Tubuh
manusia adalah diskursus yang teralienasi dalam sejarah filsafat. Sokrates
mengatakan tubuh adalah penjara jiwa. Plato mengatakan tubuh tidak lebih utama
daripada jiwa. Filsafat Islam dan filsafat Kristen zaman pertengahan pun
mengasosiasikan tubuh dengan dosa. Era renaisans, Descartes menempatkan tubuh
hanya sebagai mesin. Seolah-olah akal budi atau jiwa adalah yang hegemonial dan
tubuh marginal; akal budi adalah yang utama dan primer, sedangkan tubuh adalah
yang sekunder.
Merleu
Ponty datang untuk mematahkan status quo. Bagi filusf Perancis ini, tubuh jauh
lebih utama ketimbang akal budi.
Merleu
Ponty mengkritik gagasan Cartesian yang menempatkan akal budi manusia sebagai
pusat filsafat. Sebelum kita mengetahui segala sesuatu, kita selalu mengalami
segala sesuatu. Dimensi pengalaman ini mendahului dimensi pengetahuan. Dan
dimensi pengalaman tidak akan terjadi tanpa ada kebertubuhan. Dengan demikian,
Tanpa tubuh tidak akan ada pengalaman, dan tanpa pengalaman tidak akan ada
pengetahuan. Tanpa tubuh tidak ada pengetahuan. Maka tubuh jauh lebih utama dan
lebih purba ketimbang akal budi.
Cogito
ergo sum Descartes tidak akan ada kalau Descartes nggak punya tubuh. Descartes
nggak bisa mikir, kalau dia nggak punya tubuh. Dengan demikian “aku berpikir
maka aku ada” adalah proposisi yang tak tepat, secara eksistensial, “aku perlu
ada dulu baru aku boleh berpikir”. Dan aku hanya bisa ada di dunia ini, kalau
ada punya tubuh.
Aku
hanya bisa ada dan eksis kalau aku punya tubuh. Karena itu Merleu Ponty bilang
kalau tubuh adalah jangkar kita di dalam dunia. Tubuh kita berada di dalam
dunia sebagaimana jantung berada dalam tubuh. Di sini, Merleu Ponty
mendefinisikan ulang makna subjek.
Bila
dalam filsafat Descartes subjek adalah manusia yang memiliki tubuh, maka dalam
filsafat Merleu Ponty, manusia adalah tubuhnya sendiri. Aku adalah tubuhku,
tubuhku adalah aku. Tidak akan ada aku tanpa tubuh. Dalam filsafat Ponty,
subjek adalah tubuh itu sendiri.
Tidak ada yang lebih sulit dari
memastikan apa yang kita lihat
Tubuh
kita sendiri dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena terbatas oleh ruang dan
waktu, maka persepsi yang dihasilkan tubuh sudah pasti terbatas. Persepsi kita
terhadap dunia selalu mengandung ambiguitas serta ketidakpastian.
Dengan
gagasan itu, Merleu Ponty pun mengkritik rasionalisme yang mengagungkan nalar,
yang menganggap bahwa kita bisa menemukan kebenaran absolut. Pada kenyataannya,
kita tidak bisa menemukan kebenaran absolut karena tubuh kita selalu dibatasi
ruang dan waktu. Keterbatasan tubuh ini menyebabkan persepsi kita terhadap
dunia selalu ambigu, Merleu Ponty menyebut konsep ini dengan lingkungan
perseptual.
Contohnya:
Di ruangan A, kita melihat gajah dan jerapah. Di ruangan B kita melihat gajah
dan domba. Persepsi kita akan mengatakan gajah di ruangan A ukurannya pendek,
dan gajah di ruangan B punya ukuran yang tinggi. Itu karena gajah di ruangan A
disandingkan dengan jerapah, dan gajah di ruangan B disandingkan dengan domba
yang jauh lebih pendek daripada gajah. Keterbatasan lingkungan, membuat persepsi
kita pun terbatas. Maka persepsi, selalu berada dalam kondisi relatif,
kompleks, dan penuh ambiguitas.
Ini
tentu merupakan serangan terhadap filsafat analitis yang mengagungkan
kesederhanaan dan kemutlakan kebenaran. Kita mungkin pernah mendengar pisau
cukur Ockham, bahwa semakin sederhana suatu teori semakin teori itu benar
adanya. Kenyataannya, menurut Ponty, dunia tidak sesederhana itu. Dunia justru
penuh kompleksitas dan ambiguitas. Dan ambiguitas ini terjadi karena persepsi
kita selalu dibatasi oleh ruang di mana kita mempersepsikan dunia, waktu di
mana kita mempersepsikan dunia, serta dari sudut mana tubuh kita mempersepsikan
dunia.
