Pada akhir abad ke-6 Masehi,
ketika Eropa mengalami masa-masa kegelapan (Dark
Age) dan dunia Timur Tengah sedang beranjak untuk membuat suatu peradaban
baru yang nantinya akan sangat mempengaruhi dunia Barat, suatu perdaban yang
kita kenal dengan peradaban Islam. Kelahiran dari agama monotheisme terakhir
ini menghadapi suatu tahap yang begitu penting dan disebut dengan zaman
jahiliyah atau zaman kebodohan.
Zaman jahiliyah adalah suatu
zaman yang telah mencapai tingkat kemerosotan moral pada titik yang
memprihatinkan. Degradasi moral, budaya penindasan, primodialisme, pembunuhan,
pemerkosaan, penjarahan dan sebagainya, adalah hal-hal yang sangat biasa di
dataran Arab pada masa itu. Sehingga akhirnya Islam sebagai agama penyempurna
agama-agama sebelumnya diturunkan oleh Tuhan ke dataran Arab. Seorang teman
pernah bertanya kepada saya. Kenapa Islam harus diturunkan ke dataran Arab dan
bukannya di Eropa, atau Afrika, atau Indonesia. Karena memang bila kita tinjau,
masa kegelapan di Eropa tidak sebanding dengan masa kehancuran di Arab yang
notabene adalah tanah para nabi (sekitar 125.000 nabi yang diturunkan di Timur
Tengah).
Pada zaman jahiliyah ini
semangat akan kesukuan begitu kental. Bila di Barat kita menyebut kelompok
kecil dengan kata “klan” dan kelompok besar dengan kata “suku”, di Arab tidak
ada batasan untuk kata seperti itu sehingga kelompok kecil dan besar dianggap
sebagai suatu suku. Kebaikan dari semangat kesukuan ini adalah sifatnya yang
begitu komunalistik. Seakan-akan tidak ada ruang lagi bagi yang namanya
individualisme. Semua merupakan subordinasi dari kelompok kepentingan. Untuk
menanamkan semangat komunal ini bangsa Arab mengembangkan ideologi yang disebut
ideologi murua’ah. Muru’ah diartikan sebagai keberanian dalam berperang, kesabaran
dan ketahanan dalam penderitaan, melindungi anggota yang lemah dan menghadapi
yang kuat.
Ideologi Muru’ah merupakan suatu
kemewahan terakhir yang dimiliki suku-suku Arab pada masa itu. Setiap suku di
dataran Arab masing-masing membanggakan suku mereka sendiri. Untuk melestarikan
muru’ah kelompok, tiap anggota harus menaati pemimpin mereka tanpa syarat dan
pemimpin suku harus siap untuk menderita tanpa alasan apapun. Di luar suku,
kepatuhan berakhir dan tidak ada tanda adanya hukum alam yang universal pada
perkembangan Arab di tingkat ini.
Disamping sisi positif dari
muru’ah yang telah kita urai sebellumnya, disisi lain, berdiri pula kejelekan
daripada ideologi ini. Dalam ideologi ini, untuk melindungi anggota sukunya
dari serangan, seorang pemimpin suku harus membalas tiap serangan. Di tempat
dimana hukum belum berdiri sebagai ketertiban, satu-satunya cara untuk
melindungi suku adalah dengan “vendetta” atau pembalasan dendam. Ketika salah
seorang dari anggota suku terbunuh oleh suku lain, pemimpin suku harus membunuh
anggota dari suku tersebut. Hal yang sama terjadi pada kasus yang berbeda.
Harta diganti harta, mata diganti mata, nyawa diganti nyawa.
Sebuah cara lain demi menjaga
keseimbangan kekuatan adalah dengan “ghazwu”, atau penyerbuan secara mendadak,
yang merpakan penjagalan konstan dan hampir merupakan olahraga/kesenangan
nasional (national sport). Pada masa-masa ekonomi yang sulit, para anggota
suatu suku akan melakukan penyerbuan ke wilayah suku musuh dengan harapan
mendapatkan unta, ternak atau barang-barang lain yang sekiranya berharga bagi
suku mereka. Sedangkan pertumpahan darah sangat dihindari semaksimal mungkin
agar tidak terjadi suatu vendetta. Di zaman dimana ideologi muru’ah ini
berkembang subur, penjarahan akan menjadi perbuatan tidak bermoral apabila yang
dijarah adalah suku mereka sendiri.
Pada tataran religius, para
tetua-tetua suku lebih menekankan untuk mementingkan budaya nenek moyang mereka
dibanding hal-hal yang bersifat agama seperti penyembahan berhala,
ritual-ritual, dan hal-hal lain yang bersifat mistis. Sedangkan para penyair
menyanyikan kejayaan suku, nilai Arab yang luhur, dan mengabadikannya dalam
syair-syair mereka. Berbeda dengan Islam yang pada kemudian hari menghidupkan
nilai-nilai universal, masyarakat pra-Islam malah berlomba-lomba saling
menyombongkan suku masing-masing. Sehinggga bukanlah hal yang aneh apabila
peradaban Islam sempat runtuh di sekitaran abad 14 Masehi yang tentu saja
karena nilai-nilai keislaman tenggelam dalam kebanggan dan kesombongan yang
pernah dipraktekan oleh nenek moyang mereka.
Pada tahun gajah mungkin
merupakan titik awal dimana ideologi muruah akan mencapai klimaksnya dan
seketika runtuh ditangan Rasulullah. Pada tahun gajah Rasulullah lahir dan pada
tahun-tahun selanjutnya ideologi muruah telah terkikis oleh ajaran Ilahi yang
termanifestasikan secara sempurna dalam pribadi Muhammad. Inovasi-inovasi lahir
pada zaman itu, menggantikan tradisi-tradisi lama, seperti perjanjian Madinah
yang merupakan konstitusi pertama di dunia, semangat emansipasi wanita yang
terlukiskan pada cadar Aisyah (ummu al-Mu’minin/ibu
orang-orang yang beriman), hukum humaniter Islam, kebangkitan nilai-nilai
kemanusiaan universal yang tertuang di bawah panji-panji Islam. Zaman yang
penuh dengan kekacauan (chaos) dan kebodohanpun berakhir serta tergantikan oleh
sebuah peradaban yang nantinya akan menyumbangkan pengaruh yang begitu besar
bagi dunia Barat.
0 Komentar