Oleh    Triwardana Mokoagow

I see Human..
But, not Humanity.....


Telaah serta penyelidikan tentang manusia telah dilakukan hingga berabad-abad lamanya. Pertanyaan demi pertanyaan, proses dirkursus di ruang publik, serta dialektika wacana antar ruang-waktu (spasio-temporal) senantiasa melakukan pergulatan demi memahami makna, hakikat, tujuan, serta nilai dari manusia. Memang ide dan gagasan tentang manusia bukan berarti tidak pernah ada, hanya saja tidak pernah dianggap final. Konsepsi tentang manusia senantiasa mengalami perubahan, pergantian dan atau pergeseran karena hukum ilmu yang bersifat relatif, pasti akan difalsifikasi, di kritik, didekontruksi hingga direkontruksi kembali atau bahkan dihancurkan sama sekali. Hingga hari ini belum ada yang dapat disebut final, bahkan kalaupun ada yang berkeyakinan konsep kemanusiaan hari ini final, tidak menutup kemungkinan dikemudian hari akan terjadi perubahan atau kontekstualisasi atau pengembangan terhadapnya. Karena teknologi serta paradigma senantiasa berubah beriringan dengan semangat zaman (zeitgeist) yang berubah. Namun disisi lain bisa juga kita katakan konsep kemanusiaan hari ini bersifat final sekaligus relatif. Final bila dilihat dari sisi filosofis/abstrak/tataran nilai (value)-nya. Dan disebut relatif bila dilihat dari segi konkritisasi, implementasi, rekontekstualisasi, aplikasi, eksternalisasi maupun ekstentifikasinya.
Seorang filsuf di era Yunani Kuno, mengatakan bahwa manusia adalah ukuran dari segala sesuatu. Dalam artian, sesuatu tidak akan memiliki nilai atau makna sama sekali tanpa adanya persepsi dan konsepsi dari manusia. Akua secara fisik hanyalah plastik, tapi bila dihadapkan dengan manusia sebagai sang pengamat, plastik tersebut memiliki ide tentang akua. Di era awal kemajuan teknologi yang paling mutakhir, di pintu gerbang Renaisains, peradaban manusia mulai mengembangkan teknologi canggih akibat doktrin Francis Bacon. Bahwa tujuan manusia adalah menguasai alam. Dalam bidang gerakan filsafat yang juga menjadi salah satu gerakan intelektual di era itu, Descartes mengutarakan: Aku berpikir, maka aku ada! (cogito ergo sum / I think, hence I am). Hegemoni doktrin-doktrin tersebut telah mengangkat superioritas manusia sebagai subjek dan selain manusia adalah objek. Kecenderungan antroposentrisme ini, kemudian melahirkan potensi-potensi individualisme, eksploitasi, keserakahan, akumulasi modal pribadi, serta efek-efek destruktif lain. Pandangan tentang kekhawatiran umat manusia terhadap fenomena yang akan terjadi lebih lanjut, kemudian menginisiasi para intelektual untuk menelaah kembali posisi manusia. Manusia yang awalnya berupa subjek, kemudian dijadikan objek. Investigasipun dimulai.
Pada kemudian hari, telaah tentang manusia dalam konteks relasi antar manusia maupun antar alam kembali mendapat perhatian. Yakni dengan melakukan deobjektivikasi, menyamaratakan semua posisi tersebut sebagai subjek. Berbagai konsep lalu lahir mengulas ide tentang manusia. Kita memahami bahwa manusia adalah mahluk paling unik, yang di dalam agama ditempatkan tempatnya sebagai yang paling luhur di muka bumi (khalifah fil ardh). Kita sering mendengar istilah Hak Asasi Manusia, bahwa manusia memiliki hak dasar yang tak dapat diganggu gugat. Kita tidak pernah dengan istilah Hak Asasi Anjing, atau Hak Asasi Babi. Kita juga mengenal istilah memanusiakan manusia. Kurang manusia apa lagi kita, sehingga perlu dimanusiakan? Aku teringat pernyataan yang lupa disebutkan siapa, bahwa dia melihat manusia tapi tidak melihat kemanusiaan. Bahwa manusia dan kemanusiaan itu ternyata berbeda.
Dalam bingkai wacana, penelitian manusia dalam konteks relasi dengan mahluk lain ternyata menghasilkan beragam interpretasi yang masing-masing sesuai dengan disiplin ilmu atau aliran pemikiran yang menafsirkannya. Hal ini sangat lumrah terjadi sebab tiap orang dan kelompok memiliki cakrawala pengetahuan yang berbeda-beda. Bagi kelompok rasionalisme dan kognitifisme, manusia adalah binatang yang berpikir. Bagi kelompok hermeneutika, manusia adalah mahluk penafsir (interpreter being). Bagi mereka yang menekuni antropologi, manusia adalah binatang simbol (anymal syimbolicum). Karen Armstrong, seorang sejarahwan agama mempredikatkan manusia sebagai mahluk yang tidak bisa hidup tanpa kepercayaan (homo religius). Mereka yang tergabung dalam aliran pemikiran behaviourisme dan empirisme, menganggap manusia sebagai mahluk mesin yang senantiasa dipengaruhi lingkungan (homo mechanicus). Manusia juga disebut mahluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain (homo homini socius) atau binatang politik (zoon politicon) menurut Aristoteles. Bagi Thomas Hobbes dalam Leviathan, manusia senantiasa terjerat konflik dengan yang lain (homo homini lupus). Dalam terminologi Al-Quran, manusia diklasifikasikan dalam tiga istilah berbeda yakni bashyar (manusia sebagai mahluk biologis), insan (manusia sebagai mahluk spiritual), dan an-naas (manusia sebagai mahluk sosial).
