the-day-after, 1894-95 Edvard Munch


Tubuh manusia adalah diskursus yang teralienasi dalam sejarah filsafat. Sokrates mengatakan tubuh adalah penjara jiwa. Plato mengatakan tubuh tidak lebih utama daripada jiwa. Filsafat Islam dan filsafat Kristen zaman pertengahan pun mengasosiasikan tubuh dengan dosa. Era renaisans, Descartes menempatkan tubuh hanya sebagai mesin. Seolah-olah akal budi atau jiwa adalah yang hegemonial dan tubuh marginal; akal budi adalah yang utama dan primer, sedangkan tubuh adalah yang sekunder.

 

Merleu Ponty datang untuk mematahkan status quo. Bagi filusf Perancis ini, tubuh jauh lebih utama ketimbang akal budi.

 

Merleu Ponty mengkritik gagasan Cartesian yang menempatkan akal budi manusia sebagai pusat filsafat. Sebelum kita mengetahui segala sesuatu, kita selalu mengalami segala sesuatu. Dimensi pengalaman ini mendahului dimensi pengetahuan. Dan dimensi pengalaman tidak akan terjadi tanpa ada kebertubuhan. Dengan demikian, Tanpa tubuh tidak akan ada pengalaman, dan tanpa pengalaman tidak akan ada pengetahuan. Tanpa tubuh tidak ada pengetahuan. Maka tubuh jauh lebih utama dan lebih purba ketimbang akal budi.

 

Cogito ergo sum Descartes tidak akan ada kalau Descartes nggak punya tubuh. Descartes nggak bisa mikir, kalau dia nggak punya tubuh. Dengan demikian “aku berpikir maka aku ada” adalah proposisi yang tak tepat, secara eksistensial, “aku perlu ada dulu baru aku boleh berpikir”. Dan aku hanya bisa ada di dunia ini, kalau ada punya tubuh.

 

Aku hanya bisa ada dan eksis kalau aku punya tubuh. Karena itu Merleu Ponty bilang kalau tubuh adalah jangkar kita di dalam dunia. Tubuh kita berada di dalam dunia sebagaimana jantung berada dalam tubuh. Di sini, Merleu Ponty mendefinisikan ulang makna subjek.

 

Bila dalam filsafat Descartes subjek adalah manusia yang memiliki tubuh, maka dalam filsafat Merleu Ponty, manusia adalah tubuhnya sendiri. Aku adalah tubuhku, tubuhku adalah aku. Tidak akan ada aku tanpa tubuh. Dalam filsafat Ponty, subjek adalah tubuh itu sendiri.

 

Tidak ada yang lebih sulit dari memastikan apa yang kita lihat

 

Tubuh kita sendiri dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena terbatas oleh ruang dan waktu, maka persepsi yang dihasilkan tubuh sudah pasti terbatas. Persepsi kita terhadap dunia selalu mengandung ambiguitas serta ketidakpastian.

 

Dengan gagasan itu, Merleu Ponty pun mengkritik rasionalisme yang mengagungkan nalar, yang menganggap bahwa kita bisa menemukan kebenaran absolut. Pada kenyataannya, kita tidak bisa menemukan kebenaran absolut karena tubuh kita selalu dibatasi ruang dan waktu. Keterbatasan tubuh ini menyebabkan persepsi kita terhadap dunia selalu ambigu, Merleu Ponty menyebut konsep ini dengan lingkungan perseptual.

 

Contohnya: Di ruangan A, kita melihat gajah dan jerapah. Di ruangan B kita melihat gajah dan domba. Persepsi kita akan mengatakan gajah di ruangan A ukurannya pendek, dan gajah di ruangan B punya ukuran yang tinggi. Itu karena gajah di ruangan A disandingkan dengan jerapah, dan gajah di ruangan B disandingkan dengan domba yang jauh lebih pendek daripada gajah. Keterbatasan lingkungan, membuat persepsi kita pun terbatas. Maka persepsi, selalu berada dalam kondisi relatif, kompleks, dan penuh ambiguitas.

