuhanan). Adapun, belajar dan penyucian diri, berfungsi sebagai penyiap bagi jiwa untuk menangkap pancaran ilmu ilahi tersebut.
Imam Khumaini menjelaskan bahwa premis-premis memiliki hubungan persiapan dengan kesimpulan-kesimpulannya dan mempersiapkan jiwa untuk menerima pengetahuan melalui inspirasi dari sumber-sumber gaibnya yang tinggi (mabadi-ye ‘aliyeh-ye ghaibiyyeh). Ini berarti, pengetahuan dan makrifat itu dipancarkan dari alam gaib melalui hubungan—dan pencerapan—jiwa dengan alam tersebut, sebagaimana disebutkan Allah, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan memberimu ilmu…” (Q.S. al-Baqarah: 282) dan disabdakan hadits : “pengetahuan itu (diperoleh) bukan melalui banyaknya pengajaran, tetapi melalui cahaya yang Allah pancarkan kepada hati hamba yang dikehendaki-Nya.
5.
PENUTUP KENABIAN
Meskipun tiap nabi membawa pesan-pesan
yang ternyata kandungannya hanya memiliki perbedaan yang kecil, para nabi
adalah pembawa pesan yang satu dan sama, dan mereka memiliki satu aliran
pemikiran yang sama. Aliran pemikiran
ini disuguhkan secara gradual sesuai dengan kemampuan umat manusia, sampai
mereka mencapai titik perkembangan dimana aliran pemikiran ini bisa disuguhkan
dalam bentuknya yang lengkap dan sempurna. Ketika itulah kenabian berakhir.
Versi yang sempurna dari aliran
pemikiran yang mengalami kontinyuitas tersebut disuguhkan melalui pribadi
Muhammad bin Abdullah, semoga selawat dan salam dilimpahkan kepadanya dan
kepada keluarganya, dan kitab suci terakhir adalah al-Quran.
Qur’an Suci mengatakan: “Telah
sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan harmoni, tak ada yang dapat
mengubah kalimatnya.” (QS. Al-An’am; 6: 115)
Meskipun
kenabian merupakan alur yang berkelanjutan dari pesan Ilahi, dan agama
hanya kebenaran tunggal, ada beberapa alasan bagi diperbaharuinya kenabian dan
munculnya nabi-nabi, baik yang membawa hukum Ilahi maupun hanya mendakwahkannya
saja. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama,
umat manusia pada zaman dulu
tidak mampu menjaga orisinalitas Kitab Suci yang diturunkan pada mereka
disebabkan kurangnya perkembangan mental dan kematangan berfikir mereka.
Kitab-kitab suci sebelum al-Quran diubah dan didistorsi atau bahkan dirusak
sama sekali, sehingga diperlukan pembaharuan pesan (risalah). Masa dimana
al-Quran diturunkan, yaitu abad 7 Masehi adalah puncak dari masa
kekanak-kanakan tersebut karena manusia saat itu telah berhasil melampui masa
kekanak-kanakannya dan akhirnya bersedia bertanggung jawab teerhadap isi ajaran
kitab suci yang terakhir, yaitu al-Quran.Kaum Muslimin pada umumnya, sejak saat
diturunkannya tiap-tiap ayat al-Quran hingga kini, telah merekamnya dalam
ingatan atau tulisan, dengan cara yang sedemikian rupa sehingga kemungkinan terjadinya
suatu macam distorsi, transformasi, perubahan, penghilangan atau penambahan,
dihilangkan. Karenanya, tidak ada perubahan dan kerusakan terhadap kitab suci
al-Quran. Alasan ini adalah salah satu alasan bagi pembaharuan kenabian,
menghilangkan kebutuhan atas kitab suci baru.
Kedua,
alasan bagi diperbaharuinya
agama dalam Kitab Suci, adalah bahwa umat manusia pada masa sebelumnya belum
mampu memahami suatu program yang umum dan komprehensif. Dengan berkembangnya
kemampaun ini, suatu program yang bersifat umum dan komprehensif disuguhkan
kepada umat manusia secara kontinyu, dan dengan cara ini kebutuhan bagi
pembaharuan kenabian dan hukum-hukum Ilahi dihilangkan.
Ketiga,
para ulama umat di masa Nabi
Terakhir, yang merupakan abad ilmu (the age of knowledge), mampu
mengadaptasikan ajaran-ajaran umum al-Quran terhadap masa dan tempat serta
tuntutan-tuntutan dan kondisi-kondisi yang ada. Dengan mengetahui
prinsip-prinsip umat Islam, dan dengan mengenali situasi dan kondisi masa dan
tempat, mereka mampu merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum Ilahi. Usaha ini
disebut ijtihad (berusaha sejauh
kemampuan untuk melakukan pertimbangan keagamaan yang mandiri mengenai suatu
masalah hukum).