Dari berbagai klaim atas apa yang disebut manusia, kita memahami kompleksitas dan daya tarik dari manusia. Seakan ada sebuah misteri yang bersemayam dalam objek ini, dalam diriku dan dirimu juga dalam diri kami dan mereka; kita. Lantas, kenapa kajian ini menjadi begitu penting? Kenapa nalar kita jadi gatal untuk menelanjangi konsep ini? Kenapa kita harus memahaminya? Untuk apa? Ada latar belakang apa serta motif apa yang terpendam dalam perjalanan umat manusia memahami diri mereka sendiri? Berangkat dari kegelisahan tersebut, muncullah teks ini sebagai perantara yang mengantarkan buah pemikiranku pada kalian yang sulit terjamah lewat sekadar tatap muka dan tutur lisan.

Hakekat Manusia

Dengan membaca secara sepintas pelbagai konsep manusia dari berbagai kalangan, akan sangat mudah untuk menyimpulkan bahwa tampaknya tidak ada satu kesimpulan yang pasti mengenai pertanyaan: apa itu manusia? Tetapi apakah benar demikian? Bahwa nilai kebenaran dari berbagai pendapat tersebut bisa saja salah satunya benar dan lain salah, atau bisa saja salah semuanya. Juga tidak menutup kemungkinan jika semua pendapat tersebut benar tergantung dari konteks apa yang dibicarakan. Barangkali karena faktor inilah pembicaraan tentang manusia senantiasa menarik, karena aspeknya yang begitu luas untuk digali sehingga bisa dipahami dengan kacamata berbeda-beda.
Hanya saja lewat teks kali ini, yang mungkin begitu singkat dan kurang padat, adalah hal yang muskil bilamana membahas satu persatu aspek tersebut secara mendetail serta relevansinya satu sama lain. Hanya dengan melacak serta membongkar “apa itu manusia” secara fundamental, maka (semoga) teks ini bisa menjadi lebih sederhana dan tidak berbelit-belit karena tidak terlalu luas  cakupannya. Hal ini hanya bisa diawali jika dan hanya jika kita melontarkan satu pertanyaan umum: “apa definisi dari manusia?”.
Mendefinisikan artinya membatasi suatu penjelasan untuk tidak terlalu luas dan terlalu sempit, sehingga maknanya bisa dipahami dengan mudah. Beberapa orang masih mendefinisikan sesuatu sesuai dengan akar bahasanya. Hal ini lumrah apabila dilakukan demi kepentingan akademis, melacak latar belakang historis dari suatu kata. Akan tetapi ketika hasil definisi itu dipakai sebagai pegangan, maksudnya definisi tunggal, maka deskripsi tentang objek yang didefinisikan akan menjadi keliru dan kehilangan konteksnya. Contohnya, kata sosiologi secara akar bahasa adalah ilmu tentang pertemanan. Ekonomi secara harfiah adalah tentang rumah tangga. Sedangkan bila dibandingkan dengan konteks hari ini, definisi kata tersebut (sosiologi dan ekonomi) tidak memiliki padanan yang jelas dengan apa yang dibicarakan dalam kata itu (sosiologi dan ekonomi). Argumen ini seringkali saya utarakan ketika bertemu dengan orang yang demikian, dengan menjadikan definisi harfiah sebagai satu-satunya model memahami kata, orang tersebut seakan-akan hidup dan terjebak dalam masa lalu sehingga mengalami kebutaan dihadapan konteks. Namun kita cukupkan saja pembahasan ini untuk menyambung kembali ke pokok gagasan.
Kembali ke manusia. Mendefinisikan manusia, dengan demikian, adalah melacak esensi, “ke-apa-an” yang melekat pada diri manusa. Esensi tersebut adalah unsur-unsur pembentuk persepsi tentang manusia, yang membuatnya berbeda dengan mahluk lain. Dalam logika, hal ini disebut sifat pembeda (differentia). Benarkah bahwa definisi manusia adalah mahluk yang berbelalai dan bertelinga lebar? Benarkah bahwa manusia adalah tempat yang digunakan untuk orang duduk? Ketika kita melihat seekor burung hantu hinggap di ranting, apakah kita akan mengidentifikasinya sebagai manusia? Ketika kita melihat batu di jalanan, apakah batu itu dapat disebut manusia? Tentu saja tidak. Sekelumit pertanyaan tadi merupakan isyarat bagimu, bahwa dalam mendefinisikan sesuatu, maka kemampuan yang juga harus dikuasai adalah dalam bidang klasifikasi.
Klasifikasi adalah pengelompokan barang yang sama dan memisahkannya dari yang berbeda menurut spesiesnya. Dalam kehidupan sehari-hari pekerjaan mengelompokkan semacam itu sangat sering kita lakukan. Para penjual buah-buahan menyusun dagangannya dengan beberapa cara, berdasarkan macam buah yang dijual, berdasarkan harganya, dan mungkin pula berdasarkan besar kecilnya buah-buahan itu. Pemilik toko menyusun barang-barang yang dijajakan berdasarkan barang sejenis. Manusia primitif mengelompokkan binatang menjadi binatang berbisa dan tidak berbisa. Dan lain sebagainya. Perlu diketahui bahwa mendefinisikan juga dapat dirumuskan dengan mencari kelas jenis (genus) dan sifat pembeda (differentia) dari kata yang hendak didefinisikan, yang kedua hal tadi dapat dengan mudah kita temukan ketika menguasai konsep klasifikasi.
