Ketika
malam merasuk jauh ke lebat hujan
kutitipkan
jemariku di hangat pendiangan
dapur
ibunda. Menyelesaikan pelajaran berlari
hari
ini, diakhiri sebutir isak yang melelahkan.
kali
ini pelajaran berlari amatlah menguras airmata.
seminggu
ini, kecepatanku tak lebih dari dua puluh
lima ribu setiap hari.
Setiap
hari, seperti dituahkan Bapak dari mulutnya
yang
merah jambu semua, kecepatanku harus
mencapai
lima puluh ribu per hari. Ditakdirkan
sebagai
anak sulung beradik empat rang.
Aku
harus kuat berlari sepanjang hari. Musim lari
yang
melelahkan, semoga jadi suluh segala doa,
jadi
silih semua derita.
(2014)
Bagi Didik Siswantono, gelanggang kehidupan laksana
kompetisi balap yang disesaki kegiatan berlari. Resah dan risau yang merembesi
pikirannya, dia kicaukan dalam sebuah buku, pelajaran
berlari. Sebagaimana sajak diatas, yang dinukil dari judul yang sama dalam
buku Didik.
Benar kata Joko Pinurobo, judul buku Didik lebih
cocok buat buku olahraga anak-anak sekolahan. Tetapi secara substansi, bila
kita semacam berlari atau membaca isi pelajaran
berlari dengan cepat (skimming),
maka tidak akan diketemukan hal-hal menarik, yang unik, dan kerap tidak tampak,
yang membuat gugusan gagasan Didik terbalut elok secara estetik.
Pada kata pengantar yang disematkan Joko Pinurobo,
dia mengomentari sajak diatas: “..berlari melambangkan perjuangan hidup tanpa
henti.” Juga, “...begitulah, bekerja dan berlari pun pada gilirannya
bermetamorfosis menjadi semacam hobi atau candu. Candu yang merangsang orang
untuk terus memburu dan memenuhi berbagai hasrat dan keingan yang tak mengenal
kata ‘cukup’.”
Lewat interpretasi Joko Pinurobo, berlari ialah
kegiatan memenuhi hasrat secara terus menerus. Hasrat, yang oleh filsuf Yunani,
Plato, adalah aspek prinsipil yang membentuk manusia. Plato menyebutnya Thymos – sebuah dahaga untuk memperoleh
pengakuan, kebanggaan, kehormatan, martabat, rasa kemenangan, dan semacamnya.
Yang oleh Nietzche, hasrat ini dijuluki selaku “binatang berpipi merah”, yang
bersemayam dan tinggal dalam gubuk hati manusia. Hasrat ini adalah reptil yang
senantiasa kelaparan, tetapi tidak pernah merasa kekenyangan. Acapkali gairah
terpenuhi, sensasi kepuasan yang dinikmati sesungguhnya hanyalah semu. Selalu
ada upaya untuk mengulangi kepuasan-kepuasan yang sama. Terjadilah apa yang
dikatakan Joko Pinurobo, “kecanduan.”
Dalam aktivitas berlari, terdapat aksioma mendasar:
siapa tercepat, dia menang. Kegesitan dan kelincahan adalah faktor penting yang
mesti dikuasai seorang pelari. Dan kelambanan serta ketertinggalan, adalah aib
dan momok yang mesti dihindari. Pada masyarakat “berlari”, berkembanglah mitos
seperti, “siapa cepat, dia dapat.”
Kecepatan merupakan kemestian yang harus dipiawai
oleh manusia-manusia modern. Kecepatan adalah prasyarat mutlak meraih
kebahagiaan hidup misalkan dalam hal-hal yang dianggap positif dan ideal bagi
mayoritas masyarakat: cepat lulus, cepat kerja, cepat mapan.
Jauh sebelum hari ini, pelopor futurisme Italia,
F.T. Marinetti membuat Futurist Manifesto
(1916) demi meneguhkan ideologi kecepatan yang kedudukannya setara dengan
agama baru. Baginya, “Kecepatan, pada hakikatnya merupakan sintesa intuitif
dari segala macam kekuatan... Kelambanan merupakan analisa rasional tentang
kelembekan... Setelah dihancurkannya barang-barang antik beserta kejahatan
antiknya, kami menciptakan barang baru; kecepatan, dengan kejahatan barunya;
kelambanan.”
Ada yang mengatakan bahwa Marinetti adalah seorang
revolusionaris, bahwa ia mengubur masa silam, bahwa ia membuka cakrawala dunia
baru bagi manusia super versi Nietzche, bahwa – seperti juga Picasso dan
Apollinaire – ia adalah salah satu kekuatan terpenting dalam seni modern. Dalam
konteks ini, dia mampu membuka lebar kelapangan manusia terhadap pemujaan
berlebihan kepada teknik. Teknik dan paradigma fungsionalisme, adalah buah dari
penganut agama “kecepatan.”
Bagi Marinetti kecepatan adalah gairah, semacam
birahi yang membangkitkan hormon adrenalin; makanan bagi para obsesif dan
ambisius yang kerap diketemui di kota-kota metropolitan dimana moralitas acap
kehilangan tempat. Dunia yang berotasi dengan cepat seakan alegori, bilasanya
“diam” bermakna kematian.