 

Ini tentu merupakan serangan terhadap filsafat analitis yang mengagungkan kesederhanaan dan kemutlakan kebenaran. Kita mungkin pernah mendengar pisau cukur Ockham, bahwa semakin sederhana suatu teori semakin teori itu benar adanya. Kenyataannya, menurut Ponty, dunia tidak sesederhana itu. Dunia justru penuh kompleksitas dan ambiguitas. Dan ambiguitas ini terjadi karena persepsi kita selalu dibatasi oleh ruang di mana kita mempersepsikan dunia, waktu di mana kita mempersepsikan dunia, serta dari sudut mana tubuh kita mempersepsikan dunia.

 

Menjadi pengada yang bertubuh, menjadi subjek Merleau-Ponty, adalah mengakui bahwa dunia sangatlah kompleks, penuh ambiguitas, dan paradoks. Contoh: bayangkan tangan kanan kamu menyentuh tangan kiri kamu, pertanyaannya, apakah kamu sedang menyentuh atau sedang disentuh? Ketika kamu melihat kedua tangan kamu, apakah kamu sedang melihat atau kamu sedang dilihat? Tubuh punya sifat ganda memang. Dengan tubuh aku bisa mengalami sekaligus dialami.

 

Phantom Limb

 

Yang unik dari filsuf Perancis ini, dia sering mengangkat topik-topik di dunia medis dan kedokteran untuk dibahas secara filosofis. Salah satunya adalah fenomena phantom limb, atau tangan hantu. Phantom limb adalah kondisi yang dialami oleh orang yang tangannya sudah diamputasi.

 

Katakanlah tangan kirinya sudah diamputasi, sudah buntung. Orang tersebut lalu sering merasa tangan kirinya gatal atau kadang kala dia secara spontan, menggaruk tangan kirinya dengan tangan kanannya. Padahal tangannya sudah diamputasi.

 

Fenomena phantom limb ini terjadi karena pikiran mengira anggota tubuh masih utuh. Ini menunjukan ingatan (psikologis) mengira tangan kiri kita masih ada (fisiologis). Artinya, terdapat timbal balik antara yang psikologis dan fisiologis. Ini menjelaskan kenapa psikosomatik terjadi.

 

Kasus phantom limb ini juga adalah kritik pada dualisme Cartesian yang menganggap kalau mental dan tubuh gak ada hubungannya sama sekali. Merleau Ponty justru bilang ada, buktinya, lewat lengan hantu ini.

 

Tubuh dan Dunia

 

Kita tidak mungkin punya kesadaran tanpa tubuh. Dan kita tidak bisa memahami dunia dan menjelaskan pemahaman soal dunia, tanpa konteks kebertubuhan. Misal, kita gak bisa memahami Tuhan tanpa mengandaikan Tuhan punya tubuh.

 

Know-what versus know-how

 

Lanjutan dari kritik pada Descartes, kesadaran tidak sekadar bersifat kognitif dan niskala, tapi juga bersifat psikomotorik. Ada dikotomi jelas antara know-what dan know-how.

 

Know-what itu adalah mengetahui dunia secara kognitif atau secara serebral. Contoh: Kendati kamu bisa memberi 100 proposisi mengendai sepeda, hal itu belum menjamin kamu bisa bawa sepeda. Bahkan kita bisa mengendarai sepeda tanpa tahu satupun teori tentang membawa sepeda. Ini menjelaskan kenapa atlet yang bagus belum tentu jadi pelatih yang bagus. Seseorang bisa menjelaskan sejarah komidi, tapi belum tentu bisa memainkan 3 bola di atas sepeda satu roda seperti pemain akrobat umumnya.

 

Artinya, mengetahui segala informasi tentang sepeda, tidak sama dengan mengetahui bagaimana cara mengoperasikan sepeda. Untuk know-what kita cukup hanya dengan akal budi Cartesian, tapi untuk mengendarai sepeda, kita butuh tubuhnya Merleau-Ponty. Konklusinya, tubuh punya kecerdasannya sendiri.

 

Know-how ini juga bersifat sangat subjektif. Dalam buku ini, dicontohkan soal juri masak. Seseorang boleh saja belajar gastronomi, ilmu tentang makanan, selama 4 tahun, tapi belum menjamin dia menjadi juri masakn yang handal. Chef Arnold, Chef Juna, Chef Renata, dan Gordon Ramsey tidak bisa menjadi juri masak yang hebat tanpa kekayaan pengalaman subjektif soal makanan.

 

Kesimpulan pribadi

 

Membaca Marleau-Ponty seperti kapak bagi sungai es dalam pikiranku, aku mulai menyadari betapa penting tubuhku.