Sekarang tugas kita bersama adalah, mencari melacak esensi dengan menemukan kelas jenis dan sifat pembeda dari kata manusia. Maka bila kita gunakan kekuatan berpikir kita, dapat digolongkan ke dalam jenis apakah manusia ini? Pengetahuan tentang hal tersebut hanya dapat ditemukan tatkala kita berhasil mengabstrasikan sifat dasar atau sifat umumnya yang juga banyak dimiliki oleh hal lain selain dirinya. Sifat umum yang melekat pada manusia adalah kebutuhan dan dorongan baik biologis maupun psikologis. Seperti halnya makan dan minum, seks, keseimbangan suhu, istirahat dan tidur, bernapas dan lain sebagainya. Dengan mencermati secara seksama, maka akan kita dapati bahwa semua ciri-ciri tersebut hanya dapat ditemukan pada kelas jenis binatang.
Selanjutnya adalah menentukan sifat pembeda (differentia) dari manusia dibandingkan jenis binatang lain (anjing, babi, kucing, monyet etc). Hal ini dilakukan dengan membandingkan ciri khas, esensi, sifat ke-apa-an yang tidak dimiliki oleh jenis binatang apapun selain manusia. Apakah ciri tersebut? Hal apa yang tidak melekat pada anjing, babi, kucingmu dirumah, kecoa, tikus, laba-laba, buaya, dan binatang lainnya? Apakah semua hewan tersebut dapat menciptakan teknologi? Kenapa mereka dari zaman dulu sampai sekarang tidak pernah malu telanjang? Kenapa sarang burung selalu itu-itu saja, sedangkan manusia bisa mengembangkan rumah mereka yang pada mulanya berupa goa hingga berevolusi menjadi gedung-gedung pencakar langit bahkan. Pasti ada satu hal yang luput dimiliki oleh binatang lain selain manusia, yang membuat manusia diistimewakan Tuhan, yang membuat manusia pantas sombong atas segala sesuatu ciptaan-Nya baik di bawah langit maupun di atas bumi. Esensi tersebut tidak lain tidak bukan adalah, akal.
Dengan uraian bertele-tele tadi, ditemukanlah apa yang kita cari-cari. Definisi manusia seyogyanya adalah binatang yang berakal, atau binatang yang berpikir, atau animale rationale. Beberapa orang mungkin akan merasa ada yang salah atau mungkin ada yang luput dari definisi ini. Sebelum kalian mengomentari hal tersebut, izinkan saya mencoba membacaca pikirnmu dan menjawabnya terlebih dahulu. Pertama, apakah benar kita adalah binatang Yo? Bukankah dalam kehidupan normal kata “binatang” memiliki konotasi bahwa itu hanya dipredikatkan pada anjing dan babi serta keluarganya yang sama jenis? Apakah kamu akan rela dan ikhlas jika di dalam keramaian, di tengah orang-orang terhormat aku berteriak dengan memanggilmu: “Hey Tyo, sang BINATANG, coba lihat aku!”. Apakah kau bisa tanpa emosional dan masih memasang wajah tenang memandangiku dan menjawab teguran temanmu ini?
Jawabanku: Yah tentu saja. Di tengah-tengah keramaian itu, meskipun aku dikerumuni presiden dan orang terkaya di dunia, ataupun sedang mengobrol dengan nabi sekalipun, aku akan menoleh padamu teman. Dan aku melakukan itu tanpa ragu, rasa malu, cemas, khawatir, ataupun tanpa amarah sekalipun. Itu karena aku menanggapi teguranmu dengan akalku yang rasional, bukan dengan emosi yang sifatnya sangat fana dan semu. Lalu kenapa predikat binatang pada manusia begitu asing dan tidak wajar dalam kehidupan sehari-hari? Karena bahasa sejatinya adalah konsensus sosial (hasil kesepakatan antara masyarakat), sehingga baik buruknya bahasa tergantung penggunaan kata tersebut dalam kesehariannya. Karena kita terlampau sering mendengar atau menuturkan anjing sebagai binatang dan kucing sebagai binatang sedang kita begitu jarang menyebut Tyo sebagai binatang, Lina sebagai binatang, kebiasaan itulah yang menumpuk di alam bawah sadar kita dan secara otomatis mengarahkan kita untuk memvonis manusia dikecualikan dari binatang. Dalam disiplin evolusi biologi, para ahli telah membuat suatu sistem klasifikasi semua mahluk yang telah mendapat tempat sewajarnya berdasarkan atas mrfologi dan organismenya. Sama halnya dengan beribu-ribu macam makhluk lain, manusia juga menyusui keturunannya; dan berdasarkkan atas ciri itulah manusia dikelaskan bersama makhluk-makhluk lain tersebut ke dalam satu golongan, yaitu kelas binatang menyusui, atau mamalia.
Komentar lain yang kuramalkan mungkin muncul adalah: kedua, apakah dengan menyepakati dan menggunakan konsep bahwa manusia adalah keluarga binatang lewat doktrin-doktrin evolusi biologis, telah menjadikan anda sebagai pengikut Darwinisme?