Tidak ayal lagi kecenderungan menyembah kecepatan
ini menemukan momentumnya di era teknologi, informasi dan globalisme: zaman
sibernetik. Kecepatan adalah syarat mutlak bagi pasar dan negara untuk bertahan
hidup. Sekan-akan apabila tertinggal, kita hanya akan jadi seonggok mayat yang
terinjak-injak oleh ribuan kaki yang tengah asyik berlari. Industri makanan
berlomba-lomba menciptakan makanan fastfood
(makanan instant); sarana-sarana transportasi semarak memperlihai
masing-masing diri mereka demi melipat waktu dan jarak perjalanan; cyber space hadir demi mengentaskan
kesulitan interaksi antar benua; media-media pers berkompetisi menghadirkan
berita dengan tangkas tanpa memperhitungkan keakuratan informasi.
Kecepatan menjelma bagai ritus, pelaku kecepatan tak
ubah laksana agamawan yang dengan khidmat dan khusyuk menjalani ritual ibadah.
Kitapun kecanduan terhadap kecepatan. Kita kerap bertransmisi jadi makhluk yang
tidak sabaran. Mengutip opini Aan Mansyur, saya sepakat, bila memang ternyata
kita tengah menyembah kecepatan; kecepatan adalah berhala manusia modern. Pun
kata Marinetti, kecepatan ialah agama baru pengganti monotheisme primitif. Dan
para olahragawan serta pembalap laiknya Usain Bolt, Valentinno Rossi dan atlet
lainnya adalah para nabi serta rasul yang mewartakan kebenaran.
Padahal pada mulanya kecepatan hanya diperlukan
tatkala hendak mencapai sesuatu. Akankah berarti hari ini, kecepatan telah
menjadi tujuan itu sendiri?
Dengan demikian aksioma “siapa cepat dia dapat”
bermakna: kepuasan manusia bukanlah ketika dia mencapai sesuatu, akan tetapi
ketika dia mampu dengan “cepat” meraih sesuatu tersebut
Ketika kecepatan menjadi kegemaran, maka anak-anak
kehilangan kesabaran untuk cepat dewasa, perempuan seringkala mengambil jalan
pintas menuju kecantikan praktis, dan para pria tidak menunda berbuat curang
demi kemapanan. Dunia lalu menyeimbangkan diri demi memuaskan hasrat dan ambisi
manusia. Dunia informasi kini tidak memusingkan kategori dewasa, anak kecil dan
bimbingan orang tua dalam penayangan konten; akses terhadap dunia luar kerap
memasa-bodohkan persoalan filterisasi; konten negatif dan positif tidak penting
lagi, yang penting pendapatan dan rating berkucuran
terus. Sedangkan industri kecantikan menjelma jadi poros setan baru;
kosmetologi adalah pelipur lara mengakses kecantikan meskipun harus
mengorbankan kesehatan kulit di masa tua. Industri ekonomi dan lapangan kerja
kerap memperlihatkan kompetisi tidak sehat; ambisi dan obsesi kesuksesan dan
kemapanan semu seakan hanya bisa dijamah apabila moralitas ditanggalkan.
Speeding automobile (automobile in corsa), Giacomo Balla, 1912
.Bagi masyarakat yang mencandui kerja (workholic), kecepatan adalah uang dan bergerak lambat berarti kemiskinan.
Praktis industri makanan cepat saji menjadi pilihan terfavorit. Sedang George
Ritzer pernah menampilkan destruktifitas yang terpendam dalam bisnis fastfood dalam bukunya Mcdonaldisasi, ada juga Jean Baudrillard
dengan Masyarakat Konsumsi, bahwa
pola konsumsi masyarakat post-modern bakal membangkrutkan budaya, perhatian
akan kesehatan, serta keruntuhan identitas.
Kota metropolitan dengan gedung-gedung yang
menjulang mentereng serta lalu lintas padat bak neraka dunia adalah arena
manusia memacu kecepatan; berkompetisi dengan keterbatasan waktu dan ruang. Masyarakat
urban mencirikan satu pola mendasar yang khas yakni individualisme akut dan
konsumerisme. Nilai kerja ditukar dengan efektifitas penggunaan waktu.
Kecepatan dihargai mahal. Sedangkan waktu kosong hanya cukup diisi dengan tidur
dan sedikit bersantai. Terkadang, kita suka menukar waktu ibadah dengan kerja.
Padahal kemanusiaan manusia ditandai dengan kebebasan. Tapi waktu kosong dimana
kebebasan dapat terekspresikan, malah dipersempit oleh hukum modal..
Dapat ditarik konklusi bahwa kecepatan juga merupakan
problem eksistensial. Manusia futurisme Marinetti tidak pernah membayangkan
bagaimana jadinya hidup tanpa berlaku cepat selain menjadi kelambanan yang
terkutuk laiknya kura-kura, simbol dari kemalasan dan kemiskinan. Heidegger
sang eksistensialis Jerman berucap, manusia adalah makhluk fana yang mengalami
keterdamparan ke dalam dunia yang tidak dia pahami. Upaya pemberian makna atas
tiap laku hidup berhadapan dengan dunia, adalah upaya bertahan hidup. Agaknya
fenomena masyarakat berlari menandakan sistem sosial kita tengah mengatasi
kekosongan makna dengan melalui lorong bernama waktu dengan gesit dan tangkas.