Menjadi
pengada yang bertubuh, menjadi subjek Merleau-Ponty, adalah mengakui bahwa
dunia sangatlah kompleks, penuh ambiguitas, dan paradoks. Contoh: bayangkan
tangan kanan kamu menyentuh tangan kiri kamu, pertanyaannya, apakah kamu sedang
menyentuh atau sedang disentuh? Ketika kamu melihat kedua tangan kamu, apakah
kamu sedang melihat atau kamu sedang dilihat? Tubuh punya sifat ganda memang.
Dengan tubuh aku bisa mengalami sekaligus dialami.
Phantom Limb
Yang
unik dari filsuf Perancis ini, dia sering mengangkat topik-topik di dunia medis
dan kedokteran untuk dibahas secara filosofis. Salah satunya adalah fenomena
phantom limb, atau tangan hantu. Phantom limb adalah kondisi yang dialami oleh
orang yang tangannya sudah diamputasi.
Katakanlah
tangan kirinya sudah diamputasi, sudah buntung. Orang tersebut lalu sering
merasa tangan kirinya gatal atau kadang kala dia secara spontan, menggaruk
tangan kirinya dengan tangan kanannya. Padahal tangannya sudah diamputasi.
Fenomena
phantom limb ini terjadi karena pikiran mengira anggota tubuh masih utuh. Ini
menunjukan ingatan (psikologis) mengira tangan kiri kita masih
ada (fisiologis). Artinya, terdapat timbal balik antara yang psikologis dan
fisiologis. Ini menjelaskan kenapa psikosomatik terjadi.
Kasus phantom limb ini
juga adalah kritik pada dualisme Cartesian yang menganggap kalau mental dan
tubuh gak ada hubungannya sama sekali. Merleau Ponty justru bilang ada,
buktinya, lewat lengan hantu ini.
Tubuh dan Dunia
Kita tidak mungkin
punya kesadaran tanpa tubuh. Dan kita tidak bisa memahami dunia dan menjelaskan
pemahaman soal dunia, tanpa konteks kebertubuhan. Misal, kita gak bisa memahami
Tuhan tanpa mengandaikan Tuhan punya tubuh.
Know-what
versus know-how
Lanjutan dari kritik
pada Descartes, kesadaran tidak sekadar bersifat kognitif dan niskala, tapi
juga bersifat psikomotorik. Ada dikotomi jelas antara know-what dan know-how.
Know-what
itu adalah mengetahui dunia secara kognitif atau secara serebral. Contoh:
Kendati kamu bisa memberi 100 proposisi mengendai sepeda, hal itu belum
menjamin kamu bisa bawa sepeda. Bahkan kita bisa mengendarai sepeda tanpa tahu
satupun teori tentang membawa sepeda. Ini menjelaskan kenapa atlet yang bagus
belum tentu jadi pelatih yang bagus. Seseorang bisa menjelaskan sejarah komidi,
tapi belum tentu bisa memainkan 3 bola di atas sepeda satu roda seperti pemain
akrobat umumnya.
Artinya,
mengetahui segala informasi tentang sepeda, tidak sama dengan mengetahui
bagaimana cara mengoperasikan sepeda. Untuk know-what kita cukup hanya dengan
akal budi Cartesian, tapi untuk mengendarai sepeda, kita butuh tubuhnya
Merleau-Ponty. Konklusinya, tubuh punya kecerdasannya sendiri.
Know-how
ini juga bersifat sangat subjektif. Dalam buku ini, dicontohkan soal juri
masak. Seseorang boleh saja belajar gastronomi, ilmu tentang makanan, selama 4
tahun, tapi belum menjamin dia menjadi juri masakn yang handal. Chef Arnold,
Chef Juna, Chef Renata, dan Gordon Ramsey tidak bisa menjadi juri masak yang
hebat tanpa kekayaan pengalaman subjektif soal makanan.
Kesimpulan pribadi
Membaca
Marleau-Ponty seperti kapak bagi sungai es dalam pikiranku, aku mulai menyadari
betapa penting tubuhku.
2 Komentar
Kerenn kak. Cocok dan pas untuk jadi pembahasan panjang lebar di podcast spotify.
BalasHapusSudah ada di Spotify, Regi, Judulnya sama, Filsafat Tubuh Marleu Ponty
Hapus