Jawabanku: Tentu saja mengikuti pendapat teori evolusi biologi tidak kemudian mengharuskan kita menyepakati semua pemikiran Darwin tentang evolusi. Sebagai bapak biologi modern sebelum digantikan oleh Edward Wilson berpuluh-puluh tahun kemudian, teori Darwin tentang konsep evolusi telah berkecambah, beliau telah menenggelamkan dunia dalam hasutan intelektualnya, tatkala konsep tersebut dapat secara frontal menebar ketakutan otoritas gereja. Tapi, di sisi lain yang lebih masuk akal dan wajar, adalah paradigma yang berhasil disumbangkan Darwin kepada sejarah ilmu pengetahuan terutama berkaitan dengan paradigma, epistemologi dan metodologi ilmiah. Saya selaku pribadi menerima beberapa aksioma yang diutarakan oleh Darwin dan para pengikutnya, salah satunya konsep tentang bertahan hidup (survive), tapi tidak ujug-ujug menjadikan saya seorang Darwinisme. Karena bagiku, mengagumi pemikiran seorang tokoh tidak mengharuskan kita mengkultuskannya dan memberhalakan semua wacananya, tetapi jauh lebih luhur dari itu, sikap yang utama dan paling terhormat di mataku adalah keberanian memberikan kritik, dan membuktikan letak kecacatan dan kesalahan tokoh yang kita kagumi tersebut; hanya dengan begitulah mungkin aku bisa disebut Darwinisme. Karena mungkin bila Darwin bangkit dari kuburnya, dan mempresentasikan kembali teori evolusi kera menjadi manusia yang hingga hari ini belum terpecahkan missink link (misteri mahluk penghubung antara manusia dan kera yang sejatinya hanyalah mitos atau fiksi ilmiah) sejauh 12.000 tahun lamanya, di hadapan para filsuf dan ilmuwan setelah kematiannya yang hingga hari ini putus asa, adalah sangat mungkin Darwin bisa saja menjilat ludahnya sendiri (baca: menarik kembali buku the origin of speciesnya dari peradaban). Karena kalau benar semua kera yang pada awalnya timbul dari evolusi mahkluk pongo, keluarga Hominid Gigant-anthropus menjelma menjadi manusia seperti model kita ini, kenapa kera-kera tersebut masih eksis sampai sekarang? Bukankah dia sudah harusnya ikut berubah jadi manusia juga? Kalau begitu, dengan demkian, saya mengakui bahwa saya adalah binatang dan menyepakati teori evolusi meski tidak sepenuhnya, akan tetapi saya bukanlah Darwinisme yang mengakui bahwa nenek moyang manusia adalah monyet. Selengkapnya baca saja disini http://triwardanamokoagow.blogspot.com/2013/09/teori-evolusionisme-darin-sebuah-fiksi.html
Ketiga, kau mengatakan bahwa manusia adalah binatang rasional, lantas apakah itu artinya, definisi yang kau berikan meluluhlantakkan kebenaran mengenai pandangan para ahli dalam kelompok lain ketika mendefinisikan manusia? Ketika kau mengatakan manusia adalah mahluk berpikir, bukankah pada saat itu kau menolak konsep bahwa manusia adalah mahluk religius, mahluk sosial, mahluk yang berkecenderungan turut dalam konflik, mahkluk yang dipengaruhi oleh lingungan, mahkluk prudensial dan lain sebagainya? Apakah berarti definisimu paling benar dan yang lainnya salah?
Jawabanku: Dalam paparan di atas sebelum menguraikan panjang-lebar mengenai definisi manusia, sudah kuutarakan bahwa nilai kebenaran dari pernyataan para ahli bisa saja sangat relatif. Dan yang coba aku lakukan hanyalah memberikan jawaban yang sekiranya fundamental dari semua itu, bersifat grossroot, mendasar. Bahwa, bukankah peperangan nuklir, sistem sosial yang ada, sintaksis atau tata bahasa yang telah mapan, metodologi ilmiah, mahzab-mahzab dalam agama, ijtihad, proses imitasi seseorang terhadap artis yang dia kagumi, tidak lain tidak bukan hanya dan hanya jika, dapat dilakukan oleh sesuatu yang memiliki kesadaran (consciousness) yakni manusia selaku pemangku akal, yang digadang-gadang sebagai ukuran dari segala sesuatu, yang dalam dirinya memiliki mahkamah dengan otoritas penuh menjustifikasi mana benar dan mana yang salah. Dengan demikian ketika aku mengatakan mengatakan manusia sebagai animale rationale, bukan berarti aku mendeklarasikan diri sebagai rasionalis dan menolak gerbong-gerbong pemikiran lainnya. Karena mengakui manusia sebagai binatang yang berpikir juga mengakui bahwa manusia adalah zoon politicon, anymal symbolicum, the interpeter being, homo religius, homo mechanicus, homo homini lupus, homo homini socius,  dan homo-homo lainnya... Dengan demikianlah, bahwa artinya, manusia sebagai binatang berpikir telah mencangkupi atau melingkupi semua konteks manusia dalam definisi serta jajak gagasan diatas.