Manusia menjelma jadi makhluk mekanistik tak ubahnya mesin. Dan di dalam
kuburan bernisan Marinetti serta para pengikutnya, mereka mungkin tengah
tertawa terbahak-bahak sembari mencibir: “jadilah kalian masyarakat penyembah
teknik. Jadilah kalian onggokan daging yang bekerja atas dasar hasrat yang
digerakan ambisi dan obsesi laiknya android dengan kecerdasan artifisialnya.
Jadilah tatanan manusia baru, diatas hukum sibernetik-mekanistik. Inilah makna
hidup. Kehidupan adalah permainan berlari tanpa henti, dan kemenangan hanyalah
milik mereka yang tercepat.”
Tentunya sengkarut problematika kecepatan bagi
manusia modern masih beragam dan penuh dengan selirat-kelindan pada bingkai
sejarah. Tampaknya hasrat Marinetti dan seniman futurisme lain memperoleh
tantangan dan falsifikasi hebat setelah diaktualisasikan
(***)
the-street-light-study-of-light-by-giacomo-balla
Hidup
adalah pelajaran berlari tanpa henti.
Kadang
berhenti, mengatur hati,
lalu
berlari lagi, dan berlari lagi.
Sampai
mati.
(2014)
Sajak yang kita nukil dari Didik Siswantono diatas
seakan-akan hendak mereplika kenyataan, sajak dia gunakan bak kamera yang
menangkap realitas, sajak yang gigih bersiteguh untuk menyerupai dunia objektif.
Tetapi – bagi yang peka –, kita bisa
menemukan ada keresahan yang tergores bersama aksara-aksara yang diluapkan
Didik. Ada semacam kegelisahan (angst)
yang bermuara dari kontemplasi eksistensialnya atas kehidupan masyarakat
berlari. Apakah ada pasrah dan risau disana?
Hanya saja satu hal, Didik mahfum dan menyadari
kehidupan tanpa berlari adalah kemustahilan, non-sense. Tetapi kehidupan dengan berlari sekencang-kencangnya –
tanpa mengenal jeda dan rehat – adalah kehidupan mekanik, yang menisbikan aspek
kemanusiaan pada manusia. Penggerusan atas kemanusiaan terjelma dalam
masyarakat berlari lewat waktu kerja yang penuh, kompetisi-kering-kolaborasi,
individualisasi diri, dan gaya hidup cepat. Kecepatan telah menjadi prestise
yang sukar dienyahkan. Sehingga manusia modern kerap lupa mengatur hati,
mengatur nafas, dan menemukan nurani.
Kehadiran mesin, industri, teknologi komunikasi dan
transportasi, adalah produk budaya, dan lebih dari itu, produk
eksistensialitas. Kesemua aspek demikian dikreasikan atas dasar kegemaran
menghamba pada kecepatan. Techne, bagaimanapun
juga tidak dapat terelekan, begitu ucap Heidegger. Yang menjadi persoalan
adalah ketika manusia melepas tanggungjawab kemanusiaan dalam penggunaannya.
Kelak bila wabah nir-tanggungjawab ini terpelihara, manusia bakal teralienasi
oleh kecepatan, oleh techne yang
mereka ciptakan – suatu kiamat yang tak mampu diprediksikan Marinetti.
Tanggungjawab mestilah jadi keharusan mutlak bagi
manusia yang tak terelakan dari aktivitas berlari. Akan tetapi, rehat dan
interval bukan melulu sebagai kutukan dan dosa. Dalam beberapa hal para agamawan
dan spiritualis mewajibkan umatnya untuk berhenti sejenak dari lalu lalang
dunia yang bising dan penuh desau risau. Ibadah adalah seni mengatur hati,
mengelolah nafas demi mecapai kedamaian diri, sesuatu yang tak bisa diperoleh
lewat berlari.
Dalam beberapa hal, ada sesuatu yang hanya bisa
dinikmati tatkala kita diam. Ada beberapa hasrat yang hanya mampu dilunasi
acapkali kita berhenti sejenak, dan menatap dunia yang kerap kita lewati dengan
tergesa-gesa. Dalam lembayung alunan musik, pada kanvas-kanvas yang bisu, serta
lanskap alam yang tenang, mengenai doa di keheningan malam, atau lembutnya
belaian angin sore: ada desah dan kicau disana, yang meresonansi dengan
hembusan nafas semesta, lalu kita larut sedalam-dalamnya pada samudera
estetika.
2 Komentar
asik nih ulasannya, hehek.. sa pakai tautannya di blog terbaru saya, ini:
BalasHapushttps://putrisarinande.wordpress.com/2017/01/12/teman-lama-dan-gosip-politik/
Makasih sudah berkunjung mbak put :)
BalasHapus