Dari apa yang diuraikan diatas, jelaslah
bahwa kematangan intelektual dan pertumbuhan social umat manusia memainkan
peran dalam berakhirnya kenabian. Peran ini mempunyai aspek-aspek yang berbeda:
-
Umat
manusia telah menjaga kelestarian Kitab Suci dari distorsi yang bagaimanapun
-
Umat
manuisa telah mencapai suatu titik perkembangan di mana mereka bisa menerima
dan menggunakan program perkembangannya sebagai suatu keseluruhan dan tidak
selangkah demi selangkah
-
Kematangan
intelektual umat manusia dan kemajuan social mereka telah memungkinkan mereka
untuk melaksanakan, menyebarluaskan dan memanfaatkan agama untuk memerintahkan
masyarakat mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan mencegah mereka dari
perbuatan-perbuatan yang jahat. Kebutuhan akan nabi-nabi yang hanya berfungsi
sebagai pendakwah, yang mempromosikan dan menyebarluaskan agama nabi yang
membawa hukum Ilahi telah dihilangkan. Para ulama dan kalangan umat telah
memenuhi kebutuhan ini.
-
Kematangan
intelektual umat manusia telah mencapai suatu titik dimana mereka bisa
mengomentari dan menjelaskan hal-hal umum yang terkandung dalam wahyu, hingga
dengan bantuan ijtihad dalam berbagai situasi dan kondisi serta lingkungan,
mereka bisa merujukkan suatu kasus hukum yang ada kepada prinsip asalnya.
BAB III
1.
KESIMPULAN
·
Dalam filsafat kenabian dipahami bahwa Nabi atau rasul
hanya menyampaikan perintah Allah secara umum dan membawa berita yang belum
pernah didengar dan dilihat. Perintah beribadah kepada Allah bertujuan agar
manusia mampu melepaskan dirinya dari keterikatan dunia materi, berpaling dari
selain Allah dengan iman kuat, memahami kewajiban dengan mengikuti hikmah
ilahiyah dalam pengutusan seorang nabi dan rasul. sehingga berakhir menjadi
suatu kekuatan pendorong untuk mencapai kebahagian sesudah roh terpisah dengan
tubuh.
·
Tujuan utama nabi diutus dimuka bumi adalah untuk
menyeimbangkan dimensi Ketuhanan dan dimensi Kemanusiaan bagi umat.
·
Kedudukan rasul bagi manusia bagaikan kedudukan akal dan
hati nurani bagi manusia yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
atau mana yang benar dan mana yang salah.
Derajat kenabian adalah kondisi tertentu yang dimiliki oleh seseorang
sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Nabi, sedangkan gelar kenabian merupakan
pelantikan dari Tuhan terhadap seseorang yang pantas – dengan pilihan Tuhan—
untuk menjadi Nabi yang diutus kepada umat manusia. Dengan demikian derajat
kenabian merupakan ikhtiar manusia sedangkan pangkat kenabian merupakan
pelantikan yang sepenuhnya hak Allah swt untuk mengangkat siapa yang
dikehendaki-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Yazdi,
Mizbah,Iman Semesta, (Jakarta:
Al-Huda, 2005)
Yazdi, Mizbah, Membangun
Agama, (Bogor: Cahaya, 2004),
Abu Bakar Atjeh, Prof. Dr. Syi’ah, Rasionalisme Dalam Islam, Yogyakarta: beranda publishing, 2003
Adz-dzakiey, hamdani bakran, 2007, Psikologi kenabian, Yogyakarta: beranda
publishing
Mustafa, Filsafat
Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004)
Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Kenabian
dan Para Nabi, terj. Arifin Jamian Ma’un,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1993)
Hanafi, Ahmad, Pengantar
Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
Madjid, Nur Cholis, Khazanah Intelektual Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Murtadha
Muthahari, Falsafah Kenabian, terj. Ahsin Muhammad, (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1991)
Murtadha Muthahari, Islam
dna Tantangan Zaman, terj Ahmad Sobandi, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991)
Hashem, Omar, Muhammad Sang Nabi (Jakarta: Tama Publisher, 2005)
Murtadha Muthahari, Mengenal Tasawuf, terj. Mukhsin Ali,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2002).
2 Komentar
subhanallah,,, (Y)
BalasHapusAhsantum.. syukron Jazilan
BalasHapus