Keempat, kenapa kau harus bertele-tele menyampaikan hal ini pada kami? Kenapa tidak langsung to the point saja? Kenapa tidak kau sederhanakan saja biar yang belum terbiasa membaca teks seperti ini, bisa dapat memahaminya dengan mudah? Kenapa tidak kau rubah gaya pendeskripsianmu dengan gaya yang lebih populis? Kenapa harus nyangkut sana-sini? Kenapa berbicara definisi harus diawali terlebih dahulu dengan penguasaan terhadap klasifikasi? Kenapa tadi, pada saat menjelaskan definisi, secara sewenang-wenang sesuka hatimu memalingkan konsentrasi kami pada gagasan teks ini yang seharusnya membicarakan manusia malah menjadi membicarakan jenis-jenis definisi yang mungkin sedikit melenceng dari apa yang seharusnya kamu tuliskan? Kenapa kau harus memaksa kami untuk menyusuri belokan-belokan tajam, tikungan, serta jalan yang terjal dan berliku sedangkan ada jalan lain yang lebih pintas untuk mencapai kesimpulanmu yang ternyata hanya sederhana saja? Kenapa bahasamu begitu asing di beberapa temanku, kenapa tidak kau rubah saja gaya formasi kalimatmu supaya lebih mudah dipahami, lebih membuat orang banyak tertarik, dan mengunjungi blogmu sesering mungkin? Kenapa struktur tulisanmu tidak berjalan lurus saja, karena sampai pada paragraf ini aksaramu masih saja berlaku arbriter, sewenang-wenang, tumpang tindih dan cenderung aforistik?
Jawabanku: Dalam etika Aristoteles (etika Eudaimonia), hanya orang yang menyusuri perjalnan panjanglah yang ketika telah sampai pada tujuannya dan beristirahat tenang, yang dapat memiliki kepuasan serta kebahagiaan tiada tara dibandingkan seorang pejalan kaki yang beli rokok marlboro merah di warung depan gank kosannya berjarak 100 meter. Hanya seorang pendaki yang kecapekan, bermandikan peluh keringat, yang energinya terkuras hampir habis, yang kakinya letih, menyusuri tikungan-tikungan gunung yang terjal nan berliku, yang dapt dengan penuh kesadaran mengklaim dirinya mahkluk paling bahagia bahwa dialah ciptaan yang paling istimewa dari apa saja yang telah diciptakan Tuhan, tatakala perjalanan panjang dan kelelahan itu terbayar dengan kecantikan Fajar yang begitu mempesona kecantikannya, yang hangatnya bahkan dapat kau rasakan menyelinap pelan-pelan ke dalam pori-pori kulitmu, seakan-akan cahaya yang teduh dan menyilaukan itu dapat memeluk hatimu dan menggenggam jiwamu, lantas kau bersyukur telah dilahirkan di dunia dan melupakan semua kelelahanmu. Hanya orang yang berani bergulat dengan penderitaan tatkala berada dalam proses meraih apa yang ingin dia capai, yang pantas menerima kebahagiaan. Poinku adalah: hanya orang yang berani mengambil resiko dan bergulat dengan jebakan-jebakan teksku, membongkar, mengobrak-abrik teks ini hingga menemui makna (pesan yang aku ingin kalian tangkap), yang pantas memahami kebahagiaanku ketika tengah menulis teks ini!
Selain alasan diatas, ada satu hal lagi yang aku ingin kalian pahami secara seksama. Bahwa dengan membimbing kalian membaca labirin teks ini, meskipun artinya ada resiko menemui jalan buntu atau ketersesatan sebelum mencapai kesimpulanku, bahwa dengan bimbingan itulah aku secara tidak langsung, tengah membuatmu lebih berkonsentrasi dan mempertahankan ketajaman akalmu untuk mencerna dan menalar teks-teks tadi. Semakin kau jeli menganalisa, semakin kau cermat menarik anasir-anasir yang, semakin cepat dan kuat aktivitas pikiranmu, semakin aku bangga telah menyuguhkan teks sederhana ini; semakin membenarkan kesimpulanku, bahwa definisimu dan definisiku tentang manusia, adalah binatang yang berpikir, binatang yang bernalar, binatang yang berakal budi. Dengan kata lain, kerumitan yang sengaja didesain tadi hanyalah semacam perangkap interior dengan harapan pembaca bisa tidak hanya memahami ini secara teoritis tapi juga secara demonstratif. Apa yang anda pahami, dan apa yang anda lakukan sedari tadi, senyum kecil yang anda tarik ke pipi anda saat ini, telah menyempurnakan hakekat manusia sebagai nama sub-teks ini, karena itu artinya anda telah lolos dari cengkeraman sintaksisku karena berhasil menjadi mahluk yang rasional, yang menggunakan nalarnya dengan benar dan tepat sehingga memahami (bahkan lebih bagus lagi apabila menemukan ruang kosong sebagai kritik) kalimat-kalimat diatas. Melalui uraian panjang diatas agaknya kita patut menyepakati bahwa kau adalah pikiranmu, selebihnya hanyalah daging dan tulang belulang(Jalaludin Rumi). Dengan demikian anda lolos, dan mendapatkan tiket untuk melanjutkan ke sub­-teks selanjutnya:

BINATANG BERPIKIR DAN KEBEBASAN


Selaku binatang yang berpikir, maka sudah merupakan keinsyafan bersama, bahwa tindakan yang dibuat oleh manusia haruslah menurutkan kesadaran. Hanya orang yang berpikir secara otonom-lah, memiliki kesadaran secara total dan penuh atas apa yang dia pikirkan, apa yang dia kehendaki, apa yang dia yakini, apa yang dia sikapi dan apa yang dia perbuat. Aktivitas berpikir telah menganugerahkan manusia kemampuan untuk secara bebas menentukan hal tersebut, aktivitas berpikir telah menjadi mahkamah yang berada di atas dorongan seksual dan psikologis mengenai pelbagai hal yang sukar maupun tidak sukar tentang dirinya sendiri. Hanya dengan berpikirlah, manusia dapat bertindak bebas. Itulah yang membedakan kita dengan mahkluk lain. Gerakan hewan yang sedang mencari mangsa di hutan belantara di bawah terik siang matahari, digerakan oleh dorogan biologis untuk mengenyangkan perutnya dengan manyantap sang mangsa. Akan tetapi manusia tatkala lapar, dia bisa saja mengambil keputusan untuk menunda makan meski sudah keroncongan, dia masih saja dengan sadar dan penuh keinsyafan berpuasa 30 hari lamanya di bulan suci Ramadhan. Apakah anjing menyadari bahwa dirinya anjing? Bagaimana dengan manusia? Tentu saja kita menyadari diri kita manusia, dan plusnya lagi kita dapat menyadari eksistensi maklhuk lain selain manusia disekitar kita. Dapatkah ikan bunuh diri karena tidak bisa berenang? Dapatkah burung merpati bunuh diri karena depresi ditelantarkan orang tuanya entah kemana? Dapatkah seorang simpanse mengiris-iris nadi di pergelangan tangannya ketika melihat istrinya digauli oleh seekor kera yang entah datang darimana? Tentu saja tidak, manusia, yang membuatnya istimewa adalah kesadaran yang berakar secara langsung dari kemampuannya berpikir rasional, logis, terarah, terukur, bernalar sehingga bisa melahirkan keputusan-keputusan yang bahkan berseberangan dengan dorongan seksual yang menggebu-gebu (baca: hawa nafsu/syaitan). Karena itulah kita diistimewakan dibandingkan binatang jenis lain.
Lewat aktivitas berpikir inilah manusia yang lahir dari perut ibunda dan dibesarkan oleh alam raya serta sistem sosial yang ada, yang dalam pandangan kaum eksistensialis, mengalami momen keterlemparan ke dalam ruang hampa. Manusia kemudian menafsirkan dunia dan menangkap nilai-nilai yang menjerat umat manusia secara tembus pandang. Manusia menyusun kepingan-kepingan makna dalam tarian simbol dan tanda yang berserakan, memunggutnya, menysunnya, menghancurkannya, dan bahkan menciptakannya kembali. Manusia inilah yang dalam bahasa Jacques Lacan, adalah bayi yang tengah bercermin, mencoba mengidentifikasi diri dan dunianya. Yang dalam bahasa Kaum Empirikal-Behaviouristik tentang proses imitasi, yakni peniruan anak terhadap perilaku di sekitarnya. Proses belajar tersebut, yang dapat ditempuh baik lewat persepsi inderawi, penalaran, maupun penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) bagi kelompok mistikus, adalah proses yang wajib dijalani dirinya agar dia bisa menyadari secara penuh bahwa dia sebagai mikro-kosmos, tengah bersentuhan, berkomunikasi, berinteraksi, bertatap muka dengan mahluk lain yang sama halnya mikor-kosmos atau dalam sekup yang lebih luas makro-kosmos (jagad raya).  Agaknya, inilah yang menyebabkan agamaku mengenal konsep habluminannass (hubungan horizontal manusia dan manusia), habluminallah (hubungan vertikal manusia dan Tuhan), dan hablumin bi’ah (hubungan horizontal manusia dengan lingkungan/alam).
Lewat kesadaran bahwa dunia “aku” terhubung dengan dunia “selain-aku”, bahwa duniaku selaku Tyo berbeda dengan dunia kalian. Mungkin saat ini kalian ada di Ethiopia, bisa saja di Amerika, atau di Kotamobagu, Bolaang Mongondow, Bandung, Jogjakarta, dan lain sebagainya. Jarak (distance) inilah yang kemudian membuatku secara sadar lewat aktivitas berpikir, menentukan sikap apa yang harus kuambil dan tidak kuambil ketika aku sedang berinteraksi denganmu (entah secara tatap muka, videocall, via SMS, BBM, Path, IG, telepon, chat dll).
Misalnya: Ketika terjadi kontak antara aku dan kau yang secara kebetulan berpas-pasan di jalan ketika kita sedang menyusuri jalan Sinindian. Muncul seabrek opsi yang harus kuputuskan saat itu. Katakanlah: (1) menyapamu; (2) mengacuhkanmu; (3) pura-pura tidak melihat, dan atau; (4)pura-pura mati. Aku sebagai manusia, menggunakan bakatku yakni berpikir untuk memilah secara cepat dan responsif, hal mana dari pilihan tersebut yang harus aku lakukan. Dalam keadaan tersebut tidak ada paksaan apapun yang mendorong aku untuk harus mengacuhkanmu sama sekali, tidak ada paksaan dari siapapun agar aku harus menyapamu saat itu. Tapi toh aku tetap saja memilih salah satu darinya. Inti dari demonstrasi singkat ini adalah bahwa, konsekuensi logis dari kamu yang berpikir, adalah dapat secara bebas memilih apa yang hendak kau perbuat.
Lalu bagaimana bila dibandingkan dengan kucing, yang ketika dengan coolnya lewat, terkejut oleh kehadiran tikus di lobang sebelanya berjalan. Kucing tersebut mengejar tikus tersebut secara garang dan membabi buta. Apakah mekanisme keputusan, berpikir dan kebebasan memilih terjadi dalam kasus kucing ini? Tentu saja tidak. Sebab hewan (binatang selain manusia), dikuasai oleh dorongan biologis mereka (kebutuhan untuk makan ketika lapar), dan tidak memiliki kebebasan untuk menolak atau menekan kebuthuhan mereka tersebut. Kita melihat manusia bisa menekan, menolak bahkan mengontrol dorongan biologis dalam diri mereka lewat ritual puasa misalnya. Tapi apakah kau pernah melihat anjing tetanggamu ikut sahur dan mengontrol laparnya hingga bedug magrib terdengar diseantero kota? Dengan demikian, hanya manusialah yang dapat secara bebas dan penuh kesadaran melahirkan keputusan atas apa yang dia lakukan.
Karena manusia secara bebas dapat menentukan sikapnya, dan merupakan hal yang penting bagaimana proses interkasi antara manusia dan manusia lain atau sesuatu yang lain itu dapat berjalan dengan baik, maka manusia, sebagai mahluk eksistensialisme (senantiasa memberikan nilai pada tindakannya), kemudian membuat rambu-rambu atau batas-batas sampai mana dan dalam kondisi-situasi-tempat-waktu seperti apa maka interaksi itu dikatakan baik, produktif, dan saling menguntungkan satu sama lain entah secara materi maupun immateri. Dalam bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami, rambu-rambu ini disebut dengan norma, nilai, atau ETIKA. Idealisasi terhadap model interaksi tersebutlah, kemudian memancing para filsuf serta ilmuwan menyumbangkan berbagai gagasan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Cak Nur (Nurcholis Madjid), meski bukan yang pertama, tapi di Indonesialah beliau mempopulerkan terminologi manusia yang hanif (jujur, ikhlas, terhormat, baik, ideal, etc). Bahwa manusia dalam tiap lini kehidupannya, harus mencondongkan dirinya untuk menggandrungi kebenaran, kebaikan, serta keadilan sebagai kewajiban dan hak asasi (dasar/fitrhawi). Dalam konsep lain, Nietzche mengutarakan sebuah pandangan bahwa manusia yang baik adalah manusia super (Ubermansch) yang mungkin dalam wawasan nusantara kita, sering disebut sebagai Satrio Piningit. Meskipun begitu, barangkali saya sempat mengkritik konsep Ubermanschnya Nietzche pada http://triwardanamokoagow.blogspot.com/2015/05/manusia-sebagai-homo-religius-sebuah.html
Nah, kembali lagi ke pokok gagasan. Maka ditemukanlah relevansi antar manusia, berpikir dan kebebasan. Bahwa kebebasan hanyalah dimiliki oleh mereka yang berpikir, yang secara sadar mengaktifkan gerakan akalnya. Apakah manusia yang tidak waras (maaf: orang gila) adalah orang yang tidak menggunakan akalnya? Tentu saja, ketika dia sudah berani bertelanjang dan tindakannya dikuasai oleh dorong hewani (dorongan biologis), ngeseks di jalan raya, makan kotoran sapi, dan hal-hal lain yang mampu memberikan kenikmatan fisik tanpa mampu dikontrol sama sekali. Hanya pada orang yang gilalah kita menemui hal-hal demikian, maka karena itu mereka tidak memiliki kebebasan untuk bertindak sebab tindakan telah dikuasai oleh hasrat biologis (hawa nafsu). Tiada kebebasan bagi yang tak berpikir.
Selanjutnya, konsekuensi dari orang yang bebas, adalah dia harus mempertanggungjawabkan kebebasannya. Sebagaimana yang diutarakan di atas, kemustahilan manusia untuk hidup sendirian di ruang hampa, menyebabkan interkasi menjadi suatu hal yang paling logis untuk dilakukan. Akan tetapi yang membedakan kita dengan hewan adalah, kita memiliki sistem nilai dan sistem kepercayaan tertentu, yang pada gilirannya menciptakan tatanan sosial yang mapan, menciptakan peradaban. Hal itu ditunjang oleh bagaimana idealnya manusia bersikap terhadap dirinya dan individu lain. Hal inilah yang dikontrol oleh etika, karena apabila kebebasan seseorang merampas kebebasan yang lain, maka yang terjadi adalah perang semua lawan semua (bellum omnium contra omnes) dan hanya membuat kita yakin bahwa nubuat Thomas Hobbes tentang manusia sebagai serigala bagi yang lain (homo homini lupus) adalah fakta ilmiah yang tak terbantahkan, dan negara ini tidak lebih dari tanah Leviathan! Dengan adanya potensi konflik yang disebut tadi, maka beramai-ramai filsuf memecahkan kebuntuan dengan membuat konsep tentang negara, monarki, kerajaan contract social, hukum positif, birokrasi administrasi, sistem politik dan lain sebagainya. Hanya untuk menjaga satu hal yang pasti dan tidak dapat diganggu gugat, bahwa kebebasan seseorang adalah hak yang luhur dan agung untuk dilindungi yang tiada siapapun bisa merampas itu darinya. Meskipun aku masygul, betapa ironisnya negeriku, dalam beberapa hal, malah negaralah yang merupakan aktor utama dari kekerasan, diskriminasi, serta berperan selaku teroris yang acapkali menindas dan merampok warganegaranya.

EPILOG: AKU MELIHAT MANUSIA, TAPI TIDAK KEMANUSIAAN...


Setelah menguras waktumu, sudah dekatlah kita di penghujung jalan sebelum perpisahan menandai berakhirnya dialektika antara kau (penafsir), teks dan aku (pengujar). Mungkin ada beberapa hal yang patut kusampaikan selaku closing statment dalam episode pertemuan kita kali ini. Lewat rumus deduksi, dengan pendekatan silogisme, akan kita rangkai begini: (1) Manusia adalah binatang yang berpikir; (2)Konsekuensi logis dari berpikir adalah kebebasan, maka; (3)manusia adalah mahkluk yang bebas.
Selanjutnya, ikuti dan camkan langkah-langkah berikut ini: (1)manusia adalah mahkluk yang bebas; (2)kebebasan dibatasi oleh moralitas (nilai tentang kebaikan) dan etika (bagaimana mengaplikasikan kebaikan tersebut), maka; (3/kesimpulan) manusia adalah mahkluk yang dibatasi oleh moralitas dan etika.
Dengan demikian, wacana tentang manusia dan kemanusiaan telah mengerucut pada ujung yang tajam dan jelas. Bahwa “kemanusiaan” sebagai imbuhan yang menyatakan kondisi manusia secara abstrak-filosofis (das sollen), yang menjadi kata sifat menandai bagaimana harus manusia disifati. Kemanusiaan adalah sifat yang menghormati moralitas sebagai sesuatu yang luhur dan sakral, yang telah ditafsirkan dalam berbagai jenis filsafat etika oleh pendahulu kita. Frans Magnis Suzeno mengeluarkan Etika Jawa, Aristoteles menawarkan etika eudaimonisme, Epicurus menawarkan etika hedonisme, Immanuel Kant menawarkan etika Deontologis, Murdoch menawarkan Etika Kepedulian, Levinas menawarkan Etika Transedental (tajjali), Islam menawarkan Etika Kolektifisme (keadilan sosial), Protestan lewat pengaruh Calvinisme menawarkan Etika Kapitalisme (bukan maksud mendiskreditkan, baca dulu buku Etika Protestan Max Weber), dan lain-lain yang teramat banyak untuk dijelaskan secara rinci dan gamblang dalam teks ini.
Yang jelas, meskipun mereka berbeda pandangan dan menawarkan konsep yang agaknya terlihat berbeda karena perbedaan latar belakang geografis, politik, sosial, historis, budaya dan waktu, hanya saja ada satu hal yang mereka sepakati bersama bahwa moralitas bicara tentang YANG BAIK, DAN YANG BAIK INI WAJIB UNTUK DILINDUNGI OLEH SIAPAPUN. Dalam tafsir yang lebih populer, lewat sebuah konvensi internasional akhirnya diterjemahkan nilai-nilai tersebut ke dalam Bill of Right: Declaration of Universal Human Right yang diinisiasi dan digagas di Barat. Meskipun pada akhirnya kritik banyak bermunculan, disebabkan HAM versi Barat tidak lebih dari sekedar import budaya. Belum lagi dikritik, indeks kebebasan manusia yang mencoba menginventarisir HAM itu ke dalam 40 kategori oleh Charles Humana, mendapatkan kritik pedas sebab tidak mengatur tentang “bebas dari kemiskinan”, “bebas dari pengangguran”, “bebas dari kelaparan”, “bebas dari penyakit”. Tampaknya substansi yang dianut HAM barat tidak lebih dari hak-hak sipil dan politik yang ketat dengan penegakkan individualisme. Pada titik yang lebih ekstrem, hal ini akan menyeret kita untuk secara tidak langsung menerima sistem pasar bebas, Laizes freire, kapitalistik, akumulasi modal yang hanya menimbulkan hubungan bahwa: sepanjang ada satu orang yang hidup berfoya-foya, pasti di sisi lain dunia terdapat orang yang hidup terlunta-lunta berjubaku dengan kemelaratan (al-musthad’afin). Sebagaimana ketika disurvey, ternyata jumlah kekayaan 10 orang terkaya di dunia setara dengan pendapatan 50% penduduk bumi. Sehingga negara-negara yang tergabung dalam persatuan Timur, membuat konsensus sendiri mengenai Hak Asasi Manusia yang diprakarsai oleh OKI, untuk meredam hegemoni HAM Barat dalam agenda besar perluasa budaya dan penggerusan paradigma. Yang dengan begitu akan menekan ekspansi budaya dan pemikiran yang begitu gencar dan subversif diupayakan dunia-dunia Barat. Hanya saja satu hal yang perlu kita antisipasi, bukan berarti kita akan mendukung Blok Timur pula, jikalau nantinya ada motif terselubung dibalik persatuan yang kuat itu yang diam-diam (meminjam istilah Imam Khomeni) tengah merancang Poros Setan yang lain!
Sekali lagi, mari kita pertajam kesimpulanya bahwa manusia selaku mahluk yang berpikir, maka harus menikmati dirinya sebagai mahkluk yang bebas (free will and free act). Namun tetapi kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak, sebab manusia senantiasa dibatas dalam ruang-waktu yang tidak mungkin tidak terlepas dari interaksi antara mahkluk lain. Sehingga dengan moral, etika, norma dan nilai yang telah ada maupun disepakati bersama, jadilah sebuah aturan main yang mengharuskan manusia mentaati itu. Manusia adalah mahkluk yang bebas, sejauh kebebasannya tidak merampas kebebasan yang lain, dan pernyataan ini berkelindan dengan pernyataan bahwa: manusia yang bermoral adalah manusia yang dengan kesadaran total merasa berwajib untuk menghormati, melindungi dan mencintai kebebasan manusia lainnya, dan bahkan, mahkluk lainnya.
Masygul, sepanjang langkah yang mengaras melintasi massa dan ruang, aku melihat lautan manusia, tapi sangat sedikit aku melihat ada kemanusiaan di dalamnya. Maka bila demikian, bisakah kita tidak melakukan pembenaran diri, bahwa dalam kealpaanmu akan sikap kemanusiaan, engkau tidak lebih dari tumpukan daging dan tulang belulang yang saling menindih satu sama lain!

---Tyologi---
---Cisitu Baru, 11-12 August 2015---

---xxx---